Susahnya Menetapkan Upah Minimum
Kolom

Susahnya Menetapkan Upah Minimum

Dewan Pengupahan seharusnya diisi oleh pihak independen. Bukan perwakilan pekerja dan pengusaha.

Bacaan 2 Menit
Susahnya Menetapkan Upah Minimum
Hukumonline

Penetapan upah minimum provinsi (UMP) dan upah minimum kabupaten/kota (UMK) adalah salah satu persoalan klasik perburuhan yang setiap tahun menimbulkan gejolak di kota-kota padat industri. Unjuk rasa dan pengerahan massa buruh, memblokade jalan hingga sweeping ke pabrik-pabrik agar buruh yang masih bekerja meninggalkan pekerjaannya untuk turun berdemonstrasi menuntut UMK sesuai perhitungan buruh terjadi di mana-mana.

Tindakan yang dilakukan sebagian buruh tersebut sebenarnya justru kontraproduktif dengan tuntutan yang diminta. Sebenarnya apa akar permasalahan yang menyebabkan penetapan upah minimum selalu dipenuhi polemik?

Akar permasalahan
Sulitnya penetapan UMK sebenarnya disebabkan beberapa alasan. Pertama, tidak jelasnya peraturan tentang penetapan upah itu sendiri. Pemberian kewenangan kepada kepala daerah dengan berdasar pada usulan dewan pengupahan dan mempertimbangkan kondisi wilayah, dan lain-lain telah menimbulkan celah bagi pihak-pihak untuk melakukan lobi dan upaya pemaksaan kehendak untuk kepentingannya masing-masing.

Kedua, upah yang seharusnya merupakan objek yang dapat dinilai secara pasti meskipun komponen-komponen yang mempengaruhinya cukup banyak, tetapi hal tersebut dapat diukur dan diteliti dengan menggunakan metode survei.

Permasalahan yang terjadi selama ini adalah yang melakukan survei adalah pihak yang justru mempunyai kepentingan dalam menetapkan hasil survei itu sendiri, sehingga objektivitas dalam melakukan survei sangat diragukan. Pihak yang mewakili buruh akan mempunyai hasil survei dengan nilai tertentu yang berbeda dengan pihak pengusaha.

Ketiga, rendahnya tingkat kepercayaan sebagian buruh (dalam hal ini adalah sebagian aktivis buruh) terhadap orang-orang yang duduk dalam dewan pengupahan saat ini. Ketidakpercayaan sebagian aktivis buruh terhadap dewan pengupahan yang kabarnya dapat diintervensi oleh pihak-pihak tertentu dalam menyampaikan usulan upah, menambah rumit permasalahan upah buruh.

Keempat, bukan menjadi rahasia lagi bahwa masih banyak biaya-biaya siluman yang ada di birokrasi saat ini. Akibatnya alokasi biaya yang seharusnya dapat dipergunakan untuk menyejahterakan buruh terserap kepada oknum-oknum birokrasi dan aparatur negara lainnya maupun oknum yang senang memeras pengusaha.

Kelemahan upah minimum  
UMK sendiri mempunyai kelemahan dalam praktiknya. Ketentuan dalam Pasal 88 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menentukan bahwa setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Dan dalam penjelasan pasal tersebut juga disebutkan bahwa yang dimaksud dengan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak adalah jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua.

Kelemahan UMK adalah, pertama, diberlakukan terhadap semua pengusaha, tidak perduli klasifikasi pengusaha atau perusahaan tersebut, apakah perusahaan yang mempunyai jumlah ribuan buruh maupun perusahaan UKM atau bahkan pengusaha-pengusaha kecil atau pedagang tradisional yang terpenting mempunyai pekerja.

Kedua, UMK yang sebenarnya dimaksudkan sebagai jaring pengamanan untuk pekerja lajang dengan masa kerja satu tahun tetapi dimanfaatkan oleh beberapa pengusaha dengan diterapkan kepada seluruh pekerjanya tanpa menghiraukan berapa lama pekerja tersebut telah bekerja padanya.

Ketiga, Bupati, Wali Kota dan Gubernur yang dapat menggunakan “kekuasaannya” menentukan UMK dengan maksud untuk melakukan bargaining dalam Pilkada atau “pencitraan” di hadapan massa buruh. Juga sebaliknya, Bupati, Wali Kota dan Gubernur “bermain mata” dengan pengusaha untuk menentukan UMK yang tidak sesuai dengan usulan dewan pengupahan.

Solusi
Solusi yang dapat dilakukan oleh Pemerintah, buruh dan pengusaha adalah: Pertama, melakukan kajian dan evaluasi terhadap dewan pengupahan yang telah dibentuk berdasarkan Keppres No. 107 tahun 2004 tentang Dewan Pengupahan, dengan menempatkan orang-orang yang terpercaya di Dewan Pengupahan tingkat Kabupaten/Kota maupun di tingkat Provinsi.

Kedua, Survei harga-harga dilakukan oleh lembaga independen yang terpercaya (Badan Pusat Statistik, Universitas yang ternama, dll) bukan oleh Dewan Pengupahan.

Ketiga, peraturan yang ada perlu diperbaiki bukan memberikan keleluasaan kepada Bupati/Wali Kota/Gubernur terlalu besar sehingga dapat dijadikan alasan “pemaksa” oleh buruh di satu pihak maupun lobby bagi pengusaha di pihak lain ataupun untuk pencitraan bagi kepala daerah di depan para buruh untuk kepentingan Pilkada.

Keempat, pengusaha harus menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan dan kompetensi dari buruh mengingat bahwa UMK hanyalah merupakan jaring pengaman dan hanya diperuntukkan bagi buruh lajang dengan masa kerja di bawah satu tahun.

Pengusaha jangan melakukan kesalahan sebagaimana pendapat Morten Lund, ”If you pay in bananas, you get monkeys”. Sebaliknya pekerja/buruh juga harus mengikuti pendapat Mario Teguh, “Memantaskan diri terhadap apa yang kita dapatkan”. Apakah upah yang diterima pekerja/buruh sudah pantas dengan produktivitas yang sudah diberikan kepada pengusaha.

Semoga pemerintah, aktivis serikat buruh dan Apindo dapat segera merumuskan mekanisme terbaik dalam menentukan besarnya UMK sehingga di tahun-tahun yang akan datang tidak perlu terjadi unjuk rasa besar-besaran yang akan merugikan masyarakat umum yang jauh lebih banyak jumlah dan kepentingannya. Semoga pada akhirnya para buruh semakin berusaha meningkatkan produktivitasnya, Pengusaha semakin memperhatikan kesejahteraan buruhnya dan Pemerintah dapat terus mendorong terciptanya lapangan kerja yang banyak serta mendorong tumbuhnya pengusaha-pengusaha baru di negara ini.

*) Hakim Ad Hoc Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Surabaya dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Airlangga Surabaya

Tags: