Tak Ingin Kena Sanksi, PNS Perlu Pahami Cara Perhitungan Kinerja
Utama

Tak Ingin Kena Sanksi, PNS Perlu Pahami Cara Perhitungan Kinerja

Tantangannya bagaimana memastikan implementasi penilaian kinerja berjalan efektif. Masih ada waktu persiapan.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi penilaian kinerja PNS. Ilustrator: HGW
Ilustrasi penilaian kinerja PNS. Ilustrator: HGW

PNS yang tak memenuhi kinerja terukur berdasarkan perencanaan terancam dikenakan sanksi, terberat adalah diberhentikan dengan hormat. Setelah Peraturan Pemerintah (PP) No. 30 Tahun 2019 tentang Penilaian Kinerja Pegawai Negeri Sipil berlaku, kinerja seorang PNS tak bisa lagi didasarkan semata pada kedekatan dengan atasan. Kini, rekan kerja juga dapat memberikan penilaian yang bobotnya sudah terukur.

Meskipun pelaksanaan PP ini di lapangan belum tentu secepat yang diperkirakan, aparatur sipil negara yang berstatus PNS sebaiknya memahami lebih dahulu bagaimana perhitungan kinerja berdasarkan aturan terbaru ini.

Pertama-tama yang perlu dipahami adalah darimana penilaian kinerja itu berasal. Menurut aturan terbaru, ada dua aspek penilaian kinerja PNS, yaitu hasil kerja yang dicapai pada unit kerja sesuai dengan Sasaran Kinerja Pegawai (SKP), dan penilaian terhadap perilaku kerja. SKP ini adalah rencana kinerja dan target yang akan dicapai pada periode tertentu. PP No. 30 Tahun 2019 memberikan kebebasan untuk menggunakan pengukuran kinerja setiap bulan, triwulan, semesteran atau tahunan. Prinsipnya disesuaikan dengan kebutuhan organisasi. SKP itu pada dasarnya memuat kinerja utama yang harus dicapai seorang PNS setiap tahun.

Oh ya, perilaku kerja adalah setiap tingkah laku, sikap atau tindakan yang dilakukan PNS, atau tidak melakukan suatu pekerjaan yang seharusnya dilakukan. Gabungan penilaian terhadap hasil SKP dan nilai perilaku kerja inilah yang akhirnya menjadi total penilaian kinerja seorang PNS.

(Baca juga: Pemerintah Terbitkan Aturan Penilaian Kinerja PNS).

Selanjutnya, perlu dipahami bahwa kinerja seorang PNS akan dinyatakan dengan angka dan sebutan atau predikat. Ada lima predikat yang digunakan. Kinerja yang paling bagus disebut ‘sangat baik’; di bawahnya masing-masing diberi predikat ‘baik’, predikat sedang disebut ‘cukup’; predikat ‘kurang’; dan predikat ‘sangat kurang’.

Jika seorang PNS memperoleh total nilai 110-120 dan menciptakan ide baru atau cara baru dalam peningkatan kinerja yang memberi manfaat bagi organisasi atau negara. Misalnya, PNS tersebut berhasil menciptakan sistem antrian untuk mempermudah pelayanan di kantornya, atau membangun sistem informasi yang membuat kantornya semakin efisien menyimpan data dan melayani warga masyarakat.

Nilai ‘baik’ dapat diperoleh seorang PNS jika total angka yang diperoleh dari SKP dan perilaku adalah 90-120. Nilai ‘cukup’ diperoleh jika hasil penilaian kinerja PNS hanya 70-90. Nilai ‘kurang’ diberikan jika PNS hanya memperoleh angka 50-70. Predikat terbawah, ‘sangat kurang’ terjadi jika PNS hanya memperoleh angka kinerja di bawah 50 (lihat tabel).

Hukumonline.com

Pembobotan

Untuk mendapatkan angka-angka 50 sampai 120 tadi, perlu dihitung perolehan berdasarkan pembobotan masing-masing unsur penilaian: SKP dan perilaku kerja. Ada dua model yang diatur, yakni 70 berbanding 30, atau 60 berbanding 40. Bobot 70 dan 60 adalah untuk penilaian SKP; sebaliknya 30 dan 40 untuk bobot perilaku kerja. Opsi ini dapat dipilih sepanjang memenuhi ketentuan. Perbandingan 70:30 dilakukan oleh Instansi Pemerintah yang tidak menerapkan penilaian Perilaku Kerja dengan mempertimbangkan rekan kerja setingkat dan bawahan langsung.

