Tanggung Jawab Pilot, Disamakan dengan Nahkoda atau Supir?
Berita

Tanggung Jawab Pilot, Disamakan dengan Nahkoda atau Supir?

Ada yang berpendapat pilot tidak bisa dikriminalisasikan jika melakukan kesalahan, cukup diadili di mahkamah khusus layaknya mahkamah pelayaran. Tapi, ada juga yang menilai pilot sederajat dengan supir sehingga layak diadili di pengadilan umum bila bersalah.

Her
Bacaan 2 Menit
Tanggung Jawab Pilot, Disamakan dengan Nahkoda atau Supir?
Hukumonline

 

Didesak kiri-kanan, Komisi V DPR linglung juga. Mereka memang menegaskan akan menyampaikan semua ini kepada Dephub dan Garuda. Namun, di mata Adrianus, Komisi V terkesan lebih pro Marwoto.

 

Kesan itu langsung dibantah Komisi V. Meski demikian, Komisi yang membidangi masalah perhubungan ini juga tidak ingin terlalu membela Adrianus dkk. Buktinya, pada Selasa (12/2) mereka menyurati Polri dan Dephub untuk memastikan nasib Marwoto. Kami sangat berharap agar mereka bertindak sangat bijak dan sesuai dengan proporsinya, kata Ketua Komisi V Ahmad Muqowam. Mengenai penanganan secara proporsional yang dimaksudkan Komisi V, Muqowam menyerahkannya pada kedua belah pihak. Tapi menurut saya, penanganannya ya harus berdasar pada hukum penerbangan internasional, tandasnya.

 

Bisa Dipidana

Menurut pakar hukum penerbangan Kemis Martono, awak pesawat, baik pilot maupun kru lainnya, tidak bisa lepas begitu saja dari tanggung jawab apabila pesawat yang mereka operasikan mengalami kecelakaan. Prinsipnya, siapapun sama di mata hukum, tidak ada yang kebal, sebagaimana dinyatakan Pasal 27 UUD 1945, jelasnya.

 

Soal hukum mana yang diterapkan, Martono berpendapat hukum nasional, bukan hukum internasional. Annex 13 (Chicago Convention tentang Aircraft Accident Investigation, red)  itu tidak memiliki kekuatan mengikat. Kecuali Annex 13 sudah menjadi hukum nasional, terangnya. Dalam hal ini, Indonesia berbeda dengan Taiwan, Korea, Jepang, Perancis, Yugoslavia, Yunani, dan Mesir yang sudah menjadikan Annex 13 sebagai bagian dari sistem hukum nasional.

 

Martono menambahkan, ada banyak ketentuan pidana yang bisa menjerat pilot. Contohnya Pasal 49 UU No. 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam KUHP Bertalian dengan Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Pernerbangan.

 

Pasal 49(g) UU ini  menyatakan, barang siapa karena kealpaanya menyebabkan pesawat udara celaka, hancur, tidak dapat dipakai atau rusak, dipidana penjara selama-selamanya lima tahun, jika karena perbuatan itu timbul bahaya bagi nyawa orang lain; atau pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun, jika karena perbuatan itu mengakibatkan matinya orang.

 

Di samping itu, beberapa pasal dalam KUHP juga bisa digunakan untuk menjerat pilot yang lalai. Pasal 359 dan Pasal 360 KUHP, misalnya, menetapkan bahwa orang yang karena kesalahannya menyebabkan orang lain mati atau luka berat, maka diancam pidana penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun. Ancaman pidana tersebut bahkan dapat ditambah sepertiga serta dipecat dari pekerjaan, menurut pasal 361 KUHP, jika tindak pidana tersebut dilakukan terkait dengan jabatan atau pekerjaan.

 

Ancaman hukuman terhadap awak pesawat juga diatur dalam UU No. 15 Tahun 1992. Pasal 60 menyatakan, barangsiapa yang menerbangkan pesawat yang dapat membahayakan keselamatan pesawat, penumpang dan barang, dan/atau penduduk, atau mengganggu keamanan dan ketertiban umum atau merugikan harta benda milik orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda setinggi-tingginya Rp60 juta.

 

Selanjutnya Pasal 64 menyatakan bahwa barangsiapa mengoperasikan fasilitas dan/atau peralatan penunjang penerbangan yang tidak memenuhi persyaratan keamanan dan keselamatan penerbangan, dipidana dengan pidana kurungan paling lama enam bulan atau denda setinggi-tingginya Rp18 juta.

 

Di samping ancaman penjara dan denda, seorang awak pesawat, menurut Pasal 101 PP No. 3 Tahun 2001 tentang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan, juga diancam dengan pencabutan sertifikat kecakapan personil penerbangan apabila ia terbukti tidak memenuhi kewajiban sebagaimana ditetapkan oleh peraturan ini. Salah satu kewajiban yang dimaksud adalah memenuhi ketentuan tata cara berlalu lintas udara yang meliputi batas ketinggian, kawasan udara terlarang, terbatas dan berbahaya, lepas landas, pendaratan dan pergerakan di darat atau air, dan sebagainya.

 

Martono tidak setuju bila pilot diadili di Mahkamah Penerbangan, apalagi bila analoginya adalah Mahkamah Pelayaran. Mahkamah pelayaran sendiri tidak memiliki kewenangan yudisial. Dia tidak punya kewenangan mengadili. Mahkamah Pelayaran itu kan administratif, ungkapnya. Ia juga mendasarkan pada fakta bahwa berdasarkan UU Kekuasaan Kehakiman, hanya ada empat lingkungan pengadilan, yaitu pengadilan umum, agama, militer, dan Tata Usaha Negara.

 

Sanksi administratif bagi pilot, imbuh Martono, sudah ada aturannya, yaitu Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 11 Tahun 1996 Tentang Sanksi Administratif Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-undangan di Bidang Kelaikan Udara. Selama ini Direktorat Sertifikasi Kelaikan Udara (DSKU) Ditjen Perhubungan Udara Dephub yang bertindak memberikan sanksi profesi. Jadi itu (Mahkamah Penerbangan, red) tidak ada dasar hukumnya, tandasnya.

 

Soal boleh tidaknya hasil investigasi KNKT dijadikan alat bukti, menurut Martono hal itu tergantung penafsiran. Sebab, UU Penerbangan sendiri tidak tegas mengatur soal ini. Mungkin polisi berpendapat boleh. Ya silahkan. Atau polisi mencari alat bukti sendiri, paparnya.

 

Di Tanah Air, dalam catatan Martono, bukan sekali ini saja pilot terancam dipidana. Ia menyebut sudah ada tujuh pilot yang mengalami nasib serupa. Beberapa di antaranya bahkan divonis bersalah oleh pengadilan. Pada umumnya tidak muncul ke permukaan karena kecil-kecil, tuturnya.

 

Dengan demikian, apakah posisi pilot tidak berbeda dengan sopir bus yang tetap dipidana bila menubruk orang? Jenderal bintang empat saja bisa diadili, tukas Martono.

Andai saja Bandara Adi Sucipto, Yogyakarta bisa bersaksi, tentu ia tidak akan berbohong perihal kecelakaan pesawat Garuda Indonesia GA 200 yang merenggut 21 nyawa pada 7 Maret 2007 lalu. Kesaksian itu mungkin juga bakal menjelaskan apakah pilot Marwoto Komar melakukan kelalaian atau tidak. Sayang, sebagaimana bandara lainnya, Bandara Adi Sucipto tidak mungkin bisa 'bernyanyi'.

 

Yang banyak bicara justru para korban, asosiasi pilot, wakil rakyat, penegak hukum dan pengamat. Setelah pekan lalu Polda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menetapkan Marwoto sebagai tersangka, berbagai respon pun bermunculan. Seperti kasus kecelakaan laut, bila ada kapten kapal atau nahkoda yang mengalami kecelakaan mereka tidak disidik atau dikriminalkan, tapi melalui peradilan di mahkamah pelayaran, kata kuasa hukum Marwoto, Mohammad Assegaf. Karena itu Assegaf meminta Departemen Perhubungan dan Assosiasi Pilot mengambil sikap. Maksudnya, agar Marwoto urung dijerat dengan pasal-pasal pidana.

 

Keberatan Assegaf disambung dengan protes yang diteriakkan Assosiasi Pilot Garuda (APG). Dua hari berselang, usai Komar ditahan, APG menggelar jumpa pers di Yogyakarta. Setelah itu mereka berbondong-bondong menyampaikan pendapatnya ke Komisi V DPR di Jakarta. APG menilai, polisi keliru ketika mengancam Marwoto dengan Pasal 359, Pasal 360, Pasal 361, dan Pasal 479 poin g KUHP. Karena itu, APG menuntut Marwoto dibebaskan tanpa syarat. Jika tuntutan itu tak dipenuhi, mereka mengancam akan mogok kerja.

 

IFALPA (International Federation of Air Lines Pilots Assosiations, red) sangat terpukul mendengar penahanan Kapten Marwoto Komar, kata Presiden APG Stephanus, sebagaimana ditulis Antara. Ia meyakini penetapan status tersangka itu didasarkan pada temuan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT). Padahal, temuan itu tidak bisa dijadikan alat bukti oleh aparat penegak hukum. Di tempat lain, Menteri Perhubungan Jusman Syafii memastikan bahwa temuan KNKT tidak dijadikan alat bukti dalam kasus penahanan Marwoto.

 

Di Senayan, Rabu (13/2), giliran dua korban kecelakaan yang mengadu ke Komisi V DPR. Keduanya adalah kriminolog Universitas Indonesia Prof. Adrianus Meliala dan ibu rumah tangga Reny Gunowati. Adrianus dan Reny menuntut agar proses hukum terhadap Marwoto dilanjutkan. Kami juga meminta agar semua pihak yang seharusnya bertanggung jawab diadili dengan hukum yang berlaku, tandas Adrianus. Ia berniat pula menggugat Garuda secara perdata bila nanti Marwoto terbukti bersalah.

Tags: