Surat, Bantahan di Media dan Dubes Jadi Bumerang Bagi Guru JIS
Utama

Surat, Bantahan di Media dan Dubes Jadi Bumerang Bagi Guru JIS

Semua itu menjadi petunjuk yang meyakinkan majelis bahwa terdakwa memang melakukan sodomi.

Hasyry Agustin
Bacaan 2 Menit
Neil Bantleman (tengah) diapit oleh kuasa hukumnya, Hotman Paris Hutapea (kiri) dan Patra M Zen (kanan) dalam sidang pembacaan putusan di PN Jaksel, Kamis (2/4). Foto: RES
Neil Bantleman (tengah) diapit oleh kuasa hukumnya, Hotman Paris Hutapea (kiri) dan Patra M Zen (kanan) dalam sidang pembacaan putusan di PN Jaksel, Kamis (2/4). Foto: RES

Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) yang diketuai Nur Aslam Bustaman menyatakan bahwa adanya surat kepada Ketua PN Jaksel, bantahan pihak terdakwa guru Jakarta International School (JIS) di media massa, dan kehadiran seorang duta besar di sidang tertutup justru semakin meyakinkan bahwa terdakwa memang bersalah melakukan sodomi.

Tiga upaya itu sejatinya bagian dari terdakwa untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Namun, upaya itu justru menjadi bumerang bagi terdakwa.

Ini tertuang dalam pertimbangan putusan Neil Bantleman, guru JIS asal Kanada, yang divonis 10 tahun penjara dan denda Rp100 juta. Sedangkan, guru JIS asal Indonesia yang juga jadi terdakwa, Ferdinant Tjiong juga memperoleh hukuman yang sama.

Dalam pertimbangannya, majelis mengungkapkan adanya surat yang dikirim ke majelis hakim dan Ketua PN Jaksel di luar persidangan. Surat ini ditembuskan ke pihak lain oleh pihak yang merasa terancam dengan persidangan ini. “Hal ini diduga untuk menakut-nakuti, mempengaruhi dan mendiskreditkan majelis hakim,” sebut majelis.

Majelis menilai semua surat itu bisa saja tidak dipertimbangkan dalam putusan. Namun, majelis justru menilai bahwa surat itu sebagai bukti petunjuk sebagaimana diatur Pasal 184 ayat (1) huruf d Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

“Ini merupakan petunjuk bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang beridir sendiri dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul yang didakwakan oleh jaksa,” jelas Nur Aslam saat membacakan putusan untuk Neil di PN Jaksel, Kamis (2/4).

Selain menjadikan surat sebagai petunjuk, majelis juga menganggap bahwa pemberitahuan jalannya sidang yang dilakukan oleh pihak terdakwa juga merupakan adanya indikasi tindak pidana yang dilakukan. Dengan memberikan keterangan kepada media, menurut majelis, pihak terdakwa dapat menciptakan opini publik atas persidangan dengan korban anak kecil yang masih di bawah umur.

Lebih lanjut, majelis mengaku memutus perkara ini tidak hanya berdasarkan undang-undang, yakni UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan perubahan menjadi UU No.35 Tahun 2014, tetapi juga didasarkan pada asas-asas yang ada di dalam KUHAP. 

“Hal tersebut (pemberitaan oleh pihak terdakwa) merupakan tindakan yang menghalangi pejabat negara untuk melakukan tugasnya, dengan hal tersebut merupakan petunjuk berdasarkan Pasal 184 ayat (1) butir d KUHAP adanya tindakan sodomi yang dilakukan oleh terdakwa,” tegasnya.

Berdasarkan catatan hukumonline, majelis memang sempat melarang para pihak –baik kuasa hukum terdakwa maupun penuntut umum- untuk berbicara ke sejumlah media atas materi persidangan. Pasalnya, sidang berlangsung secara tertutup. Larangan ini juga sempat membuat istri terdakwa Neil, Tracy Bantleman membuatnya bingung.

Kehadiran Duta Besar

Selain itu, majelis juga mempertimbangkan kehadiran seorang duta besar (dubes) dari salah satu negara dalam persidangan. Tindakan itu dinilai melanggar asas sidang tertutup, dimana larangan itu juga berlaku untuk dubes, apalagi itu dilakukan tanpa izin dari hakim yang berwenang.

“Duta Besar dari salah satu negara yang hadir tanpa izin dari hakim merupakan tindakan yang melanggar asas sidang tertutup. Hal tersebut melanggar 10 Asas Hukum International yaitu prinsip territorial dan eksistensi. Dalam sistem hukum di Indonesia yang berhak untuk melakukan pengawasan ialah badan pengawas dan Komisi Yudisial, bukan oleh pihak yang telah disebutkan sebelumnya. Hal tersebut dilakukan hanyalah oleh pihak yang merasa dirinya terancam,” ujar Nur Aslam.

Majelis memang tak menyebut siapa dubes yang dimaksud. Namun, berdasarkan pantauan hukumonline, Plt Dubes Inggris untuk Indonesia Moazzam Malik sempat hadir ke PN Jaksel. Dia datang untuk meminta izin kepada Ketua PN Jaksel agar mendapat akses menghadiri sidang tertutup. Pasalnya, salah seorang terdakwa, Neil berkewarganegaraan United Kingdom (Inggris) dan Kanada.

Kuasa hukum Neil dan Ferdinant, Hotman Paris Hutapea menilai hakim mengikuti alur cerita yang dibuat oleh orangtua korban yang tercantum dalam berita acara pemeriksaan (BAP) yang disusun oleh Kepolisian.

“Neil dan Ferdi sangat kecewa dan kaget luar biasa dengan putusan majelis hakim ini. Mereka tidak menyangka dengan bukti-bukti yang sangat lemah yang disodorkan oleh JPU, majelis hakim akan mengambil keputusan ini. Karena itu mereka akan terus berjuang mencari kebenaran,” tegas Hotman usai persidangan.

Putusan majelis hakim yang terdiri dari Nur Aslam Bustaman sebagai ketua, serta Achmad Rivai dan Baktar Jubri masing-masing sebagai anggota dianggap  Hotman telah mempermalukan penegakan hukum di Indonesia.

“Putusan pengadilan ini sangat memalukan penegakkan hukum di Indonesia. Tidak hanya majelis mengesampingkan seluruh saksi tanpa dasar yang jelas, tapi juga kontradiktif dalam pertimbangan hukumnya sendiri. Dengan mendengarkan pertimbangan hakim, maka guru manapun juga bisa saja divonis melakukan pelecehan seksual terhadap murid,” pungkas Hotman. 

Tags:

Berita Terkait