Suka Duka Membela Soeharto
All the Presidents’ Lawyers

Suka Duka Membela Soeharto

Adnan Buyung Nasution pernah merasa dimusuhi presiden. Setelah lengser, Soeharto menunjuk sejumlah pengacara ternama, untuk menghadapi tuduhan korupsi.

M. Yasin/Ali Salmande
Bacaan 2 Menit
OC Kaligis saat mendampingi Soeharto. Foto: Repro buku
OC Kaligis saat mendampingi Soeharto. Foto: Repro buku "OC Kaligis: Manusia Sejuta Perkara" (RES)

Soeharto menyatakan berhenti dari jabatannya selaku presiden pada 21 Mei 1998. Aksi demonstrasi menuntut Soeharto diadili berkumandang di seputar Senayan, hingga akhirnya lahir Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Sebagai aparat penegak hukum, Kejaksaan mencoba mengungkap dugaan korupsi yang dilakukan Soeharto semasa menjabat sebagai presiden, dan anggota keluarganya. Sekitar enam bulan setelah orang kuat Orde Baru itu berhenti, Kejaksaan menerbitkan surat perintah penyelidikan. Surat perintah bernomor Prin-044/J.A/FKP.1/12/1998 itu memuat perintah untuk melakukan pengumpulan data/penyelidikan mengenai dugaan terjadinya tindak pidana korupsi antara lain dalam hal penyalahgunaan kekuasaan/wewenang terhadap pemberian fasilitas kredit, bea masuk, PPhBM kepada PT Timor Putra Nasional, dan penyimpangan penggunaan uang negara untuk yayasan.

Pada 9 Desember 1998, tiga orang petinggi Kejaksaan --Jampidsus Antonius Sujata, Jampidum Ramelan, dan Jamintel Syamsu Djalal – melakukan ‘wawancara’ dengan Soeharto. Pada 11 Oktober 1999, Pjs Jaksa Agung, Ismudjoko, mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dugaan korupsi kasus Soeharto.

Adnan Buyung Nasution, advokat senior, menceritakan penggalan kisah hidupnya di masa Soekarno dan Soeharto. Dalam buku Pergulatan Tiada Henti, Dirumahkan Soekarno, Dipecat Soeharto (Aksara Karunia, 2004), Buyung bercerita pernah menemui Presiden Soeharto untuk menyampaikan gagasan tentang pemberantasan korupsi. Buyung ditemani Harjono Tjitrosoebeno, Erie Sudewo, Fuad Hassan, dan Reen Moeliono. Soeharto didampingi lima orang jenderal.

Buyung menyerahkan dokumen tertulis, lalu menjelaskan maksud mereka. Intinya, Buyung dan kawan-kawan ingin Orde Baru dibersihkan dari praktek korupsi, meminta Soeharto menyeret petinggi militer yang diduga korupsi ke pengadilan.

“Seret jenderal-jenderal yang korup itu ke pengadilan”! Mendengar perkataan Buyung, Soeharto langsung pergi meninggal tetamunya, dan tak kembali lagi. Pertemuan berakhir. Sorenya muncul berita koran yang judulnya jelas: ‘kalau bukan Buyung sudah saya tempeleng’. “Informasi koran dan juga informasi lain mengatakan Soeharto marah betul kepada saya,” kata Buyung seperti tertuang dalam halaman 191 buku Pergulatan Tiada Henti.

****

Tiga hari menjelang pemeriksaan Kejaksaan terhadap mantan Presiden Soeharto. Hari masih siang, ketika telepon OC Kaligis berdering. Seseorang di ujung telepon meminta OC datang ke Jalan Cendana 8 pada 8 Desember. OC meminta waktu dua hari karena esok harinya segera berangkat ke Sydney untuk membela perkara Djoko Ramiadji dalam kasus Jakarta Outer Ring Road. OC menawar, bagamana pertemuan dilakukan malam itu juga.

