Surat Pengantar Korwas PPNS Seharga Rp15 Juta
Berita

Surat Pengantar Korwas PPNS Seharga Rp15 Juta

Uang dibagi-bagikan ke rekan dan atasan Korwas PPNS.

NOV
Bacaan 2 Menit
Eko Darmayanto (baju batik cokelat) dan M Dian Irwan Nuqisra (paling kiri). Foto: NOV
Eko Darmayanto (baju batik cokelat) dan M Dian Irwan Nuqisra (paling kiri). Foto: NOV

Administrasi penyidikan perkara pidana perpajakan sedikit berbeda dengan pidana biasa. Ketika Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) pajak memulai penyidikan, PPNS harus mengirimkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) ke Kejaksaan melalui Koordinasi dan Pengawasan (Korwas) PPNS di Kepolisian.

Begitu pula ketika PPNS pajak mengajukan pencegahan ke Direktorat Jenderal Imigrasi dan melimpahkan berkas perkara ke Kejaksaan. PPNS pajak tidak bisa “potong kompas” mengirimkan berkas ke Kejaksaan, tapi harus melalui Korwas PPNS. Selanjutnya, Korwas membuatkan surat pengantar untuk pelimpahan ke Kejaksaan.

Namun, prosedur seperti ini ternyata membuka peluang terjadinya praktik penyimpangan. Korwas PPNS Ditreskrimsus Polda Metro Jaya, Jhonedy Situmorang bersaksi untuk kasus tindak pidana korupsi dua pegawai pajak, M Dian Irwan Nuqisra dan Eko Darmayanto di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa kemarin (29/10). Di persidangan, Jhonedy mengaku menerima uang Rp15 juta dari Eko.

Menurutnya, uang tersebut merupakan biaya koordinasi untuk pembuatan tiga surat pengantar. Pertama, surat pengantar SPDP atas nama Direktur PT Master Steel Manufactory (MSM) Diah Soemedi dan Ngadiman. Kedua, surat pengantar pemintaan cegah, dan ketiga surat pengantar berkas dari Kanwil DJP Jakarta Timur ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.

Dari Rp15 juta, Jhonedy dan rekannya, Saimun masing-masing mendapat Rp6,5 juta, sedangkan atasannya Rp2 juta. Sepengetahuan Jhonedy, uang itu diambil dari anggaran penyidikan pajak. Jhonedy sudah biasa menerima dari PPNS-PPNS lain, meski besarannya berbeda-beda. “Kadang dikasih Rp2,8 juta, kadang Rp2,5 juta,” katanya.

Pernyataan Jhonedy memunculkan pertanyaan dari Ketua majelis hakim Amin Ismanto. Mengapa jika sudah masuk dalam anggaran, jumlah yang diterima Jhonedy berbeda-beda? Apa setiap pembuatan surat pengantar ada dana koordinasi? Apabila penerimaan Rp15 juta itu resmi, apakah Jhonedy membuat tanda terima?

Jhonedy mengatakan tidak membuat tanda terima untuk penerimaan itu. Ia menganggap pemberian uang operasional dari PPNS pajak merupakan sesuatu yang biasa dilakukan dalam rangka koordinasi. Akan tetapi, Jhonedy sudah mengembalikan uang Rp15 juta ke KPK karena penyidik menyatakan uang itu bukan hak Jhonedy.

Kemudian, pelimpahan berkas juga tidak dilakukan sesuai prosedur. Seharusnya, berkas penyidikan perkara pajak MSM dikirimkan ke Polda Metro. Nyatanya, Jhonedy menerima berkas di kantin Kejati DKI Jakarta. Ia beralasan, Eko takut berkas itu bocor karena salah seorang tersangka, Ngadiman bekas pegawai pajak.

Menuruti permintaan Eko, Jhonedy dan rekannya datang ke kantin Kejati DKI Jakarta. Setelah menerima berkas dari Eko, Jhonedy lalu menitipkan berkas kepada staf administrasi Kejati DKI Jakarta. Meski pelimpahan berkas tidak dilakukan sesuai prosedur, Jhonedy mengaku hal seperti itu sudah biasa dilakukan untuk percepatan.

Sementara saksi lainnya, jaksa peneliti Kejati DKI Jakarta, Desi Mutia Firdaus mengungkapkan, berkas yang dikirim Eko belum layak dilimpahkan. Ada tiga berkas perkara atas nama Diah Soemedi, Istanto Burhan, dan Ngadiman. “Semuanya tidak jelas kaitan perkaranya. Bahkan ada yang saksinya cuma satu,” ujarnya.

