Tantangan Pelaksanaan Kekayaan Intelektual Sebagai Jaminan Utang
Utama

Tantangan Pelaksanaan Kekayaan Intelektual Sebagai Jaminan Utang

Pada dasarnya terdapat dua konsep dalam menghitung valuasi HKI. Apa saja?

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Diskusi bertema Prospek HKI Sebagai Jaminan Fidusia, Kamis (1/9). Foto: FNH
Diskusi bertema Prospek HKI Sebagai Jaminan Fidusia, Kamis (1/9). Foto: FNH

Pemerintah menerbitkan sebuah regulasi yang mengatur hal baru terkait kekayaan intelektual. Regulasi dimaksud adalah PP No.24 Tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No.24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif. Salah satu hal baru yang diatur dalam PP ini adalah membuka skema pembiayaan berbasis kekayaan intelektual.

Menurut Direktur Bisnis Konsumer PT Bank Negara Indonesia (Persero), Tbk Carolina Leyla Karnalies HKI merupakan bagian dari fidusia yang dapat dijaminkan ke bank. Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.

Caroline melanjutkan bahwa di BNI terdapat dua jenis penyaluran kredit. Pertama adalah kredit produktif yakni kredit yang digunakan untuk properti atau modal usaha dalam rangka mendapatkan atau menghasilkan uang kembali dan mewajibkan adanya jaminan agunan.

Baca Juga:

Dan kedua, kredit konsumtif yakni kredit yang digunakan dalam rangka pemenuhan kebutuhan personal untuk keperluan konsumtif. Berdasarkan jenisnya kredit konsumtif terbagi dua yakni Kredit Tanpa Agunan (KTA) yang tidak mewajibkan adanya jaminan atau agunan dan kredit properti yang mewajibkan adanya jaminan atau agunan berupa properti yang dibiayai.

Melihat kondisi produk kredit di BNI tersebut, lanjut Caroline, pada prinsipnya HAKI dapat dijadikan sebagai jaminan kredit di perbankan.

“HKI masuk sebagai benda bergerak tidak berwujud atau intangible telah memenuhi syarat yang dapat dijadikan sebagai jaminan fidusia,” kata Carolina dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan OJK, Kamis (1/9).

Namun demikian dalam pelaksanaannya terdapat beberapa tantangan yang harus dipikirkan oleh pemerintah seperti bagaimana cara menghitung kebutuhan kredit dan komponen apa saja yang perlu dihitung, menilai dan menghitung valuasi kekayaan intelektual sebagai objek jaminan, eksekusi kekayaan intelektual dan berapa nilai jualnya, serta teknis eksekusi pengalihan kekayaan intelektual. Dan tak kalah penting adalah siapa yang menjadi penilai atas suatu kekayaan intelektual dan pendekatan apa yang dilakukan.

“Bagaimana kalau terjadi kredit macet, eksekusi seperti apa. Bagaimana teknik eksekusinya. Melihat ini adalah sesuatu alternatif kami untuk memperbesar market share, untuk ekspansi. Bagaimana caranya kita tahu sertifikat HKI belum dijaminkan ke pihak lain, kalau sertifikat rumah itu bisa tahu. Ini kalau perbankan melihatnya sangat optimis dan support kebijakan ini tapi bagaimana melakukannya dengan sangat prudent dan baik dan terintegrasi satu dan lainnya,” jelas Caroline.

Sementara itu, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga Rahmi Jened menerangkan bahwa terdapat dua konsep dalam menghitung valuasi HAKI. Pertama bisa dilakukan dengan cara sederhana yakni dengan menghitung cost approach, income approach, dan market approach. Dan yang kedua adalah dengan cara modern yakni menghitung dan mempertimbangkan cost and benefit analysis, expert panels/peer reviews, field/case study, network analysis, foresight, benchmarking, innovation survey, microeconomic method, macroeconomic method, productivity studies, dan control group approaches.

Di samping itu, Rahmi mengingatkan publik untuk berlaku jujur dalam mendaftarkan kreasi atau hak cipta. Pasalnya dengan berlakunya HKI sebagai jaminan utang maka peluang berbuat curang akan meningkat.

“Kalau anda mendaftar kreasi intelektual yang bukan milik anda, ada ancaman KUHP. Saya sedih di pengadilan selalu kasusnya itu-itu saha. Jangan membuat kegaduhan pengadilan dan peradilan,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait