Tantangan Indonesia dalam Perjanjian Perdagangan Internasional
Terbaru

Tantangan Indonesia dalam Perjanjian Perdagangan Internasional

Kerja sama perdagangan internasional merupakan kegiatan pemerintah untuk memperjuangkan dan mengamankan kepentingan nasional melalui hubungan perdagangan dengan negara lain dan atau lembaga atau organisasi internasional.

Willa Wahyuni
Bacaan 2 Menit
Webinar soal Perjanjian Perdagangan Internasional, Kamis (22/9). Foto: WIL
Webinar soal Perjanjian Perdagangan Internasional, Kamis (22/9). Foto: WIL

Perjanjian perdagangan melibatkan dua atau lebih negara untuk menghilangkan hambatan dagang, baik hambatan tarif seperti pajak impor maupun non tarif seperti Standar Nasional Indonesia.

Perjanjian ini dapat dilakukan secara sepihak, yaitu dengan pemberian kemudahan akses hanya oleh satu pelaku dan secara timbal balik memberikan kemudahan akses pada semua pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut.

Kesepakatan yang terjadi, dapat dilakukan di tingkat multilateral melalui World Trade Organization (WTO) atau organisasi lainnya. Kesepakatan ini juga bisa melalui perjanjian bilateral maupun regional.

Baca Juga:

Dalam praktiknya, perjanjian perdagangan internasional memberikan dampak baik khususnya secara ekonomi terhadap negara. Manfaatnya dapat diukur secara makro melalui proyeksi peningkatan ekspor, penambahan domestik bruto, hingga peningkatan pertumbuhan negara.

Meski demikian, terdapat sejumlah tantangan yang dihadapi dengan banyak isu yang terjadi saat ini. Biro Advokasi Perdagangan, Nurhafia mengungkapkan setidaknya ada tiga tantangan besar yang kini tengah dihadapi Indonesia dalam perjanjian dagang.

Tiga tantangan tersebut adalah penafsiran hak dan kewajiban, aplikasi sementara, dan side letter atau catatan samping.

“Tantangan yang kami hadapi saat ini, apalagi dengan banyaknya isu yang terjadi. Kita tidak bisa hanya murni melihat isi perjanjiannya atau hak dan kewajibannya saja. Namun kita perlu melihat komitmennya,” ungkapnya dalam sesi diskusi pada Kamis (22/09/2022).

Dalam kesempatan itu, Nurhafia melanjutkan untuk menginterpretasikan hak dan kewajiban dari suatu perjanjian harus melihat serta lampiran perjanjiannya secara menyeluruh.

“Karena untuk menginterpretasikan hak dan kewajiban, kita lihat lampirannya. Lalu apakah ada persyaratan khusus di lampiran. Setelah itu, jangan lupa melihat struktur lampiran perjanjiannya. Karena pada faktanya ada lampiran umum yang  berlaku untuk kedua belah pihak dan ada lampiran khusus untuk negara,” jelasnya.

Ia mengemukakan, tantangan ini mau tidak mau menuntut negosiator termasuk penasehat hukum untuk tidak hanya bekerja cerdas namun juga bekerja secara kreatif.

“Lebih dari pernyataan tadi, semua ini merupakan tantangan dan menuntut negosiator termasuk penasehat hukum untuk kreatif agar bagaimana menjaga ruang komitmen. Apakah sudah sejalan atau setidaknya tidak terlalu jauh dari peraturan perundang-undangan,” lanjutnya.

Saat ini, ada beberapa perjanjian internasional yang tidak sejalan dengan sistem hukum Indonesia. Banyak pemberlakuan perjanjian dengan kondisi seluruh perjanjian yang berlaku. Hal ini menurut Nurhafia tidak sesuai dengan sistem hukum Indonesia, karena negara belum menerima pendekatan seperti itu.

“Kemudian secara praktik, sejauh saya menjadi bagian dari juru advokasi dan legal. Kita baru temukan persoalan tersebut di dalam perjanjian antara Indonesia dan Australia. Hal ini ada di dalam side letter atau catatan samping yang mempertegas komitmen dan mengatur lebih lanjut di perjanjian tetapi tidak kemudian side letter ini menjadi basis klaim. Namun lagi-lagi faktanya, di dalam perkembangannya salah satu mitra yang belum menyelesaikan persoalannya tetapi sudah meminta side letter tersebut,” terangnya.

Nurhafia menyoroti tiga hal tersebut sebagai tantangan Indonesia dalam perjanjian perdagangan saat ini dan ia berharap perjanjian yang ada tidak hanya memenuhi hak dan kewjaiban di antara pihak, namun juga saling berkomitmen pada perjanjian tersebut.

Tags:

Berita Terkait