Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit di Indonesia
Kolom

Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit di Indonesia

​​​​​​​Perlu dilakukan rekonstruksi terhadap pola pertanggungjawaban hukum rumah sakit di Indonesia.

Bacaan 8 Menit

Kedua, kelalaian tersebut dilakukan oleh tenaga kesehatan pada saat atau dalam rangka melaksanakan tugas yang diberikan oleh rumah sakit. Pertanggungjawaban yang terpusat kepada rumah sakit juga dipertegas di dalam Pasal 32 (q) Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit yang menyatakan bahwa setiap pasien mempunyai hak, salah satunya adalah menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana.

Pola pertanggungjawaban hukum sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 46 Undang-Undang Rumah Sakit tidak menimbulkan permasalahan hukum apabila diterapkan terhadap tenaga kesehatan non dokter, tetapi berpotensi menimbulkan permasalahan hukum apabila diterapkan terhadap dokter. Hal ini dikarenakan status dokter di rumah sakit beraneka ragam. Akibatnya adalah beberapa kali terjadi ketidakkonsistenan dalam putusan pengadilan dalam menyikapi pola tanggung jawab hukum rumah sakit terhadap dokternya, misalnya dalam Putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor 18/Pdt.G/2006/PN.PLG, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor 625/Pdt.G/2014/PN.Jkt.Brt, Putusan Pengadilan Tinggi Palembang Nomor 62/PDT/2006/PT.PLG, Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 614/PDT/2016/PT.DKI, Putusan Kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1752/K/Pdt/2007, Putusan Kasasi Mahkamah Agung Republik Indonensia Nomor 42 K/Pdt/2018 dan Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Republik Indonesia 352/PK/PDT/2010. Pengaturan pola pertanggungjawaban hukum rumah sakit yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dalam implementasinya dapat menimbulkan berbagai interpretasi.

Pada dasarnya, rumah sakit secara hukum bertanggung jawab terhadap kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatannya. Hal ini sejalan dengan Doktrin Vicarious Liability.  Dalam perkembangannya, Doktrin Vicarious Liability bercabang menjadi Doktrin Respondeat Superior dan Doktrin Ostensible atau Apparent Agency. Doktrin Respondeat Superior membatasi pertanggungjawaban rumah sakit hanya terhadap dokter in. Sedangkan Doktrin Ostensible atau Apparent Agency memperluas pertanggungjawaban rumah sakit terhadap dokternya, baik dokter in maupun dokter out. Doktrin Respondeat Superior biasanya dipergunakan oleh pengacara rumah sakit untuk membela rumah sakit dan membatasi pertanggungjawabannya. Doktrin Ostensible atau Apparent Agency biasanya dipergunakan oleh pengacara pasien untuk memperluas pertanggungjawaban hukum rumah sakit.

Munculnya berbagai penafsiran mengenai pertanggungjawaban hukum rumah sakit sebagaimana yang diatur di dalam Undang-Undang Rumah Sakit dan perkembangan Doktrin Vicarious Liability, dalam beberapa hal menyebabkan ketidakkonsistenan pada putusan pengadilan. Tentunya, hal ini menjadi beban, khususnya bagi para pencari keadilan. Oleh karena itu, perlu dilakukan rekonstruksi terhadap pola pertanggungjawaban hukum rumah sakit di Indonesia.

*)Wahyu Andrianto, Dosen dan Peneliti di Unit Riset Hukum Kesehatan FHUI

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan hasil kerja sama Hukumonline dengan Fakultas Hukum Universitas Indonesia dalam program Hukumonline University Solution.

Tags:

Berita Terkait