Supremasi Konstitusi dan Upaya Meminimalisir Gugatan Penggangguan (Vexatious Litigation)
Oleh: Hendra Setiawan Boen *)

Supremasi Konstitusi dan Upaya Meminimalisir Gugatan Penggangguan (Vexatious Litigation)

Harus dibedakan antara living law dan norma-norma kemasyarakatan. Harus ada dikotomi dan batasan yang tegas antara keduanya, walaupun tidak mudah membedakannya.

Bacaan 2 Menit

 

Istilah gugatan penggangguan cukup mencerminkan kerisauan penulis terhadap akibat di masa depan dari adanya gugatan semacam ini, karena gugatan-gugatan semacam ini disadari atau tidak adalah permulaan dari sebuah proses, atau cara untuk mengusik dan merisaukan pihak lawan yang dapat menyebabkan sistem hukum Indonesia menjadi tidak berjalan sebagaimana mestinya yang berlanjut kepada rusaknya suasana kepastian hukum dan akan mendatangkan kekacauan apabila tidak ditanggulangi dengan segera.

 

B.     Kerusakan Lingkungan dan Gugatan Penggangguan

Beberapa waktu lalu, Managing Partner dari kantor tempat penulis bekerja pernah bercerita tentang seorang ahli tata kota yang pengalaman dan kecakapannya diakui secara internasional. Ahli tata kota itu persimis Jakarta akan terlepas dari persoalan banjir. Alasannya karena pembangunan Jakarta tidak disertai dengan pembangunan gorong-gorong air, sedangkan dengan ditutupinya permukaan tanah dengan aspal, maka tanah menjadi kehilangan daya untuk menyerap air dari permukaan. Setiap hujan turun, air tersebut dapat dipastikan akan tergenang di permukaan, dan sampai hari ini, teori ahli tata kota tersebut memang terbukti.

 

Proyek Banjir Kanal Timur yang diandalkan Pemerintah Daerah Jakarta tidak akan banyak menolong. Satu-satunya cara, menurut sang ahli tata kota, adalah seluruh bangunan di Jakarta dirubuhkan, dan Jakarta dibangun ulang dengan dasar yang benar (in casu, dimulai dari merancang gorong-gorong bawah tanah sebagai jalur lewatnya air), kemudian memulai membangun permukaan.

 

Mungkin usulan ahli tata kota ini terdengar ekstrim, namun bukan tidak masuk akal. Faktanya sempat muncul wacana memindahkan ibukota negara ini ke Kalimantan atau ke Jonggol, yang di mata penulis merupakan pengakuan langsung dari Pemda Jakarta bahwa mereka telah salah menerapkan kebijakan pembangunan Jakarta.

 

Sebelum perbincangan dengan Managing Partner tersebut, beberapa bulan sebelumnya penulis pernah mendengar cerita dari seorang teman yang tinggal di Kota Malang. Teman tersebut mengatakan masalah banjir juga kerap menghinggapi kota kelahirannya ini, padahal dia ingat, bertahun-tahun lalu Malang tidak pernah terjangkit penyakit banjir.

 

Lebih lanjut teman penulis yang bernama Cicilia itu bercerita bahwa kota Malang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda. Sebelum membangun kota Malang, Belanda terlebih dahulu memperhatikan masalah gorong-gorong, sehingga banjir  menjadi epidemi yang langka bagi masyarakat Kota Malang. Pesatnya pembangunan beberapa tahun belakangan tanpa disertai penataan yang baik membuat banjir mulai mampir ke kota apel ini. Berbeda dengan Belanda yang memusatkan dirinya kepada masalah gorong-gorong air, pembangunan yang dilakukan saat ini malah banyak menimbun gorong-gorong yang pernah dibangun Belanda. Banjir pun tak bisa dihindarkan.

 

Kedua kisah ini membuat penulis berkesimpulan bahwa pembangunan di Indonesia dilakukan tanpa memperhatikan fondasi terlebih dahulu. Masyarakat Indonesia ingin semuanya serba instan. Sudah jadi pengetahuan umum, kalau mau berhasil seseorang harus memperhatikan dasarnya. Sebelum bisa berlari, anak-anak harus belajar merangkak, kemudian belajar berdiri, secara pelahan belajar berjalan. Apakah mungkin seorang bayi yang baru lahir langsung dapat berlarian? Begitulah gambaran umum sifat orang Indonesia, selalu terburu-buru dalam melakukan sesuatu, tidak mau bersabar dalam memupuk fondasi, ingin segala hasilnya dapat diperoleh dalam waktu singkat.

Tags: