Surat Edaran Menaker Sudah Terbit, Ada Kenaikan UMP/UMK Tahun 2019?
Utama

Surat Edaran Menaker Sudah Terbit, Ada Kenaikan UMP/UMK Tahun 2019?

Aktivis buruh menuntut kenaikan upah minimum 20 persen. Pemerintah tetap menggunakan PP Pengupahan.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi demo buruh di Jakarta.  Foto: HOL
Ilustrasi demo buruh di Jakarta. Foto: HOL

Menteri Ketenagakerjaan, M Hanif Dhakiri, telah menerbitkan Surat Edaran (SE) bernomor 240 Tahun 2018 tentang Penyampaian Data Tingkat Inflasi Nasional dan Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Tahun 2018. Surat tertanggal 15 Oktober 2018 ini ditujukan kepada gubernur di seluruh Indonesia.

Isinya, gubernur diminta menetapkan upah minimum provinsi (UMP) 2019 sesuai Peraturan Pemerintah No.78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Dalam SE itu pula Hanif mewajibkan seluruh Gubernur menetapkan UMP 2019 dengan memperhatikan rekomendasi Dewan Pengupahan Provinsi. Bagi provinsi yang masa jabatan Dewan Pengupahannya telah berakhir, gubernur diminta untuk segera membentuk yang baru.

Sejatinya, UMP tahun 2019 ditetapkan dan diumumkan masing-masing gubernur secara serentak pada 1 November 2018. Namun, gubernur dapat (tidak wajib) menetapkan upah minimum Kabupaten/Kota (UMK) untuk kabupaten/kota tertentu (yang mampu membayar upah minimum lebih tinggi daripada UMP). UMK tahun 2019 ditetapkan dan diumumkan paling lambat 21 November 2018. UMP dan UMK yang telah ditetapkan gubernur berlaku mulai 1 Januari 2019.

Dalam suratnya, Hanif mengingatkan perhitungan UMP menggunakan formula sebagaimana diatur Pasal 44 ayat (1) dan (2) PP No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan yakni upah minimum tahun berjalan ditambah upah minimum tahun berjalan dikali inflasi tahun berjalan ditambah pertumbuhan Produk Domestik burto (PDB) tahun berjalan. Besaran inflasi nasional dan pertumbuhan PDB yang digunakan untuk perhitungan upah minimum 2019 yaitu inflasi nasional 2,99 persen dan pertumbuhan PDB 5,15 persen. Data itu sesuati surat Kepala BPS No. 218 Tahun 2018 tertanggal 4 Oktober 2018.

“Dengan demikian, kenaikan UMP dan/atau UMK tahun 2019 berdasarkan data inflasi nasional dan pertumbuhan ekonomi nasional yaitu 8,03 persen,” begitu kutipan poin kesembilan SE Menaker.

Mengacu Pasal 63 PP Pengupahan, bagi daerah yang upah minimumnya pada tahun 2015 masih di bawah nilai kebutuhan hidup layak (KHL), wajib menyesuaikan upah minimumnya sama dengan KHL paling lambat tahun 2019. Ada delapan provinsi yang harus menyesuaikan UMP dengan KHL yaitu Kalimantan Tengah, Gorontalo, Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Papua Barat, Maluku, dan Maluku Utara. Bagi daerah yang upah minimumnya masih di bawah KHL perhitungan upah minimumnya menggunakan formula yaitu upah minimum tahun berjalan ditambah upah minimum tahun berjalan dikali inflasi tahun berjalan ditambah pertumbuhan PDB tahun berjalan ditambah penyesuaian besaran prosentase pencapaian upah minimum sama dengan KHL.

(Baca juga: Ketika PP Pengupahan Masih Dipersoalkan).

SE Menaker ini juga menyebutkan upah minimum merupakan program strategis nasional, masuk paket kebijakan ekonomi IV. Sedikitnya ada tiga sanksi yang bisa dikenakan kepada gubernur yang tidak menjalankan program strategis nasional.

Pertama, Pasal 68 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah mengatur kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang tidak melaksanakan program strategis nasional dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis oleh Menteri untuk gubernur dan/atau wakil gubernur, serta oleh gubernur sebagai wakil pemerintah pusat untuk bupati dan/atau wakil bupati atau walikota dan/atau wakil walikota.

Kedua, dalam hal teguran tertulis telah disampaikan dua kali berturut-turut dan tetap tidak dilaksanakan, kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara selama tiga bulan. Ketiga, apabila kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah telah selesai menjalani pemberhentian sementara, tetap tidak melaksanakan program strategis nasional, yang bersangkutan dapat diberhentikan sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah.

Surat Edaran Menaker juga mengingatkan, UU Pemerintah Daerah mengatur kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang tidak menaati seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan dapat diberhentikan sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah.

Menjelang penetapan UMP 2019 kalangan buruh di Jakarta yang tergabung dalam Koalisi Buruh Jakarta (KBJ) melakukan survei KHL ke sejumlah pasar di Jakarta. Ada lima pasar yang disambangi yaitu pasar Cengkareng Jakarta Barat, pasar Jatinegara Jakarta Timur, pasar Blok A Jakarta Selatan, pasar Koja Jakarta Utara, dan pasar Sumur Batu Jakarta Pusat.

