Tantangan HAM Lebih Besar Daripada Peluang
Berita

Tantangan HAM Lebih Besar Daripada Peluang

Tugas Jokowi-JK tidak mudah.

ADY
Bacaan 2 Menit
Koordinator Kontras Haris Azhar (kiri). Foto: SGP
Koordinator Kontras Haris Azhar (kiri). Foto: SGP

Salah satu harapan korban pelanggaran HAM dan keluarganya adalah mendapat keadilan dan pemulihan. Mereka berharap pemerintahan Jokowi-JK bisa mewujudkan harapan. Namun, peneliti senior LIPI Syamsuddin Haris, melihat tantangan Jokowi lebih besar daripada peluang yang ada untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.

Misalnya, kekuatan koalisi Jokowi-JK di parlemen lebih kecil ketimbang Koalisi Merah Putih (KMP). Dosen pascasarjana Universitas Nasional itu menghitung kekuatan KMP di parlemen mencapai 63 persen. Jokowi potensial mendapat tantangan dari partai politik (parpol) yang banyak diisi purnawirawan militer.

Tantangan berikutnya berasal dari kubu konservatif yang berasal dari partai pengusungnya, PDIP. Bahkan ia khawatir kalau Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, termasuk dalam kelompok tersebut. Ketika menjabat Presiden, kasus dugaan pelanggaran HAM 27 Juli 1996 tidak bisa dia dituntaskan, meskipun partai yang dia pimpin menjadi korban.

Tantangan juga bisa datang dari internal. Syamsuddin menduga JK orang yang relatif pragmatis. Dalam wacana perampingan kabinet dalam pemerintahan nanti. Keinginan Jokowi agar kabinet ramping dan profesional mulai bergeser.

Ada juga tantangan bersifat psikopolitik. Dalam menyelesaikan persoalan, para tokoh bangsa tidak pernah menarik garis batas yang jelas dengan masa lalu. Sehingga para pemimpin masyarakat sipil yang punya basis massa luas tidak dapat memenuhi keinginan rakyat. “Antara peluang dan tantangan dalam menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu, tantangannya yang paling besar,” kata Syamsuddin dalam diskusi di kantor KontraS Jakarta, Kamis (11/9).

Walau tantangannya besar, Syamsuddin melihat Jokowi masih berpeluang untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu. Pertama, visi dan misi yang diusung terkait dengan penegakan HAM sudah baik, yang penting tinggal komitmen untuk mengimplementasikannya. Kedua, Jokowi tidak punya beban pelanggaran HAM masa lalu. Ketiga, Jokowi meraih dukungan yang besar dari masyarakat.

Sekjen Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Patrice Rio Capella, mengatakan Jokowi bukan pelaku pelanggar HAM. Dengan modal itu, ia menilai Jokowi akan lebih mudah untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu. Ketika pemerintahan Jokowi nanti berjalan, Patrice mengatakan yang terpenting bukan lagi mendiskusikan dan memperdebatkan kasus-kasus pelanggaran HAM berat, tapi langsung menanganinya. Apalagi Komnas HAM sudah menerbitkan beberapa hasil penyelidikan sekaligus rekomendasinya terkait kasus pelanggaran HAM masa lalu.

Kuncinya ada di tangan Jaksa Agung. Menurut Patrice, Jokowi perlu merekrut Jaksa Agung yang berani menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Selain itu, pemerintahan Jokowi harus membuat skala prioritas. Sehingga penuntasan segala persoalan yang menyinggung rasa keadilan publik harus diselesaikan, termasuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu. “Agar tidak melanggengkan impunitas,” tukasnya.

Patrice berharap agar Jokowi tegas untuk mengadili pelaku pelanggaran HAM berat. Ini sudah menjadi pembahasan dalam koalisi parpol pendukung Jokowi-JK. Yang penting, kata dia, bagaimana mencari jalan penyelesaian yang terbaik, terutama bagi para korban.

Koordinator KontraS, Haris Azhar, menekankan instrumen hukum yang ada untuk menegakkan hukum dan HAM sudah cukup baik. Yang dibutuhkan sekarang adalah menggunakannya seoptimal mungkin peraturan tersebut. Misalnya, Indonesia telah meratifikasi berbagai konvensi internasional dan punya pengadilan HAM ad hoc. Komitmen Jokowi untuk menegakan HAM sangat penting. “Korban menginginkan penyelesaian yang berkeadilan. Mereka berhak mendapat keadilan,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait