Talasemia Mayor dan Tindakan Penghentian Kehamilan, Sebuah Dilema
Kolom

Talasemia Mayor dan Tindakan Penghentian Kehamilan, Sebuah Dilema

Dilematis antara etika dan hukum dalam profesi dokter, merupakan suatu hal yang terus terjadi hingga saat ini, tak lekang oleh waktu.

Bacaan 7 Menit

Penderita talasemia intermedia tidak rutin dalam memenuhi transfusi darahnya, terkadang hanya 3 bulan sekali, 6 bulan sekali atau bahkan 1 tahun sekali. Namun, pada keadaan tertentu, keadaan intermedia dapat jatuh ke keadaan mayor jika tubuh mengeluarkan darah yang cukup banyak, atau tubuh memerlukan metabolisme yang tinggi seperti keadaan infeksi yang menahun, kanker atau keadaan klinis lain yang melemahkan sistem fisiologis hematologi atau sistem darah. Dalam kondisi seperti ini, talasemia intermedia berpotensi menyebabkan gangguan organ-organ seperti hati, ginjal, pankreas, dan limpa

Penderita talasemia minor tidak memerlukan perawatan khusus dan hanya mendapatkan sejumlah obat penambah hemoglobin. Namun, penderita talasemia minor merupakan pembawa sifat dengan fenotipe asimtomatik (asimtomatik = suatu kondisi penyakit yang sudah positif diderita, tetapi tidak memberikan gejala klinis apapun terhadap orang tersebut) yang memiliki gen mutan dan berpotensi menurunkannya kepada keturunannya. Oleh karena itu, talasemia minor dapat juga disebut sebagai pembawa sifat, traits, atau karier talasemia.

Karier talasemia tidak memperlihatkan gejala klinis semasa hidupnya. Hal ini dikarenakan abnormalitas gen yang terjadi hanya melibatkan salah satu dari dua kromosom yang dikandungnya, sedangkan satu gen yang normal masih mampu memberikan kontribusi untuk proses sistem hematopoiesis (hematopoiesis = produksi, perkembangan, diferensiasi, dan pematangan semua sel darah dalam tubuh) yang cukup baik.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, kasus talasemia (khususnya adalah talasemia mayor) di Indonesia terus meningkat. Pada tahun 2012 terdapat 4.896 kasus talasemia mayor. Jumlah tersebut kemudian naik secara signifikan di tahun 2019 dan menjadi 10.555 kasus talasemia mayor. Pada tahun 2020, jumlah kasus talasemia mayor di Indonesia bertambah lagi menjadi 10.955 kasus dan pada tahun 2021, kasus talasemia mayor di Indonesia meningkat lagi menjadi 10.973 kasus.

Diperkirakan, 2.500 bayi baru lahir dengan talasemia mayor setiap tahunnya di Indonesia. Pada tahun 2019-2020, Propinsi Jawa Barat menjadi penyumbang terbesar kasus talasemia mayor di Indonesia dengan 3.636 kasus, kemudian disusul oleh Propinsi DKI Jakarta dengan 2.200 kasus dan Propinsi Jawa Tengah dengan 937 kasus. Rerata, 3-10 persen populasi Indonesia membawa sifat talasemia.

Beberapa catatan yang dapat diberikan dalam hari peringatan Talasemia Sedunia adalah sebagai berikut:

  1. Mewujudkan Pemerataan Akses Pelayanan Kesehatan di Indonesia

Diagnosis kasus talasemia di wilayah Indonesia timur masih rendah. Hal ini disebabkan karena sebaran dokter yang terbatas, khususnya dokter spesialis anak. Hingga saat ini, Pemerintah sedang dan terus mempersiapkan dokter untuk ditugaskan ke sejumlah daerah pelosok di Indonesia. Kasus talasemia yang terdeteksi di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Sulawesi Utara, misalnya, hanya 11-16 kasus pada tahun 2020. Hal ini disebabkan karena jumlah dokter yang terbatas, baik dokter umum maupun dokter spesialis anak, dan tidak memadainya fasilitas kesehatan untuk mendiagnosis talasemia.

Tags:

Berita Terkait