Tak Kunjung Disahkan, RPP e-Commerce Masih Terganjal Usulan Baru
Berita

Tak Kunjung Disahkan, RPP e-Commerce Masih Terganjal Usulan Baru

Sementara PMK Pajak e-Commerce dicabut Kemenkeu.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Ardhanti Nurwidya selaku Anggota Bidang Ekonomi Digital dari Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) dalam Diskusi Hukumonline.com
Ardhanti Nurwidya selaku Anggota Bidang Ekonomi Digital dari Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) dalam Diskusi Hukumonline.com "E-Commerce Indonesia: Road Map dan Perkembangan Kebijakan Perlakukan Perpajakan", Kamis (28/03). Foto: RES

Tiga tahun lebih tak kunjung disahkan, Kabiro Hukum Kementerian Perdagangan, Sri Hariyati, mengungkapkan bahwa Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (TPMSE/e-Commerce)  tengah berada dalam tahap finalisasi penandatanganan oleh Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg). Harmonisasi aturan hingga sirkulasi untuk paraf di masing-masing Kementerian/Lembaga (K/L) sebetulnya juga sudah dijalankan. RPP yang telah digodok sejak 2015 itu, mestinya telah diundangkan sejak 2017 lalu.

 

Namun, adanya perbedaan paham antara K/L serta munculnya berbagai usulan baru sebagai muatan RPP mengakibatkan sulitnya untuk merumuskan bentuk akhir RPP tersebut dan memastikan implementasinya, itu pula yang mengakibatkan RPP e-Commerce belum kunjung disahkan hingga saat ini. Harapannya, Ia menyebut RPP tersebut dapat diselesaikan dalam 1 atau 2 bulan ke depan dan diharapkan K/L dapat satu suara mendukung pengesahakan RPP e-Commerce tersebut.

 

“Diusahakan selesai tahun ini,” katanya dalam diskusi hukumonline bertajuk e-Commerce Indonesia: Roadmap dan Perkembangan Kebijakan Perlakuan Perpajakan, Kamis (28/3).

 

Pada pembahasan di tingkat K/L, katanya, masih ada beberapa isu strategis yang ternyata belum masuk sebagai muatan substansi RPP e-Commerce yang merupakan turunan dari Perpres No. 74 Tahun 2017 tentang Peta Jalan Sistem Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik (SPNBE). Beberapa isu strategis tersebut meliputi ketentuan soal transaksi cross-border e-Commerce, perlindungan data, isu penguatan UMKM dan produk lokal, ketentuan mengenai barang dan jasa digital serta soal keuangan digital baik terkait pembayaran, pendanaan dan inklusivitas keuangan.

 

Soal perlindungan data, Ia menyebut sesuai arahan Komite Pengarah SPNBE pada 9 Januari 2019 terhadap Pasal 79 RPP TPMSE, masih dibicarakan soal pembagian peran dan fungsi antar K/L seperti, apakah data akan dikelola secara terpusat oleh BPS, untuk pembinaan dan pengawasan dilakukan oleh Kemendag dan penyelenggaraan sistem pengelolaan datanya dilakukan oleh Kominfo. Pembagian proses pengelolaan data inilah yang disebutnya masih akan diformulasikan dengan jaminan perlindungan kerahasiaan data.

 

Hukumonline.com

Sri Hariyati selaku Kepala Biro Hukum dari Kementerian Perdagangan Republik Indonesia.

 

Terkait penguatan UMKM dan produk lokal turut menjadi perhatian, terlebih dengan begitu kencangnya persaingan pedagangan barang antar pelaku lokal dan mancanegara (impor), jelas diperlukan perlindungan untuk memastikan adanya kesamaan perlakuan antara pelaku usaha lokal maupun internasional, baik menyangkut sektor perlakuan pajak, administrasi, penerapan SNI, pengawasan produk baik dalam dan luar negeri dan sebagainya.

 

Terkait muatan RPP e-Commerce, Anggota bidang ekonomi digital Indonesian e-Commerce Association (IdeA), Ardhanti Nurwidya, menyebut IdeA sebagai asosiasi e-Commerce cukup aktif dalam mengawal maupun memberi masukan kepada Kemendag dalam merumuskan RPP a quo.

 

Setidaknya ada 4 poin kunci dari muatan RPP E-commerce yang dipaparkannya, yakni tipe-tipe aktor bisnis (business actor) dalam e-Commerce, yurisdiksi transaksi e-Commerce, sertifikasi dan perizinan yang perlu dipenuhi serta ketentuan lainnya.

 

Terkait aktor bisnis, ada 3 tipe yang digolongkan dalam RPP Ecommerce, yakni seller (merchant); provider e-Commerce/Legal entity (PTPMSE) dan intermediary atau siapa saja dan dimana saja ia melakukan perdagangan elektronik seperti di media sosial (eg: instagram, facebook).

 

“Untuk seller dan intermediary berdasarkan Pasal 12 RPP e-Commerce bisa saja berupa individual maupun legal business entity, sedangkan PTPMSE harus dalam bentuk legal business entity,” jelas Ardhanti.

 

Persoalan batas pertanggungjawaban antara platform e-Commerce dengan seller dalam kaitannya dengan perlindungan konsumenjuga diatur. Misalnya, terkait barang palsu yang diperjual-belikan seller/merchant e-Commerce yang diberlakukan ketentuan take down atasiklan barang tersebut di platform masing-masing.

 

Soal take down itu, katanya, IdeA sebagai asosiasi e-Commerce menjadi partner pemerintah terkait permohonan take down dalam menyurati para pelaku E-commerce.  “Jadi ketimbang harus menyurati satu-satu pelaku usaha, pemerintah bisa menyurati IdeA,” jelasnya.

