Tahap Wawancara, Dari Mobil Dinas Sampai Hobi SMS
Seleksi Hakim Agung

Tahap Wawancara, Dari Mobil Dinas Sampai Hobi SMS

Seperti tertulis disini saya menyatakan bersedia mengundurkan diri tetapi belum tentu saya akan mengundurkan diri.

Rzk
Bacaan 2 Menit

 

Kesiapan mental para bakal calon memang sangat diuji dalam tahap wawancara ini karena pertanyaan-pertanyaan yang dihujamkan kepada mereka sangat beragam baik dari segi substansi maupun cara penyampaiannya. Tidak siap mental atau bahkan gugup justru akan berakibat fatal bagi para bakal calon. Hal ini misalnya terjadi pada Achmad Mukhsin Asyrof, bakal calon yang mendapat giliran ketiga diwawancara.

 

Entah karena gugup atau keterbatasan pengetahuan, Ketua Pengadilan Tinggi Agama (KPTA) Bengkulu ini salah menyebutkan nomor dan tahun UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terakhir ketika ditanyakan salah satu anggota KY. Asyrof menjawab UU No. 22 Tahun 2004, padahal seharusnya UU No. 20 Tahun 2001. Saya kan belum menjadi hakim agung, ujar Asyrof membela diri dengan sedikit berkelakar.

 

Klarifikasi temuan KY

Dalam tahap wawancara ini, para punggawa KY juga mencoba melakukan klarifikasi atas beberapa temuan KY terkait para bakal calon. Abdul Gani Abdullah, misalnya, dimintai klarifikasi atas temuan yang menyatakan dia pernah menggunakan mobil dinas untuk keperluan pergi ke kampung halamannya di Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB). Selain itu, KY juga meminta klarifikasi atas informasi yang menyatakan Gani ketika menjabat Direktur Jenderal (Dirjen) Perundang-undangan menerima dana sejumlah Rp5 milyar untuk pembahasan suatu Undang-undang.

 

Atas tudingan tersebut, Gani membantah dengan tegas soal dana Rp5 milyar tetapi mengiyakan soal pemakaian mobil dinas untuk pulang kampung. Gani berdalih penggunaan mobil dinas dilakukan karena ketika itu dia beserta jajaran Dirjen Perundang-undangan tengah menggelar acara di Mataram yang juga terletak di provinsi NTB. Dengan alasan lokasinya berdekatan, Gani kemudian memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya, dan niatnya tersebut ditanggapi oleh jajaran Dirjen Perundang-undangan lainnya yang juga tertarik mengunjungi kampung halaman Gani.

 

Klarifikasi tidak hanya diajukan KY kepada Gani tetapi juga kepada Achmad Ali. Profesor dari Universitas Hasanuddin (Unhas) ini secara khusus dimintai klarifikasi atas penetapan tersangka terhadap dirinya terkait kasus dugaan korupsi di universitas negeri ternama di Pulau Sulawesi tersebut.

 

Terkait hal ini, Ali menjelaskan bahwa secara keseluruhan dirinya dikaitkan pada dua kasus, yakni penyelewengan dana program pasca sarjana hukum kepolisian dan penyalahgunaan surat perjalanan dinas. Untuk kasus yang pertama, Ali membantah dengan tegas keterlibatan dirinya. Menurut Ali, dirinya tidak mungkin terlibat karena dia tidak punya kewenangan dalam program pasca sarjana di Unhas. Sementara untuk kasus kedua, Ali mengatakan kasus itu sebenarnya sudah selesai dan telah diaudit oleh Depdiknas dan BPKP.

 

"Jika kasus itu merupakan dugaan korupsi pengelolaan program S2 hukum kepolisian Unhas itu adalah error in persona. Tindak pidana ada, tapi salah orang karena saya tidak pernah menjabat sebagai ketua program tersebut," ujarnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags: