Tantangan Menjadikan KI Sebagai Objek Jaminan Fidusia
Terbaru

Tantangan Menjadikan KI Sebagai Objek Jaminan Fidusia

Menjadikan KI sebagai objek jaminan fidusia bukan hal yang mudah dilakukan. Hingga saat ini belum ada pedoman penilaian atas nilai ekonomis benda tidak berwujud seperti hak cipta maupun paten.

M. Agus Yozami
Bacaan 4 Menit
Direktur Kerja Sama dan Pemberdayaan KI Sri Lastami. Foto: DJKI
Direktur Kerja Sama dan Pemberdayaan KI Sri Lastami. Foto: DJKI

Kekayaan intelektual (KI) merupakan hak eksklusif yang dijamin oleh hukum kepada seseorang atau sekelompok orang atas karyanya. KI pada dasarnya merupakan aset yang memiliki nilai ekonomis dan dapat digolongkan sebagai aset perusahaan dalam kategori aset tidak berwujud (intangible asset). 

Aset ini dapat membuka peluang untuk mendapatkan kredit baik bagi perusahaan atau pun inventor dan pencipta yang memiliki KI untuk mengeksploitasinya atau untuk investasi yang lebih luas.

Direktur Kerja Sama dan Pemberdayaan KI Sri Lastami mengatakan bahwa Indonesia memiliki ketentuan KI yang digunakan sebagai jaminan kredit atau pinjaman ke bank yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.24 Tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No.24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif.

Baca Juga:

“Pemerintah Indonesia telah meletakkan dasar bagi skema pembiayaan berbasis KI melalui lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan non bank bagi para pelaku ekonomi kreatif,” kata Lastami dikutip dari laman DJKI.

Hal ini sejalan dengan hasil sidang United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL) ke-13 tahun 2008 yang menyatakan bahwa KI telah dijadikan sebagai agunan untuk mendapatkan kredit perbankan secara internasional. 

Lastami menjelaskan bahwa KI yang bisa dijadikan sebagai objek jaminan utang merupakan KI yang telah tercatat atau terdaftar di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM selaku instansi pemerintah yang menyelenggarakan urusan di bidang kekayaan intelektual.

“Pada kenyataannya, menjadikan KI sebagai objek jaminan fidusia bukan hal yang mudah dilakukan. Hingga saat ini belum ada pedoman penilaian atas nilai ekonomis benda tidak berwujud seperti hak cipta maupun paten,” ucap Lastami.

Jika sampai saat ini masih belum ada ketentuan maupun pedoman yang pasti, lantas Jika kreditnya bermasalah, bagaimana eksekusinya atas KI tersebut?

Pertama, yang perlu diketahui bahwa konstruksi KI di Indonesia dibagi menjadi hak ekonomi dan hak moral. KI dapat menjadi jaminan fidusia sebatas pada hak ekonominya saja. Kedua, hak ekonomi yang bisa dialihkan contohnya hak cipta, membuat pemegang hak cipta tidak selalu si pencipta.

“Misalnya hak cipta buku menjadi komersial ketika sudah dijual. Saat penulis memberi lisensi penerbitan, yang bisa jadi debitur itu penulis atau penerbit? Sama halnya dengan pencipta musik, produser, artis yang menampilkan pertunjukkan musik. Masing-masing memiliki hak ekonomi untuk suatu wujud karya yang sama,” jelas Lastami.

Menurutnya, perlu ada kejelasan mengenai siapa yang berhak menjadi debitur dalam jaminan fidusia berupa KI. Diperlukan sistem penaksiran yang bisa dipercaya jika masih ingin mempertahankan KI sebagai jaminan fidusia.

“Sistem penaksiran ini perlu dikelola lembaga khusus untuk menjamin nilai hak yang dibebani fidusia dapat dinikmati pemegang fidusia jika debitur cidera janji. Hal lain yang perlu disediakan adalah pasar untuk menguangkan hak tagih dalam bentuk KI tersebut,” jelas Lastami.

Pada implementasinya, KI sebagai objek jaminan fidusia memiliki tantangan dan kendala antara lain jangka waktu pelindungan KI yang terbatas. Perlu ada revisi PP jaminan fidusia untuk menyesuaikan dengan karakter khusus KI sebagai objek jaminan. 

“Perlu kesiapan serta kolaborasi yang baik antara DJKI, para pemilik KI, perbankan dan lembaga keuangan non bank serta notaris untuk berdiskusi lebih lanjut mengenai implementasi KI sebagai objek jaminan fidusia dalam memperoleh kredit di sektor jasa keuangan,” pungkas Lastami.

Sebelumnya, dalam sebuah FGD bertema Implementasi Kekayaan Intelektual sebagai Agunan Kredit Dalam Rangka Mendukung PP Ekraf yang digelar OJK beberapa waktu lalu, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan, Dian Ediana Rae, mendukung wacana penggunaan KI sebagai agunan dalam penyaluran kredit.

Dian mengatakani sektor ekonomi kreatif (ekraf) diharapkan mampu menjadi kekuatan baru ekonomi nasional berkelanjutan yang menekankan pada penambahan nilai barang lewat daya pikir serta kreativitas manusia.

“Saat ini ekraf menjadi salah satu katalisator bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dicerminkan melalui kontribusi terhadap PDB dan ekspor nasional,” kata Dian pada April lalu.

Dalam mendukung implementasi KI sebagai agunan kredit, OJK juga telah mengirimkan surat No. S-12/D.03/2022 pada 2 September 2022 kepada seluruh bank umum konvensional. Surat dimaksud merupakan penegasan serta dukungan OJK dalam praktik penggunaan KI sebagai agunan kredit oleh perbankan.

Dijelaskan Dian, dalam praktik pemberian kredit, perbankan perlu memperhatikan beberapa faktor yang dinilai untuk meyakini iktikad dan kemampuan calon debitur, salah satunya agunan. Dalam hal ini, agunan merupakan 1 dari 5 faktor yang perlu dipertimbangkan karena agunan yang diterima merupakan keputusan masing-masing bank berdasarkan penilaian terhadap calon debitur.

Di Indonesia, terdapat ketentuan yang mengatur tentang jenis agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang dalam perhitungan Penyisihan Penilaian Kualitas Aset (PPKA) dan persyaratannya. Namun demikian, perhitungan PPKA ini hanya diperuntukkan bagi pengawasan prudensial, yaitu untuk membandingkan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) dengan PPKA dalam perhitungan Permodalan Bank (KPMM). 

"OJK tidak membatasi jenis agunan yang dapat diterima bank, hal ini mengingat agunan merupakan keputusan masing-masing bank berdasarkan penilaian terhadap calon debitur," lanjut Dian.

Tags:

Berita Terkait