Opsi kedua, 60:40 digunakan untuk penilaian Perilaku Kerja dilakukan oleh Instansi pemerintah yang menerapkan penilaian Perilaku Kerja dengan mempertimbangkan pendapat rekan kerja setingkat dan bawahan langsung. Penilaian terakhir ini melingkar 360 derajat. Banyak pihak yang terlibat memberi penilaian kepada seorang PNS.

(Baca juga: Tanpa Alasan Sah, PNS yang Tak Kerja Pada 10 Juni Dikenakan Sanksi Disiplin).

Sekadar contoh, seorang dosen PNS. SKP yang telah disusun mengharuskan PNS bersangkutan melakukan 3 penelitian dan menghasilkan 6 artikel di jurnal. Jika berhasil melakukan 4 penelitian, maka PNS bersangkutan dapat memperoleh nilai 100; dan jika hanya menghasilkan 2 artikel terpublikasi dalam setahun, maka nilai item penulisan karya ilmiah mungkin saja 50 atau di bawahnya. Penilaian kinerja itu dilakukan oleh Pejabat Penilai Kinerja. Nah, pedoman rinci penilaian ini seharusnya dibuat Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.

Dengan demikian, item tugas yang dimuat dalam SKP disesuaikan dengan tugas pokok dan fungsi di unit organisasi dimana PNS bekerja. Misalnya, PNS di Arsip Nasional Indonesia akan dinilai kinerjanya dari tugas-tugas pengarsipan. Ingat, SKP itu disusun oleh PNS dan Pejabat Penilai Kinerja dan/atau Pengelola Kinerja. Ada unsur kesepakatan PNS dan Pejabat Penilai Kinerja terhadap SKP sebelum direview oleh Pengelola Kerja.

Pasal 64 PP No. 30 Tahun 2019 menegaskan ‘peraturan pelaksanaan dari PP ini harus sudah ditetapkan paling lama dua tahun sejak PP ini diundangkan. Khusus untuk penilaian kinerja melingkar dari atasan, rekan sejawat dan bawahan, sudah harus dilaksanakan pemerintah paling lambat tahun 2024, yakni lima tahun sejak PP diundangkan.

Penilaian Perilaku

Unsur yang kemungkinan dapat berpotensi menimbulkan perdebatan dalam penerapan aturan baru ini adalah Perilaku Kerja. Apa yang disebut dengan perilaku, bagaimana menilai baik buruk suatu perlaku? Misalnya, seorang bawahan yang menentang perbuatan atasan karena yakin perbuatan atasan itu menyimpang dari peraturan perundang-undangan, apakah sikap PNS tersebut bernilai buruk?

Pembentuk undang-undang menginginkan ada kriteria terukur. Karena itu, sesuai Pasal 25 PP No. 30 Tahun 2019, aspek yang dinilai dalam Perilaku Kerja adalah orientasi pelayanan, inisiatif kerja, kerja sama, dan kepemimpinan bagi mereka yang menduduki jabatan pimpinan tinggi, administrator, pengawas, dan jabatan fungsional. Perilaku Kerja ditetapkan berdasarkan standar perilaku kerja dalam jabatan.

(Baca juga: Putusan MK Ini Perkuat Pemecatan Ribuan PNS Terpidana Korupsi).

Anggota Koalisi untuk Reformasi Birokrasi, Maya Rostanty, berpendapat materi muatan PP No. 30 Tahun 2019 cukup progresif. Tantangannya justru pada implementasi, bagaimana memastikan mekanisme penilaian kinerja itu berjalan efektif. Jangan sampai mekanisme penilaian ini sekadar mekanisme administratif dan prosedural. “Tantangan utamanya, mekanisme kinerja yang dibangun hanya administratif dan prosedural, dan tidak mencapai esensi yang diharapkan, yaitu perubahan kultur kerja PNS menjadi berorientasi kinerja,” pungkasnya kepada hukumonline.

Pembentuk undang-undang masih memberi waktu dua tahun ke depan untuk mempersiapkan peraturan teknis penilaian kinerja PNS ini. Apa yang sudah dipersiapkan unit organisasi Anda?

Tags:

Berita Terkait