Tak Setuju SP3, Konsistensi Alexander Marwata Dipertanyakan
Uji Kelayakan Capim KPK

Tak Setuju SP3, Konsistensi Alexander Marwata Dipertanyakan

Tidak melulu berakhir dengan pemidanaan, namun dapat mengembalikan keuangan kerugian negara yang dikorupsi dengan tetap mendapatkan sanksi lain.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Capim KPK Alexander Marwata
Capim KPK Alexander Marwata

Calon Pimpinan (Capim) KPK Alexander Marwata menegaskan ketidaksetujuannya jika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diberikan kewenangan menghentikan perkara di tingkat penyidikan. Lazimnya, lebih dikenal dengan kewenangan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Namun di sisi lain, terhadap perkara yang merugikan keuangan negara kecil, tersangka dapat tidak dikenakan sanksi pemidanaan, tetapi cukup dengan memberikan sanksi pengembalian kerugian uang negara.

Saya berpikir KPK harusnya juga bisa menghentikan perkara, dari sisi efektivitas dan efisien,” ujarnya saat menjalani uji kelayakan dan kepatutan di Gedung DPR, Senin (14/12).

Pandangan Alexander lantaran sebagai hakim ad hoc di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) kerap menilai dakwaan perkara yang ditangani KPK dengan Kejaksaan berbeda kualitasnya. Menurutnya, terhadap perkara yang kerugiannya terbilang kecil semisal puluhan juta rupiah, pihak tersangka dinilai cukup diberikan sanksi penundaan kenaikan pangkat maupun sanksi lainnya. Ia menilai anggaran biaya penanganan perkara KPK terbilang besar.

Misalnya, kata Alexander, bila sebuah perkara ternyata kerugian negara sebesar Rp50 juta, sedangkan anggaran penanganan perkara melebihi nilai kerugian negara akan tidak efisien dan efektif. Itu sebabnya, bila KPK menangani perkara yang kerugian negaranya puluhan atau ratusan juta akan menghabiskan anggaran yang banyak. “Kalau seperti ini habislah anggaran penanganan korupsi, kalau kerugian negara hanya 20 juta,” katanya.

Sebagai seorang hakim yang keseharinnya menangani kasus korupsi, Alexander berpandangan penanganan perkara dalam penegakan hukum mesti tebang pilih. Menurutnya, banyaknya terdakwa dalam perkara korupsi yang tidak memiliki peran penting. Makanya dikenakan pasal turut serta.

Ironisnya, tidak menikmati seperser pun hasil tindak pidana korupsi. Sementara pelaku utama dalam perkara tidak pidana korupsi belum disidangkan di persidangan. “Apakah ini harus di bawa ke pengadilan? Makanya harus tebang pilih. Tetapi tetap diberikan sanksi seperti penundaan kenaikan pangkat. Saya yakin banyak sanksi lain selain pemidanaan,” katanya.

Kendati demikian, mantan Direktur Penguatan HAM di Dirjen HAM Kementerian Hukum dan HAM itu menegaskan terhadap perkara korupsi besar tak dapat dilakukan penghentian penyidikan sepanjang adanya alat bukti yang cukup. Namun terhadap perkara besar seperti BLBI, Alexander pesimis dapat ditindaklanjuti. Pasalnya, perkara sudah terbilang puluhan tahun lalu. Sehingga penyidik akan sulit mendapatkan dokumen mau pun saksi.

Anggota Komisi III Dossy Iskandar Prasetyo mengaku heran dengan gagasan Alexander. Menurutnya, adanya ketidakonsistenan sikap antara menolak KPK memiliki kewenangan SP3 dengan sisi lain yang mengabaikan tersangka lepas dari pemidanaan. Ia menilai perlunya ketegasan sikap pimpinan KPK dalam menegakan hukum.

Politisi Partai Hanura itu berpandangan dalam konsep hukum pidana, ketika kasus sudah tercukupi alat bukti maka proses hukum dilimpahkan ke pengadilan. Pihak pengadilan yang kemudian memutuskan sanksi hukuman. “Anda tidak setuju SP3, tetapi di satu sisi anda minta supervisi bisa menghentikan perkara. Ini dimana konsistensinya,” ujarnya.

Anggota Komisi III Muhammad Syafi’i menambahkan Capim KPK Alexander dinilai tidak konsisten dengan sikapnya. Pasalnya bila tidak diberikan kewenangan SP3, semestinya terhadap perkara korupsi dalam kategori besar dan kecil yang telah memenuhi alat bukti mesti maju ke persidangan. “Apakah anda akan meneruskan kasus Century dan BLBI, ataukah menilai tidak layak (diteruskan ke pengadilan,red),” ujar politisi Gerindra itu.

Penguatan supervisi dan koordinasi

Alexander berpandangan, terhadap jalan keluar penanganan perkara yang level kerugiannya terbilang kecil, maka perlu penguatan supervisi dan koordinasi antara KPK dengan kepolisian dan kejaksaan. Menurutnya KPK dapat melakukan supervisi secara ketat terhadap perkara korupsi yang ditangani kejaksaan dan kepolisian.

Selain itu, koordinasi terhadap kejaksaan dan kepolisian mesti diperkuat. Misalnya, ketika KPK melakukan penangkapan terhadap kasus korupsi yang belakangan diketahui kerugiannya kecil, maka KPK dapat melimpahkan ke kejaksaan. Setidaknya, KPK dapat memerintahkan kepada tersangka untuk mengembalikan keuangan negara yang telah dikorup.

Kalau terpilih, saya akan ciptakan supervisi itu. Misalnya dalam tahap penyidikan itu kita siapkan supervisi itu. Kalau kerugian negaranya kecil, sudah diganti saja dan tidak perlu di pengadilan, tapi juga ada sanksi. Sanksi itu tidak harus pemidanaaan. Semua perkara tidak harus ke pengadilan,” ujarnya.

Anggota Komisi III Daenk Muhammad mengamini pandangan Alexander terkait dengan supervisi dan koordinasi. Menurutnya dengan penguatan fungsi tersebut setidaknya berdampak pada penguatan bidang pencegahan. “Saya ingin suatu ketika ada satu hal KPK berfungsi penguatan koordinasi dan supervisi,” pungkas politisi PAN itu.

Tags:

Berita Terkait