Survei itu dilakukan 28 Agustus 2018, 26 September 2018, dan 3 Oktober 2018. Selain itu KBJ melakukan survei KHL pembanding di pasar modern di Cempaka Mas Jakarta Pusat 16 Oktober 2018. Hasil survei itu menunjukkan nilai KHL di Jakarta pada Agustus 2018 mencapai Rp4,3 juta.

Ketua DPD FSP LEM SPSI DKI Jakarta, Yulianto, mengatakan survei ke pasar tradisional dan modern ini sesuai arahan Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta. “Dalam rangka memotret kebutuhan KHL pekerja dan buruh yang ada di Jakarta setiap tahun sebelum penetapan UMP Jakarta,” ujarnya.

Kenaikan item KHL yaitu sewa kamar Rp1juta (naik Rp170 ribu), listrik Rp300 ribu (naik Rp125ribu), transportasi dan lainnya Rp600 ribu (naik Rp150 ribu). Total kenaikan tiga item yang tidak disurvei Dewan Pengupahan Provinsi DKI Jakarta sebesar itu Rp445 ribu. Menurut anggota Dewan Pengupahan Provinsi DKI Jakarta dari unsur Serikat Pekerja, Jayadi, perubahan kualitas dan item survei KHL ini merupakan hasil akhir dari perjuangan panjang dalam upaya memperbaiki kualitas item yang ada dalam KHL.

Anggota Dewan Pengupahan dari unsur Serikat Pekerja lainnya, Dedi Hartono, mengatakan item yang termaktub dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 13 Tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan saat ini. Misalnya, soal volume isi, produk, gram, dan mililiter untuk berbagai item seperti susu, kopi dan lainnya.

Dedi berpendapat SE Menaker tidak tepat karena daya beli masyarakat khususnya pekerja sedang turun. Ia mencatat Surat Edaran ini sudah diterbitkan sejak 2016, kemudian ketika itu Gubernur DKI Jakarta menetapkan upah minimum sesuai amanat yang tertuang dalam Surat Edaran Menaker. Mekanisme penetapan upah minimum harusnya dikembalikan melalui pembahasan di Dewan Pengupahan Daerah. “Esensinya hubungan industrial harus dikembalikan pada tripartit untuk menjaga hubungan industrial yang harmonis dan dinamis,” ujarnya.

Sekjen OPSI, Timboel Siregar, berpendapat terbitnya SE Menaker merupakan hal yang wajar karena sesuai amanat pasal 44 PP Pengupahan. Tapi mengacu pada Pasal 89 UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, gubernur berwenang menetapkan upah minimum. Karena itu, kata dia, SE Menaker hanya bersifat imbauan, tidak mengikat dan memaksa gubernur. Berdasarkan penetapan upah minimum sebelumnya, Timboel melihat tidak ada sanksi yang dikenakan kepada gubernur yang menetapkan upah minimum tidak sesuai Pasal 44 PP Pengupahan.

(Baca juga: Menaker Nyatakan Kenaikan UMP Melalui PP Pengupahan Sudah Ideal).

Timboel melihat dalam kondisi ekonomi yang tidak stabil seperti sekarang berpengaruh terhadap ekonomi Indonesia, khususnya perusahaan. Kenaikan upah minimum berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi sebagaimana tertulis dalam Surat Edaran tersebut yaitu 8,03 persen dirasa sudah cukup. Kendati demikian pengusaha harus terbuka kepada pekerja. Untuk perusahan yang berorientasi ekspor harusnya upah terendah yang dibayar perusahaan itu harusnya lebih tinggi dari upah minimum.

Timboel mengusulkan kepada pemerintah untuk menerbitkan kebijakan yang melindungi pekerja dalam situasi ekonomi yang tidak stabil seperti sekarang. “Bentuknya dapat berupa unemployment benefit dan skill development fund yang diambil dari program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian BPJS Ketenagakerjaan,” usulnya.

Ketua Umum DPP Apindo Jakarta, Solihin, tidak mau berkomentar soal polemik angka terkait besaran UMP Jakarta 2019. Menurutnya, peraturan perundang-undangan yang ada sudah cukup mengatur tentang perhitungan kenaikan upah minimum. Polemik perhitungan upah minimum ini tidak hanya terjadi antara kalangan pengusaha dan buruh, tapi juga di internal pengusaha sendiri. Ada pengusaha yang menyebut kenaikan upah minimum sangat memberatkan di tengah situasi ekonomi seperti sekarang ini.

Tapi Solihin menegaskan pihaknya tetap berpegang teguh pada aturan yang berlaku. Dia mengimbau seluruh kalangan baik pengusaha dan buruh untuk mengikuti regulasi yang ada. “Yang paling penting sekarang itu menegakan aturan, tegakan hukum yang berlaku,” pungkasnya ketika dihubungi di Jakarta, Senin (22/10).

Tags:

Berita Terkait