Sulitnya Bahasa Hukum Akibat Ulah Praktisi Hukum
Berita

Sulitnya Bahasa Hukum Akibat Ulah Praktisi Hukum

Sebagian besar masyarakat Indonesia merasakan bahwa bahasa hukum di Indonesia terlalu sulit dimengerti. Padahal, produk hukum seperti UU berlaku dan mengikat bagi seluruh masyarakat termasuk bagi mereka yang tidak mengerti bahasa hukum. Ternyata praktisi hukum lah yang mengakibatkan terjadinya hal ini.

Zae/APr
Bacaan 2 Menit
Sulitnya Bahasa Hukum Akibat Ulah Praktisi Hukum
Hukumonline

Bahasa hukum memang sulit, tetapi yang membuat hukum sulit dimengerti bukanlah bahasa dan maknanya. "Orang hukum lah yang mengacaukan bahasa hukum. Mereka menerjemahkan bahasa hukum sesuai dengan kepentingan mereka masing-masing," tegas wartawan senior Karni Ilyas, pada peluncuran Jurnal hukum JENTERA, di Jakarta.

 

Karni Ilyas mengakui bahwa sulitnya bahasa hukum ini merupakan kendala yang sudah lama terjadi di Indonesia.  Kesulitan ini juga seringkali dirasakan oleh para wartawan. Padahal, wartawan lah yang biasanya menerjemahkan bahasa hukum yang dibuat oleh pemerintah ke dalam bahasa yang ringkas agar dapat dimengerti oleh masyarakat.

 

Menurut Karni, bahasa hukum itu aslinya memang sudah sulit untuk dimengerti. Untuk itu, selama masih ada kepentingan sepihak yang bermain, permainan-permainan, dan rasa ketidakpercayaan, bahasa hukum di Indonesia semakin lama semakin kacau.

 

Ternyata akibat dari rumitnya bahasa hukum tidak hanya dirasakan oleh kalangan masyarakat umum saja. Bahkan, di kalangan petinggi hukum pun masih timbul perbedaan penafsiran terhadap bahasa hukum. Karni mencontohkan ketidaksesuaian pendapat Menkeh dan HAM Yusril Ihza Mahendra dan Metua MA Bagir Manan soal remisi terhadap Tommy Soeharto.

 

Bersifat eksoteris

 

Sebelum Karni menyampaikan pendapatnya tersebut, praktisi hukum Todung Mulya Lubis mengatakan bahwa kesulitan untuk mengerti bahasa hukum adalah karena bahasa hukum itu bersitat eksoteris. "Bahasa hukum itu bersifat eksoteris, maksudnya hanya dapat dimengerti oleh mereka yang mempelajarinya saja," jelas Mulya.

 

Sulitnya bahasa hukum juga seringkali membuat masyarakat, pada khsusnya  para praktisi hukum, berhadapan dengan masalah multiinterpretasi. Hal ini diakui oleh Mulya, bahwa dalam membaca ketentuan hukum para pengacara sering menghadapi masalah multitafsir. Keadaan ini lah yang seringkali oleh beberapa pihak dijadikan lahan bisnis yang subur.

 

Karena itu lah, menurut Mulya, para praktisi hukum harus ikut serta untuk memperbaiki keadaan ini. "Kalau tidak, kita ikut membodohi pencari keadilan dan masyarakat awam yang dependen kepada para pengacara," tegas Mulya. Walaupun memang Mulya menyadari bahwa untuk mewujudkan hal ini sangat sulit, karena sudah berakar dan mendarah daging.

 

Berkaitan dengan masih banyaknya penggunaan istilah-istilah hukum berbahasa Belanda dalam praktek beracara di pengadilan Indonesia, Mulya mengatakan bahwa hal itu memang belum bisa dihindari karena keterbatasan bahasa Indonesia. "Yang harus dipecahkan sekarang adalah bagaimana menerjemahkan bahasa Belanda itu dengan padanannya dalam bahasa Indonesia,"  jelas Mulya.

 

Hukum milik publik

 

Sulitnya bahasa hukum tersebut sangatlah merugikan masyarakat. Padahal menurut wartawan Tempo, Kurniawan, masyarakat pula lah yang terikat dan terbebani kewajiban untuk mematuhi produk hukum yang dihasilkan oleh pemerintah. "Hal ini seperti sebuah konspirasi besar yang terjadi selama ini di bidang hukum," ujar Kurniawan.

 

Menurut kurniawan, tuntutan bahasa hukum perlu dipahami oleh rakyat adalah karena hukum itu milik rakyat. Hukum itu milik publik, diciptakan di ruang publik dan diterapkan kepada seluruh rakyat. Karena itulah, Kurniawan memandang bahwa bahasa hukum itu harus dibuat lebih mudah.

 

Kurniawan juga menegaskan, jika memang negara ini mengakui bahwa kekuasaan berada di tangan rakyat, maka seharusnya seluruh rakyat mengerti akan aturan negara yang berlaku terhadapnya. Menurut Kurniawan, hukum itu harus disusun sehingga jangan hanya dapat dimengerti oleh mereka yang mempelajarinya saja, namun rakyat biasa pun mengerti hukum.

 

Walaupun Mulya mengatakan bahwa kondisi ini sudah berakar dan mendaranh daging, Kurniawan berpendapat bahwa selalu masih ada peluang untuk membuat bahasa hukum menjadi lebih mudah. Mulya juga sependapat, dan menurutnya yang penting sekarang adalah bagaimana menghilangkan sifat eksoteris dalam bahasa hukum, sehingga dapat dimengerti oleh seluruh masyarakat.

 

Tags: