Tak Terima Disejajarkan dengan Paralegal, Advokat Uji Permenkumham 1/2018
Utama

Tak Terima Disejajarkan dengan Paralegal, Advokat Uji Permenkumham 1/2018

Permenkumham tentang Paralegal dalam Pemberian Bantuan Hukum dinilai dianggap bertentangan dengan UU Advokat.

CR-25
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi advokat: BAS
Ilustrasi advokat: BAS

Tak kunjung usai, suara-suara keberatan masih terus berdatangan dari kalangan advokat sejak berlakunya Permenkumham No.1 Tahun 2018 tentang Paralegal dalam Pemberian Bantuan Hukum. Suara keberatan tersebut diungkapkan oleh sekelompok advokat melalui Judicial Revew (JR) yang didaftarkan, Jumat (6/4), ke Mahkamah Agung (MA).

 

Permohonan JR yang diajukan Tim Advokat yang diketuai oleh Bireven Aruan ini berangkat dari anggapan mereka bahwa pembentukan Permenkumhan No. 1 Tahun 2018 tersebut cacat hukum, karena dalam perumusannya tidak berpedoman pada UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Sederet muatan aturan dalam Permenkumham 1/2018 yang dianggap bertentangan dengan UU Advokat tersebut mereka tuangkan dalam bentuk 3 pokok keberatan.

 

Pertama, tim advokat ini menyoal persyaratan dalam merekrut paralegal, khususnya yang tertuang dalam pasal 4 huruf c yang berbunyi memiliki pengetahuan tentang advokasi masyarakatdan pasal 4 huruf b yang berbunyi  “berusia paling rendah 18 tahun”.

 

Johan Imanuel selaku perwakilan Tim Pemohon menerangkan kepada hukumonline, bahwa usia Paralegal yang dipersyaratkan minimal 18 tahun tersebut dipandang berpotensi mengeluarkan emosi-emosi yang tidak stabil saat menangani perkara di persidangan. Kemudian soal pengetahuan advokasi juga dirasa tidak cukup untuk beracara mengingat paralegal tidak ada wawasan yang mumpuni soal beracara di persidangan.

 

“Rentan terjadi kekeliruan dalam hal proses beracara di persidangan, baik secara teknis maupun adminstratif. Karena selain tidak diwajibkan harus sarjana hukum, mereka juga tidak memiliki pemahaman soal hukum acara sama sekali,” ujar Johan Imanuel, selaku perwakilan Tim Advokat yang mengajukan JR, Selasa (10/4).

 

Keberatan Kedua, Tim Advokat tersebut mengkritik Pasal 11 dan Pasal 12 Permenkumham 1/2018 yang pada pokoknya mengatur bahwa paralegal dapat memberikan bantuan hukum baik secara litigasi maupun non-litigasi. Ketentuan ini jelas merugikan para advokat karena diduga dapat mengambil alih profesi advokat.

 

“Ini akan menimbulkan kebingungan di masyarakat terkait definisi paralegal, apakah paralegal itu advokat? Sebaliknya apakah advokat itu paralegal? ini sama saja dengan penyelundupan ruang profesi advokat,” jelas Johan saat dikonfirmasi hukumonline.

 

Keberatan ketiga yang diajukan tim Advokat tersebut tertuju pada Pasal 7 ayat 1 huruf c Permenkumham 1/2018 yang dianggap bertentangan dengan Pasal 2 ayat (1) UU Advokat. Muatan pasal Permenkumham a quo, dianggap Johan dapat menurunkan kredibilitas dari masyarakat tentang perguruan tinggi ilmu hukum. Johan dan Tim mengaku khawatir jika nantinya muncul anggapan bahwa pendidikan tinggi ilmu hukum sudah tidak lagi diperlukan, mengingat untuk menjadi paralegal-pun tidak harus berlatar belakang hukum.