Menunggu jawaban dua jam, tawaran OC diterima. Seoharto bersedia menerima malam itu juga. Berkemeja batik, Soeharto sudah menunggu di ruang tamu begitu OC datang selepas maghrib. Pengacara senior ini menggambarkan pertemuan itu: ‘di saat kami bersalaman, seketika naluri pengacara saya mengatakan bahwa ia seorang yang baik, bukan orang jahat. Justru ia seorang yang hangat’.

Dalam pertemuan itu, Soeharto meminta OC Kaligis membantu. “Apakah Pak Kaligis mau membantu sebagai salah seorang pembela saya?” OC menyatakan siap. Lalu, menyerahkan ulasan perkara yang mungkin akan dituntutkan kepada Soeharto.

“Saya memang sudah benar-benar seribu persen siap menjadi pembelanya, walaupun saya juga mengetahui bahwa perkara Pak Harto akan menjadi perkara tersulit dari semua perkara yang saya tangani. Bagaimana tidak, ia tidak hanya dituduh korupsi, melainkan juga ditekan setengah mati oleh opini publik dan pemerintah”, tulis OC Kaligis dalam bukunya Pak Harto Sisi-Sisi yang Terlupakan (Gramedia Pustaka Utama, 2014). Buku ini diluncurkan pada 27 Juni lalu.

Soeharto mengambil kacamata, lantas membaca dokumen yang diserahkan OC. Setelah itu, ia memberikan analisis dan kesimpulan. “Sebagai pengacara, saya berkesimpulan bahwa dalam kedudukan Bapak sebagai presiden yang telah mempertanggungjawabkan hasil kerjanya kepada MPR RI, Bapak tidak bisa dituntut secara hukum terkait dengan kebijakan-kebijakan yang telah Bapak ambil dan lakukan.”

Soeharto dan Kaligis berdiskusi panjang lebar, termasuk fee. “Malam itu Pak Harto menandatangani surat kuasa yang sudah saya persiapkan. Ia juga langsung setuju dengan fee yang saya ajukan selaku pengacaranya”. Menjelang pukul 22.00, OC pulang. Kesempatan menjadi pengacara Soeharto bukan semata tentang fee, tetapi tentang kesempatan ‘menunjukkan kualitas sebagai pengacara andal Indonesia’. Begitu yang Kaligis tulis dalam bukunya.

OC Kaligis bukan satu-satunya yang ditunjuk Soeharto. Ada nama Juan Felix Tampubolon, Denny Kailimang, Indriyanto Seno Adji. Pada hari ketika OC dikontak, Tim Pembela Soeharto lainnya sudah mengadakan rapat. OC sempat mengontak Denny Kailimang dalam perjalanan pulang dari Jalan Cendana. Komunikasi yang sempat diwarnai canda. “Ah, sialan you,” Denny mengomel. “Kami sedang memilah-milah nama untuk masuk menjadi anggota tim, kau sudah mendapat surat kuasa duluan”.

Diwawancarai Februari lalu, Denny Kailimang menjelaskan Tim Pengacara Soeharto adalah tim pengacara yang ditunjuk Soeharto selaku pribadi. Fee juga dari Soeharto. “Tidak ada keterlibatan negara sama sekali,” ujarnya.

Menjadi pengacara Soeharto, kata Denny, sama saja dengan menjadi pengacara orang lain. Cuma, ada tantangan dari luar. Saat itu rezim Soeharto sedang dihujat banyak pihak. Ini tantangan bagi lawyer, bagaimana menempatkan diri agar tetap profesional. Orang yang dekat dengan Soeharto kala itu dimusuhi, apalagi yang jadi pembelanya. Ada rasa khawatir pada Denny, klien-kliennya menjauh. Tetapi berkat profesionalisme, kekhawatiran itu tidak terjadi.

“Saya bisa menyelesaikan tugas saya sebagai profesional, sehingga kantor (lawfirm) saya tidak terusik. Saya bisa memberikan pengertian dan penjelasan tentang tindakan saya dalam menangani kasus Soeharto, sehingga kantor saya tidak terganggu,” jelasnya.

Tim pengacara Soeharto tak hanya menemani klien dalam proses pemeriksaan dugaan korupsi. Presiden Abdurrahman Wahid nyaris terkena imbas upaya hukum karena pernyataannya di harian Kompas yang menyebut Soeharto ‘banyak korupsinya’.

Sebagai pengacara Soeharto, OC marah sekali membaca pernyataan ‘yang sangat tak layak diucapkan seorang presiden yang tentunya harus sadar hukum’. Namun Soeharto meminta pengacaranya mengabaikan. Karena klien tak setuju mempersoalkan secara hukum kalimat Presiden Abdurrahman Wahid, Kaligis hanya mengirimkan surat protes kepada Kapolri S. Bimantoro, dengan tembusan kepada Wakil Presiden Megawati, Ketua DPR Akbar Tanjung, Ketua MPR Amien Rais, dan Kompas.

OC Kaligis juga menulis dalam bukunya bahwa dugaan korupsi juga pernah menimpa Gus Dur. Gus Dur pernah diperiksa dalam kasus Brunei Gate. Namun penyidikannya dihentikan kemudian.

****

Dari Jakarta ke Hong Kong, lalu melanjutkan perjalanan ke New York. Di Negeri Paman Sam itu, advokat Todung Mulya Lubis ditemani Andrew Sriro, berbincang dengan in-house lawyers majalah Time seperti Nicholas Jollymore, Robin Bierstedt, Michael Queen, dan Peter Tomlinson.

Sekembali ke Jakarta, Todung menyiapkan tim hukum. Selain Todung, tim kuasa hukum majalah Time di Indonesia beranggotakan Lelyana Santosa, Kamal Firdaus, Saifullah, dan Harjon Sinaga. Tim hukum ini melakukan banyak diskusi karena harus menghadapi gugatan yang dilayangkan bekas orang nomor satu Indonesia: Soeharto.

Pada 2 Juli 1999, tim pengacara Soeharto mendaftarkan gugatan di PN Jakarta Pusat terhadap Time Inc, Donald Morrison, John Colmey, David Liebhold, Lisa Rose Weaver, Zamira Lubis, dan Jason Tedjasukmana. Para tergugat ini dianggap bertanggung jawab atas pemberitaan majalah Time edisi 24 Mei 1999 yang memuat tulisan tentang Soeharto dan dugaan kekayaannya. Tulisan di sampul majalah Time: ‘Soeharto Inc, How Indonesia’s longtime boss built a family fortune’. Kasus ini terjadi setelah Soeharto lengser dari jabatan Presiden.

Untuk melayangkan gugatan itu, Soeharto memberikan kuasa kepada delapan orang lawyer, yakni Juan Felix Tampubolon, Syamsul Hadi, OC Kaligis, Mohamad Assegaf, Victor S Siregar, Denny Kailimang, Indriyanto Seno Adji, dan Aibrah Said.

Jumlah lawyer yang terlibat dalam kasus ini bertambah karena masuknya pihak ketiga yang masuk sebagai penggugat intervensi. Tim Advokasi Petani Objek Soeharto (Tapos) mengajukan voeging dibantu 11 lawyer yakni Alexius Suria Tjahja Tomu, BM Selamat Situmorang, Daniel Pardede, Eddy Panjaitan, Elisabeth Titik, Hotma Timbul Hutapea, Johnson Panjaitan, MH Sinaga, Nopemmerson, R. Dwiyanto Prihartono, Walter AL Sinaga.

Dalam kasus ini, majelis hakim PN Jakarta Pusat dipimpin Sihol Sitompul menolak gugatan Soeharto untuk seluruhnya. Proses sidang tingkat pertama gugatan Soeharto ini kemudian dibukukan: Soeharto vs Time, Pencarian dan Penemuan Kebenaran (Kompas, 2001). Di tingkat kasasi, Soeharto menang, hakim menghukum Time membayar satu triliun rupiah. Kaligis sempat menanyakan kepada kliennya uang sebanyak itu mau dikemanakan. Tetapi kemudian kemenangan itu dianulir pada tingkat peninjauan kembali.

Tags:

Berita Terkait