Sudah Saatnya Indonesia Berbenah Soal Hukuman Mati
Berita

Sudah Saatnya Indonesia Berbenah Soal Hukuman Mati

Banyaknya korban eksekusi mati yang salah sasaran merupakan pukulan telak bagi pemerintah untuk segera melakukan koreksi dan evaluasi atas sistem peradilan sesuai prinsip fair trial.

CR-25
Bacaan 2 Menit
Foto: CR-25
Foto: CR-25

Indeks global hukuman mati di 23 Negara menurun per-2017 sekitar 4% dibandingkan Tahun 2016, yakni dari angka 1.032 ke 933. Bahkan Indeks tersebut menurun drastis hingga 39% jika dibandingkan dengan tahun 2015 yang memakan korban eksekusi mati hingga 1.643. Angka yang fantastis di tahun 2015 ini tercatat sebagai angka eksekusi mati tertinggi tertinggi sejak Tahun 1989 menurut tinjauan Amnesty International (AI).

 

Cina, Iran, Arab Saudi, Irak dan Pakistan disebut-sebut sebagai Negara pelaku eksekusi mati terbesar dalam kurun waktu tersebut. Dalam media briefing yang diadakan Amnesty International, Kamis (12/4), terungkap fakta bahwa hingga akhir 2017, sebanyak 142 negara (lebih dari dua pertiga negara dunia) telah menghapuskan hukuman mati dalam aturan hukum dan praktiknya. Untuk itu, Direktur Amnesty International, Usman Hamid berharap agar pemerintah RI ambil bagian dalam langkah penghapusan hukuman mati di Indonesia.

 

Usman menyebut pemberlakuan hukuman mati di Indonesia membuat posisi tawar pemerintah semakin lemah dalam melindungi WNI yang akan dieksekusi mati di Luar Negeri. Saat ini, sebanyak 188 WNI yang terancam hukuman mati di Luar Negeri, kata Usman, bagaimana mungkin Indonesia bisa meyakinkan negara lain untuk tidak meng-eksekusi warganya bilamana di dalam negeri sendiri hukuman mati tersebut masih saja di praktikkan?

 

“Moratorium hingga penghapusan hukuman mati secara permanen akan mempermudah upaya diplomasi Internasional Indonesia untuk menyelamatkan WNI yang terancam hukuman mati di LN,” jelas Usman.

 

Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo menambahkan jika Indonesia tidak lagi menerapkan hukuman mati, maka peluang besar untuk menyelamatkan 188 WNI yang terancam itu. Terlebih lagi, kata Wahyu, Indonesia dan Arab Saudi termasuk dalam jajaran negara G20, sehingga akan selalu ada kesempatan untuk memprotes WNI yang dihukum mati di negara lain.

 

“Sekalipun pemerintah mengaku telah mengupayakan lobi-lobi, namun jika di Indonesia hukuman mati masih berlangsung maka upaya tersebut akan menjadi hal yang sia-sia,” tukas Wahyu.

 

Parahnya lagi, sambung Usman, kondisi peradilan Indonesia yang sangat buruk (unfair trial) mengakibatkan beberapa orang yang tidak bersalah dihukum mati, Humprey Jefferson contohnya. Warga Nigeria yang telah dieksekusi mati di Tahun 2016 tersebut, ternyata baru terungkap di Tahun 2017 dilakukan saat permintaan grasinya masih berlangsung, sehingga Jaksa Agung ditengarai telah melakukan pelanggaran Administrasi oleh Ombudsman RI.

 

“Jeff mengaku dirinya berulang kali disiksa selama interogasi dan diancam akan ditembak jika dia menolak menandatangani dokumen di mana ia harus ‘mengaku’ memiliki heroin,” ungkap Usman.

 

Dalam kasus Jeff, sambung Usman, ia bahkan tidak diberikan akses ke pengacara selama lima bulan sejak penangkapan, selama interogasi dan dalam masa penahanan. Ini jelas merupakan tindakan yang tidak hanya melanggar hukum internasional namun juga hukum pidana Indonesia.

 

(Baca Juga: Vonis Mati Banyak Dijatuhkan Hakim Pengadilan Negeri)

 

Direktur LBH Masyarakat, Ricky Gunawan menyesali kematian Jeff yang menurut pantauannya tidak bersalah karena dijebak namun sudah dihukum mati. Jeff juga menilai desakan DPR terhadap jaksa agung untuk segera melakukan hukuman mati jilid 4 adalah bentuk pencitraan semata mengingat tahun politik kampanye semakin dekat.

 

“Jaksa Agung didesak DPR untuk hukuman mati jilid 4, ini wajar, karena sebentar lagi musim kampanye. Ini jadi wadah gagah-gagahan DPR untuk memperlihatkan kinerja mereka,” pungkas Ricky.

 

Unfair Trial & Human Trafficking

Tidak sampai di situ, Peneliti Imparsial, Ardimanto turut menyayangkan pengenaan hukuman mati di Indonesia seringkali disasar berdasarkan stereotipe penegak hukum. dalam kasus narkotika misalnya, jelas Ardimanto, orang asing seringkali di-stereotipe sebagai bandar sementara belum tentu demikian. Para penegak hukum dianggap Ardimanto tidak memberikan klasifikasi yang lebih rinci soal pengedar atau bandar.

 

Kekeliruan pengadilan dalam menelusuri fakta dan menggali keadilan yang berujung salah menyasar pelaku hingga berakhir dengan eksekusi mati. Kekeliruan ini tidak hanya terjadi dalam kasus Humprey Jefferson, kata Ardimanto, Kasus Marry Jane juga menunjukkan kekeliruan pengadilan Indonesia dalam menerapkan hukuman mati terhadap seseorang.

 

Wanita asal Filipina yang tertuduh menyelundupkan 2.6 kilogram heroin tersebut telah dihukum mati, padahal ia hanyalah korban perdagangan manusia yang dimanfaatkan bandar untuk memasukkan narkotika ke Indonesia.

 

“Kami menemukan unfair trial untuk hukuman mati ini sangat banyak terjadi. Saat inilah waktu yang tepat bagi pemerintah untuk membentuk tim khusus untuk melakukan koreksi dan evaluasi apakah para terpidana mati sudah diputus secara adil atau bukan,” jelas Ardimanto.

 

(Baca Juga: Tragis, Sudah Dihukum Mati Ternyata Terbukti Tak Bersalah)

 

Contoh lain diutarakan Kepala Divisi Pembelaan HAM Kontras, Arif Nur Fikri dalam kasus Yusman. Arif mengaku saat membaca salinan putusan MA sangat tampak proses yang sangat buruk dari penyidikan dan kejaksaan bahkan pengacara Yusman yang akhirnya menyarankan ia dihukum mati. Parahnya, lanjut Arif, majelis hakim justru membebankan kepada Yusman untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah.

 

Selain itu, terbukti dalam pertimbangan putusan PK bahwa majelis mempertimbangkan ada kekeliruan yang dilakukan oleh Pengadilan Gunung Sitoli. Dalam pertimbangan PK diungkapkan bahwa ada daya paksa terhadap Yusman saat melakukan kejahatan. Arif juga sangat menyayangkan bahwa orang-orang yang pada akhirnya terbukti tidak bersalah tidak pula dilakukan pemulihan oleh pemerintah atas kerugian materiil maupun Immateriil yang mereka rasakan selama vonis mati tersebut.

 

Di samping itu, Pemaksaan terhadap tersangka untuk mengaku seringkali dilakukan aparat penegak hukum dengan cara-cara kekerasan dan penyiksaan. Dalam pengamatan Ardimanto, bahkan dokumen kepolisian tidak berani memuat foto Zulfikar Ali untuk persidangan, karena masih ada lebam dan banyak bekas luka di tubuhnya. Lagi-lagi, kata Ardimanto, ini merupakan akibat dari pemaksaan pengakuan yang berdasarkan stereotipe keliru para penegak hukum.

 

Direktur Eksekutif Migrant care, Wahyu Susilo tidak membantah jika korban human trafficking seringkali menjadi korban eksekusi mati tidak hanya di Indonesia. Beruntung dalam kasus Wilfrida, TKI asal Indonesia yang pernah mendapatkan vonis mati di Malaysia namun dapat terbebas dari ancaman hukuman mati tersebut karena terbukti merupakan korban human trafficking dari sindikat perdagangan manusia.

 

Wilfrida saat diberangkatkan menuju Malaysia ternyata masih di bawah umur, kata Wahyu, namun tetap berhasil diberangkatkan sindikat tersebut karena identitasnya dipalsukan. Bahkan saat Wilfrida divonis mati ia tidak mendapatkan haknya untuk didampingi penerjemah.

 

“Beruntungnya kita dapat membuktikan bahwa dia merupakan korban human trafficking melalui surat baptisnya. Mungkin dokumen-dokumen resmi negara seperti passport dan lainnya bisa dipalsukan, tapi surat baptis tidak bisa dipalsukan,” jelas Wahyu.

 

Tags:

Berita Terkait