 

Soal yurisdiksi transaksi dan ketentuan hukum yang berlaku dalam kaitannya dengan cross-border e-Commercediatur dalam Pasal 4, Pasal 13 s/d Pasal 14 RPP. Berdasarkan draft RPP, katanya, setiap e-Commerce yang melakukan bisnis di Indonesia dan targetnya secara sengaja adalah Indonesian customer, maka mereka dianggap telah melakukan bisnis di Indonesia. Efeknya, hukum dan peraturan yang berlaku bagi para pelaku e-Commerce tersebut adalah hukum Indonesia.

 

“Termasuk kalau ada sengketa hukum yang digunakan adalah hukum Indonesia dan dianggap berdomisili di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat,” katanya.

 

Adapun ketentuan terkait lisensi dan sertifikasi bukan berarti dalam bentuk lisensi baru, katanya, melainkan lisensi dan sertifikasi yang sudah ada. Misalnya, PMA harus lewat BKPM untuk mendapatkan IUP maka bisa saja licence tersebut sudah masuk sebagai bagian dari izin BKPM tersebut.

 

“Namun arah pastinya kita masih belum tahu, kemungkinan ini adalah izin yang sudah ada cuman ditegaskan lagi dalam RPP ini. Atau bisa juga ini dimaksudkan sebagai izin tambahan,” paparnya.

 

PMK Pajak e-Commerce Dicabut

Setelah menuai banyak kritik dari perlaku e-Commerce maupun asosiasi, akhirnya Kementerian Keuangan secara resmi mencabut secara keseluruhan aturan terkait perlakuan perpajakan terhadap e-Commerce (PMK 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik) yang akan berlaku 1 April 2019. Dengan ditariknya PMK tersebut, Menkeu mengingatkan perlakuan perpajakan untuk seluruh pelaku ekonomi tetap mengacu pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

 

(Baca Juga: Menteri Keuangan Tarik PMK e-Commerce)

 

Para pelaku usaha baik e-Commerce maupun pelaku usaha konvensional yang menerima penghasilan hingga Rp4,8 miliar dapat memanfaatkan skema pajak final dengan tariff 0,5% dari jumlah omzet usaha.

 

Sebelumnya, hal ini telah diprediksi oleh Ketua Bidang Kebijakan Umum IdeA, Even Alex Chandra, yang akrab disapa Alex. Dalam event yang sama, Alex pesimisbila PMK  a quo dapat terimplementasi dengan baik, khususnya bila harus menjangkau seller pribadi yang berjualan melalui media sosial.

 

Misalnya, bila DJP mengejar seller yang berjualan melalui media sosial, akan sangat mudah bagi seller itu untuk menghindar seperti dengan hanya menutup media social tersebut dan kemudian membuat media sosial baru. “Jadi memang secara pribadi maupun asosiasi kami enggak yakin bila mereka bisa enforce itu, lebih-lebih ke medsos,” tukasnya.

 

Hukumonline.com

Even Alex Chandra selaku Ketua Bidang Kebijakan Umum dari Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) .

 

Awalnya, visi misi dan Kemenkeu dalam memberlakukan PMK tersebut diakui Alex memang baik, yakni untuk memastikan adanya perlakuan pajak yang sama antara pedagang konvensional (offline) dengan pedagang online. Hanya saja, Alex dan pihaknya merasa tak melihat adanya ketegasan dan kepastian yang jelas terkait aturan maupun implementasi dari PMK a quo.

 

Yang kami khawatir, misalnya sudah di enforce untuk meminta pedagang kita memasukan NPWP atau NIK. Karena belum teredukasi, dikhawatirkan pedagang tersebut pindah ke media social,” katanya.

 

Sementara, Ia mengungkapkan berdasarkan hasil survey yang telah dilakukan IdeA terhadap sekitar 3000 pedagang online, baru sekitar 16% sebetulnya yang telah berjualan melalui marketplace.

 

“Jadi yang paling berdampak sebetulnya di PMK ini adalah market place. Jadi malah kalo mereka pindah ke sosial media, kemenkeu akan lebih sulit lagi sebetulnya untuk menangkap mereka,” tegasnya.

 

Adapun terkait pokok-pokok persamaan perlakuan yang dimaksud PMK itu, Pengacara pada firma hukum ANC Attorneys at Law, Afia Cita Fitriana menjelaskan bagi pedagang dan penyedia jasa yang berjualan melalui platform marketplace wajib memberitahukan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) kepada pihak penyedia platform marketplace. Apabila belum memiliki NPWP, dapat memilih untuk mendaftarkan dirinya untuk memperoleh NPWP, atau dapat memberitahukan Nomor Induk Kependudukan kepada penyedia platform marketplace.

 

Pedagang juga wajib melaksanakan kewajiban terkait PPh sesuai dengan ketentuan yang berlaku, seperti membayar pajak final dengan tarif 0,5% dari omset dalam hal omset tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam setahun, serta dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dalam hal omset melebihi Rp4,8 miliar dalam setahun, dan melaksanakan kewajiban terkait PPN sesuai ketentuan yang berlaku.

 

Hukumonline.com

Afia Cita Fitriana selaku Senior Associate dari ANC Attorneys at Law.

 

Sedangkan untuk perlakuan pajak terhadap barang impor, hanya dikenakan terhadap transaksi yang dilakukan melalui platform yang terdaftar di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC); Pengirimannya dilakukan melalui Penyelenggara Pos dan memiliki nilai pabean sampai dengan free on board (FOB) US$ 1.500.

 

“Penyedia platform marketplace juga diwajibkan oleh PMK ini untuk meminta persetujuan dari DJBC,” jelasnya.

 

Tags:

Berita Terkait