Tak Layak bagi Pekerja, Terlalu Memberatkan Pengusaha
Upah Minimum:

Tak Layak bagi Pekerja, Terlalu Memberatkan Pengusaha

Berbeda dengan Indonesia, sistem pengupahan di Swedia tak mengenal upah minimum dan tak ada peran pemerintah dalam menentukan besaran upah.

ASh/IHW
Bacaan 2 Menit
Buruh kerap menyambut penetapan upah minimum dengan <br> berdemo. Foto: Sgp
Buruh kerap menyambut penetapan upah minimum dengan <br> berdemo. Foto: Sgp

Upah minimum provinsi dan upah minimum kota/kabupaten (UMP/UMK) Tahun 2010 sudah ditetapkan beberapa waktu lalu dengan besaran yang bervariasi. Sama seperti tahun sebelumnya, penetapan UMP/UMK yang setiap tahunnya ditetapkan lewat SK Gubernur itu kerap menimbulkan ‘perlawanan’ hingga menuai gugatan di pengadilan. Pasalnya, penetapan UMK di masing-masing daerah sering tak sesuai dengan kebutuhan hidup layak (KHL) dan kebutuhan ril di lapangan. 

 

Dalam sebuah seminar bertajuk “Advokasi Pengupahan Nasional” yang difasiltasi Trade Union Right Centre (TURC), Senin (25/1), di Jakarta, aliansi serikat buruh dari berbagai daerah menyatakan sikap menolak politik upah murah. Diantaranya, Aliansi Buruh Kota Batam, Aliansi Buruh Menggugat Jawa Timur, Aliansi Buruh Bandung, Forum Buruh DKI Jakarta, Aliansi Buruh Tangerang, Gerakan Buruh Semarang dan Forum Komunikasi Bogor. 

 

Menurut aliansi, upah buruh Indonesia jauh dari layak dengan nilai per bulan sekitar Rp630 ribu di Pacitan Jawa Tmur hingga Rp1,3 juta di Papua. Faktanya, upah minimum diterapkan terhadap semua buruh tanpa memperhatikan masa kerja, standar layak, dan umumnya hanya memenuhi 62 persen dari KHL bagi buruh lajang. Kalaupun UMK sesuai KHL, seringkali upah minimum yang ditetapkan tak sesuai dengan kebutuhan ril di lapangan seperti dialami di kota Depok dan Bogor.

 

Sistem pengupahan dan penetapan upah termasuk oleh Dewan Pengupahan, menurut aliansi rentan dimanipulasi agar kebijakan upah serendah-rendahnya bisa diterapkan. Hal ini berdampak menghancurkan daya beli buruh, sehingga buruh tetap terpuruk dalam kemiskinan.      

 

Sebagai ilustrasi seperti dituturkan perwakilan dari Tangerang, proses penetapan UMK Tangerang sempat membuat pusing jajaran Pemkot Tangerang. Sebab, awal Desember 2009 lalu, ribuan buruh dari berbagai organisasi berunjuk rasa mendesak Gubernur Banten merevisi keputusanya tentang UMK Tangerang Tahun 2010. Saat itu para buruh mendesak Walikota Tangerang dan Gubernur Banten merevisi SK penetapan UMK Tahun 2010 dari Rp1.118.009 menjadi Rp1.171.601 atau 94,9 persen dari KHL. 

 

Beberapa hari kemudian, Gubernur Banten mengubah keputusan UMK Kota Tangerang Tahun 2010 menjadi Rp1.171.601. “Kita puas dengan bisa dirubahnya UMK 2010 Tangerang, meski kita mintanya UMK sama dengan 100 persen KHL (senilai Rp177 ribu). Ini disebabkan lewat demo gerakan buruh yang begitu besar yang gabung menjadi satu yang sebelumnya juga kita melakukan hearing dengan Bupati,” kata Pengurus Cabang PPMI SPSI, Imam Sukarsa.

Tags:

Berita Terkait