Syarat Menjadi Kuasa Hukum Pada Pengadilan Pajak Tidak Harus Sarjana Hukum atau Advokat
Utama

Syarat Menjadi Kuasa Hukum Pada Pengadilan Pajak Tidak Harus Sarjana Hukum atau Advokat

Untuk menjadi kuasa hukum di Pengadilan Pajak syaratnya harus memiliki pengetahuan di bidang pajak.

Willa Wahyuni
Bacaan 4 Menit
Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Ruston Tambunan, dalam webinar online yang diselenggarakan Universitas Pelita Harapan (UPH), Senin (25/9). Foto: WIL
Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Ruston Tambunan, dalam webinar online yang diselenggarakan Universitas Pelita Harapan (UPH), Senin (25/9). Foto: WIL

Kuasa hukum dalam Pengadilan Pajak merupakan perseorangan yang dapat mendampingi atau mewakili para pihak yang bersengketa dalam beracara pada Pengadilan Pajak. Setiap orang perseorangan yang akan menjadi kuasa hukum pada Pengadilan Pajak harus memiliki izin kuasa hukum dari Ketua Pengadilan Pajak.

“Persyaratan untuk menjadi kuasa hukum pada Pengadilan Pajak tertuang dalam Pasal 34 ayat (2) UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu harus WNI, mempunyai pengetahuan yang luas dan keahlian tentang peraturan perundang-undangan perpajakan, dan persyaratan lain yang ditetapkan oleh menteri,” ujar Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Ruston Tambunan dalam webinar online yang diselenggarakan Universitas Pelita Harapan (UPH), Senin (25/9).

Kemudian di dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 184/PMK.01/2017 tentang Persyaratan Untuk Menjadi Kuasa Hukum Pada Pengadilan Pajak, Pasal 2 sampai Pasal 5 menyatakan setiap orang perseorangan untuk menjadi kuasa hukum pada Pengadilan Pajak harus memenuhi persyaratan umum dan persyaratan khusus.

Baca Juga:

Persyaratan umum adalah harus WNI dan mempunyai pengetahuan yang luas dan keahlian tentang peraturan perundang-undangan perpajakan yang dibuktikan dengan ijazah sarjana atau diploma IV di bidang administrasi, akuntansi, perpajakan serta ijazah sarjana atau diploma IV selain bidang tersebut ditambah dengan sertifikat brevet perpajakan dari instansi atau lembaga penyelenggara brevet perpajakan atau sertifikasi keahlian kepabeanan dan cukai dan dokumen yang menunjukkan pengalaman bekerja pada instansi pemerintah bidang perpajakan atau bea cukai.

“Tidak ada preferensi kepada sarjana akuntansi atau pajak kepabeanan karena boleh ijazah dari sarjana lain, tetapi pendaftar harus memiliki plus-nya. Tapi yang jelas kuasa hukum syaratnya harus punya pengetahuan di bidang pajak tidak harus sarjana hukum dan tidak harus advokat,” jelas Ruston.

Selain persyaratan umum, untuk dapat menjadi kuasa hukum pada Pengadilan Pajak juga harus memenuhi persyaratan khusus yaitu mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), mempunyai bukti tanda terima penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan pajak penghasilan orang pribadi 2 tahun terakhir, memiliki Surat Keterangan Catatan Kepolisian, tidak berstatus PNS atau pejabat negara, menandatangani pakta integritas, dan telah melewati jangka waktu 2 tahun setelah diberhentikan dengan hormat sebagai hakim Pengadilan Pajak untuk orang yang pernah mengabdikan diri sebagai hakim Pengadilan Pajak.

“Serta yang paling penting dari persyaratan khusus ini adalah harus memiliki izin kuasa hukum. Kalau dia punya lisensi sebagai advokat maka dia harus ada pengetahuan di bidang perpajakan, sedangkan sarjana lain tidak perlu apa-apa hanya perlu bukti keahlian dalam perpajakan,” imbuh dia.

Setiap orang yang menjadi kuasa hukum pada Pengadilan Pajak harus mempunyai izin kuasa hukum dari Ketua Pengadilan Pajak. Tata cara permohonan untuk mendapatkan izin kuasa hukum diatur dalam Peraturan Ketua Pengadilan Pajak No. 1 Tahun 2018.

“Selama ada tambahan untuk menunjukkan keahlian dalam perpajakan apalagi dapat menunjukkan sertifikat brevetnya maka itu sudah dinilai ahli, jadi yang bukan sarjana tapi ikut kursus brevet saat ini bisa menjadi kuasa hukum Pengadilan Pajak,” pungkasnya.

Saat ini Pengadilan Pajak berada di bawah Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk hal-hal yang meliputi administrasi, keorganisasian, dan pembinaan. Sementara secara teknis yudisialnya yang merupakan roh daripada kemandirian badan peradilan, berada di bawah Mahkamah Agung (MA).

“Secara faktual independensi Pengadilan Pajak baru terbatas pada cita-cita dan semangat. Karena secara faktual Pengadilan Pajak selama ini masih diselenggarakan oleh dua institusi yang berbeda, yaitu di satu sisi tunduk pada pembinaan teknis yudisial yang dilakukan oleh Mahkamah Agung, akan tetapi pada kewajiban lainnya yaitu berkenaan dengan organisasi administrasi dan keuangan pembinaannya tunduk pada Kemenkeu,” ujar Hakim Konstitusi, Dr. Suhartoyo dalam acara yang sama.

Suhartoyo melanjutkan, tanpa adanya independensi dalam lembaga peradilan dan juga setidaknya badan peradilan yang masih berpotensi dipengaruhi oleh kekuasaan pemerintah atau eksekutif, hal ini dapat memperbesar peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan atau adanya kesewenangan dalam pemerintahan termasuk diabaikannya hak konstitusi warga negara oleh penguasa akibat terabaikannya independensi badan peradilan.

“Secara konstitusional, perihal independensi peradilan telah diatur secara jelas dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan,” tuturnya melanjutkan.

Secara umum kedudukan pengadilan pajak dalam kekuasaan kehakiman tertuang dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 1 angka 8 dan Pasal 27 ayat (1). Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusannya No. 004/PUU-II/2004 tanggal 13 Desember 2004 telah mempertimbangkan sebagai berikut bahwa Pasal 22 UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan terhadap putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada MA adalah pihak yang bersangkutan kecuali UU menentukan lain.

“Mahkamah berpendapat bahwa tiadanya upaya kasasi pada Pengadilan Pajak tidak berarti bahwa Pengadilan Pajak tidak berpihak pada MA,” imbuh dia.

Tags:

Berita Terkait