Sekitar awal Mei 2013, Eko mendatangi Desi untuk berkoordinasi terkait penyidikan perkara MSM. Eko sempat mengirimkan SMS pemberitahuan bahwa berkas perkara sudah dikirim. Eko meminta Desi menyatakan salah satu berkas lengkap (P21) karena kalau tidak Eko akan mendapat sanksi atau dimutasi ke tempat yang jauh.

Namun, atas permintaan Eko, Desi belum bisa memberikan jawaban. Ia baru menerima berkas perkara MSM pada 14 Mei 2013. Keesokan harinya, Desi mendengar kabar Eko ditangkap KPK karena diduga menerima suap. Desi lalu mulai meneliti berkas dan menemukan banyak kekurangan dari segi formil maupun materil.

Setelah diteliti, menurut Desi, tidak ada saksi yang betul-betul bisa menjelaskan apa sebenarnya tindak pidana pajak yang dilakukan ketiga tersangka. Alhasil, Desi memberikan berlembar-lembar petunjuk (P19) untuk dilengkapi PPNS pajak. Hingga kini, belum ada pengembalian berkas dari PPNS pajak ke Kejati DKI Jakarta.

Sebagaiman dakwaan jaksa, Eko dan Dian diduga sengaja membuat berkas penyidikan perkara pajak MSM tidak lengkap. Hal itu dilakukan agar mereka memiliki alasan untuk menghentikan penyidikan perkara MSM. Sebagai uang muka, Diah memberikan uang sebesar Sing$600 ribu kepada Eko dan Dian melalui Effendy Komala.

Kesepakatan Borobudur
Mengenai kesepakatan pemberian uang, Direktur Utama MSM Istanto Burhan mengaku tidak mengikuti pembicaraan antara Diah, Eko, dan Dian di Hotel Borobudur. Ia baru mengetahui ada permintaan uang setelah diberitahu Diah. Permintaan uang itu terkait dengan permasalahan pajak yang sedang dihadapi MSM.

Menurut Istanto, Eko dan Dian akan membawa permasalahan pajak MSM ke tingkat penyidikan. Padahal, MSM sudah menyelesaikan pembayaran sesuai ketentuan Pasal 8 ayat (3) UU No 28 Tahun 2007. MSM membayar pajak yang dipermasalahkan melalui bukti pengakuan ketidakbenaran berikut dendanya sekitar Rp160 miliar.

Hal senada juga diungkapkan dua konsultan pajak MSM, Ngadiman dan Ruben Hutabarat. Ngadiman mengatakan, saat menjadi kuasa hukum pendamping dalam pemeriksaan tim bukti permulaan (buper) Kanwil DJP Jakarta Timur, MSM telah menyelesaikan permasalahan pajak dengan melakukan pembetulan dan membayar denda.

Entah mengapa, setelah pergantian tim buper, direksi MSM kembali dipanggil. Eko yang ketika itu menjadi ketua tim buper menyatakan, ada perintah dari Kakanwil Hario Damar agar MSM melakukan pembayaran tiga kali lipat dari Rp160 miliar. Namun, Ngadiman menyarankan MSM menempuh jalur hukum.

Setelah lama tidak mendapat kabar dari MSM, Kakanwil Hario Damar menerbitkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) untuk MSM. Ruben mengungkapkan, sebenarnya MSM masih memiliki kesempatan melakukan pembetulan sebelum SPDP dikirimkan ke Kejaksaan. Ternyata SPDP sudah terlanjur dikirimkan ke Kejaksaan.

Maka dari itu, terjadilah pertemuan antara Diah, Eko, dan Dian di Hotel Borobudur. Ruben yang datang terlambat baru mengetahui jika Diah menyepakati permintaan uang. Awalnya Eko dan Dian meminta Rp150 miliar agar sidang perkara pajak MSM berjalan sampai ke pengadilan dan diputus dengan hukuman percobaan.

Namun, Diah, Eko, dan Dian bernegosiasi, sehingga disepakati imbalan Rp40 miliar. Diah meminta agar penyidikan perkara pajak yang disangkakan kepadanya dihentikan. Mendengar hal itu, Ruben tidak sepakat dan menyarankan Diah menempuh opsi lain, yaitu mengajukan gugatan atas Spridik Kakanwil DJP Jakarta Timur.

Tags:

Berita Terkait