Tahun Depan Biaya Pembangunan Tidak Berasal dari Utang
Utama

Tahun Depan Biaya Pembangunan Tidak Berasal dari Utang

Pemerintah berkomiten akan mengurangi ketergantungan utang untuk membiayai pembangunan, termasuk menolak pinjaman dari IMF.

Yoz
Bacaan 2 Menit
Tahun Depan Biaya Pembangunan Tidak Berasal dari Utang
Hukumonline

Harap dicatat, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berjanji akan terus mengurangi ketergantungan kepada utang, khususnya utang luar negeri untuk membiayai anggaran pembangunan. Pemerintah, katanya, memastikan tidak akan menggunakan pinjaman dari Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) meski Indonesia akan mengalami defisit pada 2010. Hal itu disampaikan SBY saat menyampaikan Nota Keuangan RAPBN 2010, Senin (03/8) di gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta.

 

Dalam pidatonya, SBY menjelaskan pemerintah menetapkan defisit dalam RAPBN 2010 sebesar 1,6 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini dinilai masih cukup aman dan tepat bagi perekonomian yang masih dalam tahap pemulihan krisis global. Untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan, pemerintah akan melakukan empat kebijakan. Pertama, mengupayakan pinjaman dengan persyaratan lunak untuk jangka panjang.


Kedua, mengutamakan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) rupiah di pasar dalam negeri, guna pengembangan pasar modal dan membantu pengelolaan likuiditas pasar. Ketiga, membuka akses sumber pembiayaan di pasar internasional, seperti global bond dan sukuk global untuk meningkatkan posisi tawar. Serta keempat, penarikan pinjaman siaga yang sudah menjadi komitmen lembaga keuangan internasional dan yang belum dapat direalisasikan pada 2009. Untuk mengatasi krisis, SBY berjanji, pemerintah tidak akan menggunakan bantuan dana IMF seperti saat krisis 1998.

 

Dengan kebutuhan pembiayaan, baik berasal dari dalam maupun luar negeri, rasio utang pemerintah terhadap PDB akan menurun dari 57 persen pada tahun 2004, menjadi sekitar 30 persen pada akhir 2010. Penurunan ini akan memperkuat struktur ketahanan fiskal, sejalan dengan tujuan untuk mencapai kemandirian fiskal yang berkelanjutan, urainya. Selain itu, penurunan rasio utang membuktikan komitmen pemerintah untuk membangun Indonesia semaksimal mungkin dengan menggunakan sumber daya sendiri. Kita patut bersyukur bahwa angka ini adalah rasio utang terendah sejak era reformasi, tambahnya.

 

Untuk diketahui, pernyataan SBY ini tidak lepas dari banyaknya kritikan-kritikan yang dilayangkan kepada pemerintahannya. Menurut SBY, pembiayaan dalam bentuk utang sering menjadi isu politik dan perhatian publik. Pemerintah, katanya, memiliki komitmen yang nyata dalam menetapkan kebijakan yang tepat berkaitan dengan utang pemerintah dengan senantiasa mengacu kepada prinsip kehati-hatian dan azas manfaat. Kebijakan ini ditetapkan agar pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, termasuk upaya mengatasi krisis ekonomi dewasa ini, mendapatkan pembiayaan semestinya, paparnya.

 

Presiden juga membantah, utang yang didapat pemerintah harus dibarter dengan mengorbankan kedaulatan ekonomi dan politik. Menurutnya, pemerintah senantiasa menjaga rasio utang terhadap pendapatan nasional dan kemampuan negara untuk membayarnya.

 

Sebelumnya, Ketua LSM Koalisi Anti Utang (KAU) Dani Setiawan mengatakan, proyek ADB di sektor energi dan program perubahan iklim telah berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan dan eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran. Bersama Bank Dunia, ADB telah menjadi penggerak utama privatisasi layanan sosial di kawasan Asia Pasifik. ADB terlibat dalam praktik privatisasi air di indonesia, India, pakistan, Korea Selatan, Nepal dan Sri Lanka. ADB Juga mendanai privatisasi listrik dalam proyeknya di Filipina, Bangladesh, Pakitan, Thailand, dan banyak tempat lainnya, katanya.

 

Oleh karena itu, KAU meminta Pemerintah agar menuntut pertanggungjawaban Asian Development Bank (ADB) atas penyaluran proyek utang yang telah melahirkan kerusakan sosial dan ekonomi negara. Caranya melalui penghapusan utang luar negeri yang tidak sah dan membatalkan semua komitmen utang yang belum dicairkan. Pemerintah juga harus mendesak ADB melakukan pemulihan atas biaya sosial dan ekonomi yang telah ditanggung rakyat atas kontrak-kontrak proyek utang yang tidak adil dan hanya menguntungkan korporasi dan elit politik.

 

Sementara itu, anggota Komisi XI DPR bidang keuangan dan perbankan, Maruarar Sirait mendukung komitmen pemerintah yang tidak akan lagi meminta bantuan IMF. Namun, Maruarar mempertanyakan dari mana pemerintah bisa mendapatkan uang untuk membayar semua utang yang ada selama ini. Ia juga mengingatkan, harga Surat Utang Negara (SUN) yang selama ini ada juga sangat mahal. Yield kita juga tinggi sekali, ujarnya.

 

Menurutnya, pemerintah perlu memikirkan langkah yang harus ditempuh untuk membayar utang. Apalagi, katanya, selama 25 tahun ini utang pemerintah bertambah sebesar Rp400 triliun.

Tags: