Tak Ada Acuan Baku, Insolvency Test Sulit Diterapkan di Indonesia
Terbaru

Tak Ada Acuan Baku, Insolvency Test Sulit Diterapkan di Indonesia

Dua bidang ilmu akuntansi dan ekonomi memiliki teori insolvent yang berbeda.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 4 Menit
AKPI menyelenggarakan seminar dan webinar nasional dengan mengangkat tema Relevansi Doktrin Insolvency Test Terhadap Kepastian Pembayaran Utang Dalam Undang-Undang No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU. Jakarta, Rabu (17/11). Foto: RES
AKPI menyelenggarakan seminar dan webinar nasional dengan mengangkat tema Relevansi Doktrin Insolvency Test Terhadap Kepastian Pembayaran Utang Dalam Undang-Undang No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU. Jakarta, Rabu (17/11). Foto: RES

Usulan pelaku usaha khususnya Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) kepada pemerintah terkait moratorium Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) memunculkan isu baru yakni insolvency test. Insolvency test merupakan suatu pembuktian bahwa debitur benar-benar mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya dan kolaps.

Ketua Dewan Sertifikasi Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI), Ricardo Simanjuntak, mengatakan bahwa insolvency test tidak dapat diterapkan pada sengketa PKPU di Indonesia. Selaku negara hukum yang menganut sistem civil law, sistem peradilan Indonesia berlaku siapa yang mendalilkan dia yang membuktikan.

Jika kreditur mengajukan PKPU, menurut insolvency test kreditur wajib membuktikan bahwa debitur memang berada dalam situasi keuangan yang sulit dan sudah tidak mampu menunaikan kewajibannya. Artinya kreditur harus membuktikan klaim dengan laporan keuangan debitur. Ricardo menilai hal ini sulit untuk dilakukan oleh debitur, apalagi jika debitur berstatus sebagai perusahaan tertutup.

“Pertanyaannya pembuktian laporan keuangan masuk ke dalil hukum siapa yang mendalilkan dia yang membuktikan. Kalau saya menuduh debitur pailit maka saya yang terbebani untuk membuktikan debitur palit, dan kebanyakan debitur kalau sudah col 3 tidak mau memberikan laporan keuangannya. Dalil ini masuk ke 1997, dan insolvency test tidak bisa diletakkan sebagai dasar pailit. Ini dasar fundamental reformasi bergerak dari insolvency test, kalau ditarik lagi insolvency test maka rentan pasal 8 ayat 4, semua perkara masuk ke Pengadilan Negeri, apa yang mau diperiksa Pengadilan Negeri kalau tidak ada sengketa utang, karena ini kasusnya simpel nggak bayar utang,” kata Ricardo dalam seminar yang diselenggarakan AKPI, Rabu (17/11).

Selain itu tidak ada mekanisme yang jelas untuk menguji insolvency test. Pendekatan dari dua bidang ilmu yakni akuntansi dan ekonomi memaknai insolven secara berbeda. Mantan Ketua Umum Institut Akuntan Publik Indonesia Amir Abadi Jusuf mengatakan bahwa akuntansi tidak mengukur insolven suatu perusahaan, akuntansi justru mengukur solven perusahaan. (Baca: Persoalan Likuidasi dan Kepailitan BUMN)

Dalam ilmu akuntansi, lanjutnya, suatu entitas dinyatakan insolven ketika tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kewajiban. Akuntansi mengukur kemampuan dengan uang. Data untuk mengukur kepailitan berasal dari laporan keuangan dan catatan akuntansi.

Amir menjelaskan ada dua bentuk insolvency dalam akuntansi yakni cash flow insolvency dan balanced-sheet insolvency. Cash flow insolvency terjadiketika seseorang atau perusahaan memiliki aset yang cukup untuk membayar hutangnya, tetapi tidak memiliki bentuk pembayaran yang sesuai, atau dengan kata lain perusahaan tidak memiliki uang yang cukup untuk membayar utang. Sementara itu balanced-sheet insolvency atau teknikal insolvencyterjadi di mana nilai aset perusahaan lebih kecil dari jumlah kewajibannya, dengan mempertimbangkan kewajiban kontinjensi dan prospektif.

“Insolvency selama ini banyak kita tekankan pada teknikal insolvency,  bisa ditekankan ke balanced-sheet insolvency. Di lain pihak ada cash flow insolvency, di mana perusahaan yang memiliki aset lebih besar daripada uang tapi tidak mampu bayar utang. Itu isu cash flow, karena mungkin utang dia macet tapi asetnya luar biasa tapi enggak punya uang untuk bayar utang, yang tidak dia punya itu cash. Kalau dilihat dari aturan perundang-undangan dia sudah bisa memenuhi syarat pailit meskipun asetnya banyak, ini seperti kasus telkomsel,” jelas Amir pada acara yang sama.

Sementara itu dari sisi ekonomi, insolven lebih dikenal dengan financial distress atau kesulitan keuangan di mana arus kas operasi perusahaan tidak cukup untuk memenuhi kewajiban saat ini, dan perusahaan dipaksa untuk mengambil tindakan korektif. Kesulitan keuangan dapat menyebabkan perusahaan gagal membayar kontrak, dan mungkin melibatkan restrukturisasi keuangan antara perusahaan, krediturnya, dan investor ekuitasnya.

Menurut Dewan Kode Etik Institut Akuntan Publik Indonesia, Budi Frensidy, perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan hingga ekuitasnya negatif tidak selalu berarti insolvent. Perusahaan yang kesulitan keuangan biasanya melakukan restrukturisasi aset dan atau kapital.

Perusahaan dengan ekuitas negatif tidak berarti insolvent jika mereka masih dapat beroperasi dalam menghasilkan revenue. Di Bursa Efek Indonesia (BEI) emiten dengan ekuitas negatif dan rugi bersih hingga laporan keuangan terakhirnya masih tetap diburu investor. Ini berarti para investor masih percaya akan kemampuan emiten itu untuk tetap sebagai going concern dan memperoleh laba di kemudian hari.

Berkaca dalam emiten-emiten yang tercatat di Bursa Efek Indonesia, lanjut Budi, tidak ada permohonan pernyataan pailit untuk emiten-emiten yang berekuitas negatif di BEI. Separuh dari saham dengan ekuitas negatif masih aktif diperdagangkan bahkan satu menjadi top gainer.

Dari 40 saham dengan ekuitas negatif, sebanyak separuhnya yaitu 20 masih aktif diperdagangkan. Satu dari 20 saham itu bahkan menjadi salah satu top gainers dengan return YTD 453,7% dan YoY 808% padahal masih rugi untuk YTD. Hal ini membuktikan bahwa emiten dengan ekuitas negatif masih dipercaya para investor karena investor mengacu pada market value, bukan book value.

“Equitas negatif itu baru book value, investor acuannya market value. Cashflow negatif belum tentu neraca negatif, dan tetap bisa dihargai investor karena punya pangsa pasar yang bagus. Isuny kalau sudah tidak ada revue atau sell, itu yang membuat investor tidak bersedia lagi. Contohnya perusahaan startup kayak Gojek, itu ekuitas mereka negatif, berdarah-darah, tapi dihargai sama investor. Karena yang mereka beli itu future-nya,” papar Budi.

Tak adanya acuan baku membuat penerapan insolvency test dalam perkara PKPU dan kepailitan di Indonesia. Bahkan Ricardo mengungkap sembilan alasan yang membuat insolvency test tak cocok di Indonesia.

Tags:

Berita Terkait