Sumpah Advokat sebagai 'Kunci' Kode Etik Profesi Advokat
Utama

Sumpah Advokat sebagai 'Kunci' Kode Etik Profesi Advokat

Kode Etik berlaku mengikat terhadap seluruh advokat begitu sumpah diucapkan. Bunyi sumpah atau janji advokat tertuang dalam Pasal 4 ayat (2) UU Advokat.

Ferinda K Fachri
Bacaan 3 Menit
Ketua Bidang Kajian Hukum dan Perundang-undangan DPN Peradi Dr. Nikolas Simanjuntak saat menyampaikan materi 'Kode Etik Profesi Advokat' di hari pertama PKPA ke-21, Kamis (16/11/2023). Foto: Tangkapan Layar Zoom
Ketua Bidang Kajian Hukum dan Perundang-undangan DPN Peradi Dr. Nikolas Simanjuntak saat menyampaikan materi 'Kode Etik Profesi Advokat' di hari pertama PKPA ke-21, Kamis (16/11/2023). Foto: Tangkapan Layar Zoom

Untuk kesekian kalinya, Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) bersama Hukumonline dan Fakultas Hukum Universitas YARSI kembali menggelar Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA). PKPA angkatan ke-21 ini digelar secara online setiap hari Senin sampai dengan Sabtu mulai 16 November hingga 1 Desember 2023. 

“Suara hati itu titik terdalam (nurani). Di situ kamu bisa mendapat mana baik dan benar? Adil, jujur di situ dan taruhannya sudah yang illahi. Itu yang ada di dalam sumpah kita,” ujar Ketua Bidang Kajian Hukum dan Perundang-undangan DPN Peradi Dr. Nikolas Simanjuntak saat menyampaikan materi “Kode Etik Profesi Advokat” di hari pertama PKPA ke-21, Kamis (16/11/2023).

Baca Juga:

Menurutnya, kode etik profesi advokat mengikat seluruh advokat begitu sumpah dilafaskan. “Kunci kode etik ada di sumpah (advokat, red). Profesi ini kalau sudah bersumpah, dia terikat normal sosial. Makanya noblesse oblige atau officium nobile berarti profesi yang luhur mulia. Karena dia punya hati nurani dan bertanggung jawab langsung tanpa batas ruang dan waktu dan untuk seumur hidup kalau sudah disumpah,” kata dia.

Lebih lanjut, sumpah bagi advokat telah diatur dalam Pasal 4 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat). Pasal 4 ayat (1) UU Advokat menyebutkan sebelum menjalankan profesinya, advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya.

“Etika profesi advokat bernilai transenden, melewati batas ruang dan waktu. Kita disumpah berdasarkan perintah Pasal 4 ayat (2) UU Advokat. Lalu apa bedanya bersumpah dan berjanji? Jadi negara menghargai warga dengan agama-agamanya, sumpah atau janji di sini menurut keyakinan agama masing-masong orang yang bersumpah.”

Sumpah ditujukan terhadap pemeluk agama Islam dan pemeluk agama lainnya. Namun, berjanji diperuntukan bagi penganut protestan karena keyakinannya. “Jadi hanya protestan yang berjanji. Kalau katolik bagaimana? Mereka boleh berjanji, boleh bersumpah. Perlu diingat semua kode etik adalah turunan dari sumpah,” sambungnya.

Sumpah atau janji advokat tertuang dalam Pasal 4 ayat (2) UU Advokat berbunyi, “Demi Allah saya bersumpah/saya berjanji bahwa saya akan memegang teguh dan mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia;  bahwa saya untuk memperoleh profesi ini, langsung atau tidak langsung dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga.” demikian bunyi poin kesatu hingga ketiga.

Kemudian, “bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pemberi jasa hukum akan bertindak jujur, adil, dan bertanggung jawab berdasarkan hukum dan keadilan;  bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi di dalam atau di luar pengadilan tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat pengadilan atau pejabat lainnya agar memenangkan atau menguntungkan bagi perkara Klien yang sedang atau akan saya tangani,” begitu bunyi poin keempat dan lima.

Nikolas mengingatkan kepercayaan yang diberikan klien merupakan hal yang diperoleh lantaran advokat yang bersangkutan diyakini dapat menjaga kepercayaan klien. Oleh karena itu, sangat esensial bagi advokat bertindak jujur, adil, dan bertanggung jawab berdasarkan hukum dan keadilan.

“Lalu kamu tidak boleh menjanjikan kemenangan terhadap klien. Hanya saja berupaya yang terbaik. Bukan reultante verbintennis (orientasi hasil), tetapi inspanning verbintennis yaitu the best effort, the best practice, dan the best service. Ingat (advokat) punya tanggung jawab juga kepada diri sendiri, klien, sesama advokat, pejabat pemerintahan, penegak hukum lainnya, dan seterusnya,” ujarnya mengingatkan.

Pada poin keenam dan ketujuh butir sumpah advokat berbunyi, “bahwa saya akan menjaga tingkah laku saya dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai advokat; bahwa saya tidak akan menolak untuk melakukan pembelaan atau memberi jasa hukum di dalam suatu perkara yang menurut hemat saya merupakan bagian daripada tanggung jawab profesi saya sebagai seorang advokat”.

Menurut Nikolas, menjaga tingkah laku sebagai seorang advokat dan menjalankan kewajiban sesuai kehormatan, martabat, dan tanggung jawab yang diberikan menjadi hal yang sangat etis. Setelah advokat sudah bersumpah, maka harus menunaikan segala tugas yang diberikan.  

“Nah, ini dasar kewajiban pro bono (butir ketujuh sumpah), kamu bela masyarakat tanpa mengharapkan imbalan asalkan klien kamu yakin dia jujur (memang berasal dari golongan kurang mampu, red). Kuncinya itu kamu harus mengenal klienmu, know your client atau KYC. Sebagai advokat, kamu harus mengenali klien luar dalam.”

Tags:

Berita Terkait