 

(Baca Juga: Menilik Peran dan Kualitas Paralegal dalam Bantuan Hukum)

 

“Harusnya Indonesia mencontoh keberadaan paralegal di negara maju, yakni untuk membantu profesi advokat, bernaung di bawah advokat, dengan demikian ketentuan paralegal ini tidak dapat berdiri sendiri, melainkan harus tetap dibawah naungan UU advokat,” tukas Johan.

 

Menanggapi 3 pokok keberatan yang disampaikan tim advokat Bireven Anduan tersebut, Kepala Bidang Bantuan dan Pelayanan Hukum BPHN, C Kristomo, mengutarakan bahwa peran paralegal tersebut sebenarnya diarahkan untuk perkara non-litigasi bukan litigasi. Permasalahannya, kata Kristomo, kalau di suatu tempat sumber daya manusianya tidak cukup untuk menangani perkara litigasi, jelas bantuan paralegal akan sangat membantu pengacara.

 

“intinya, paralegal dimaksud dalam Permenkumham ini sama sekali tidak ada merebut peran advokat, justru malah membantu advokat,” ujar Kristomo saat dihubungi hukumonline Selasa sore, (10/4).

 

Kristomo juga menduga advokat yang merasa perannya diambil alih paralegal hanya membaca bunyi Pasal 11 Permenkumham 1/2018/ Sementara pada Pasal 12 nya itulah yang menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan paralegal dapat beracara baik litigasi maupun non-litigasi adalah dalam bentuk pendampingan advokat. Bahkan, kata Kristomo, paralegal dimaksud harus terdaftar di bawah naungan organisasi bantuan hukum (OBH) yang sudah terakreditasi BPHN.

 

“Sama sekali tidak ada frasa dalam permenkumham tersebut yang membolehkan paralegal bersidang selain dalam konteks pendampingan advokat. Dan untuk melakukan tugas pembantuan itupun paralegal minimal harus mengantongi surat tugas dari advokat atau dimasukkan ke dalam surat kuasa bersama-sama dengan advokatnya,” jelas Kristomo.

 

(Baca Juga: Aturan Baru Kemenkumham, Paralegal Kini Jangkau Ranah Litigasi)

 

Adapun mengenai kualitas paralegal, Kristomo mengungkapkan bahwa akhir-akhir ini BPHN dalam proses akan menerbitkan standar kompetensi dan kurikulum pelatihan paralegal yang akan dijabarkan melalui Permen turunan dari Permenkumham No. 1 Tahun 2018 tersebut dan salah satu bagian dari pelatihan itu adalah pengetahuan mengenai hukum acara.

 

Kristomo juga menampik bahwa dengan adanya Permenkumham tersebut, bisa menyebabkan turunnya kredibilitas Fakultas-fakultas Hukum di mata masyarakat. Menurutnya, aturan ini lahir sebagai respons atas minimnya SDM dalam memberikan akses keadilan dan bantuan hukum bagi masyarakat-masyarakat di pelosok daerah, mengingat sebaran advokat yang sangat minim.

 

“Jadi tidak ada hubungannya sama sekali dengan fakultas hukum dibutuhkan atau tidak,” pungkas Kristomo.

 

Dalam banyak forum, kata Kristomo, bahkan ia langsung menanyakan kepada pengacara-pengacara yang bertugas di LBH-LBH. Menurutnya, para pengacara tidak ada yang merasa perannya diambil alih paralegal, bahkan merasa sangat terbantu dengan adanya paralegal karena memang paralegal ini sama dengan paramedis yang memberikan pertolongan pertama di lapangan.

 

“Sekarang begini, kalau orang sakit di desa yang gak ada dokternya dan kalau mau ke dokter dia harus menempuh perjalanan ke kota besar sekian jam lamanya tanpa adanya pertolongan pertama, ya mati nanti,” tukas Kristomo.

 

Jadi yang perlu disorot, menurut Kristomo, jika banyak advokat yang mau ditempatkan di daerah-daerah yang jauh dari kota besar atau ditempatkan di level kabupaten, kecamatan atau desa terpencil, maka wajar kalau paralegal tidak perlu ada.

 

Tags:

Berita Terkait