Sudah Banyak UU Akui Alat Bukti Elektronik
Berita

Sudah Banyak UU Akui Alat Bukti Elektronik

Berbagai argumen yang menyatakan bahwa sangat sulit untuk membuktikan suatu perkara yang menggunakan alat bukti elektronik, mulai keilangan alasan. Pasalnya, sekarang ini sudah banyak peraturan perundangan di Indonesia yang mengakui alat bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah. Bahkan, Mahkamah Agung (MA) sudah mengakuinya sejak 1988.

Zae/APr
Bacaan 2 Menit
Sudah Banyak UU Akui Alat Bukti Elektronik
Hukumonline

Seiring perkembangan teknologi yang mengubah dunia menjadi dunia digital, semakin sering pula bermunculan perkara-perkara  yang melibatkan alat bukti elektronik untuk keperluan pembuktiannya. Alat bukti yang relatif baru di dunia peradilan Indonesia ini tentu dipertanyakan kekuatan pembuktiannya.

Beberapa waktu lalu, pendapat yang menyatakan bahwa sangat sulit menggunakan dokumen elektronik sebagai alat bukti, mungkin ada benarnya. Karena, memang Indonesia belum mempunyai aturan khusus yang mengatur dokumen elektronika sebagai alat bukti sah yang diterima di depan persidangan.

"Namun demikian, bukan berarti kita tidak peduli dan tidak memberikan perhatian bagi perkembangan teknologi informasi," tegas Abdul Gani Abdullah, Dirjen Administrasi Hukum Umum (AHU), Departemen Kehakiman dan HAM. Pernyataan tersebut diungkapkan Abdul Gani saat menyampaikan makalahnya pada seminar sehari tentang "Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Elektronik" di Jakarta.

Abdul Gani mengatakan, Indonesia memang tidak seperti negara lain. Malaysia misalnya, telah memiliki bermacam electronic act.  Namun, pemerintah tidak tinggal diam untuk menanggapi keadaan ini. Hal ini, menurutnya, dapat dilihat dari berbagai kebijakan yang telah dilakukan pemerintah untuk mengantisipasi perkembangan teknologi informasi tersebut.

UU mengakui alat bukti elektronik

Baik dalam KUH Perdata maupun dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, alat bukti elektronik tidak disebut sebagai alat bukti yang sah yang diterima di depan persidangan. "Pengertian tulisan dalam pasal 1867 bisa dipastikan dalam bentuk tulisan di atas kertas," jelas Abdul Gani.

Namun, Indonesia selanjutnya menampung aspirasi tersebut dalam UU tentang Dokumen Perusahaan yang disahkan pada 1997. Dalam Pasal 15 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1997 tersebut dengan tegas dinyatakan bahwa dokumen perusahaan yang telah dimuat dalam mikrofilm atau media lainnya dan atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah.

Menurut Abdul Gani, isi Pasal 15 tersebut jika dikaitkan dengan Pasal 184 ayat (1) c dapat diartikan bahwa mikrofilm termasuk sebagai alat bukti surat. "Jadi dapat dikatakan bahwa alat bukti dalam bentuk surat, bukan saja yang tertulis di atas kertas. Namun, juga yang tersimpan dalam mikrofilm atau media lainnya," ujar Abdul Gani. 

Selain UU tentang dokumen perusahaan, beberapa UU lainnya juga telah mengakui alat bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah. UU tersebut antara lain UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan UU No. 15 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Menurut ketentuan Pasal 26A dalam UU UU No 20 Tahun 2001, alat bukti yang sah untuk tindak pidana korupsi juga dapat berupa alat bukti lain yang diucapkan, dikirim atau disimpan secara elektronik. Sedangkan dalam UU No 15 Tahun 2002, pengakuan keabsahan alat bukti elektronik terdapat pada Pasal 38. 

Abdul Gani mengemukakan bahwa saat ini Depkeh dan HAM tengah menyusun RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pasal 26 RUU tersebut memasukkan pula alat bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah. "Rumusannya akan sama dengan yang diatur dalam Pasal 38 UU Pencucian Uang," jelas Abdul Gani.

Sudah ada surat MA sebelumnya

Sebelum adanya UU yang mengakui keabsahan alat bukti elektronik tersebut sebenarnya sudah ada pengakuan tentang keabsahan alat bukti elektronik, jauh sebelum UU tersebut dilahirkan. Pengakuan keabsahan tersebut dalam peradilan Indonesia muncul melalui surat MA pada 1988.

MA melalui suratnya menyatakan bahwa mikrofilm atau microfiche dapat dipergunakan sebagai alat bukti surat sebagaimana tersebut dalam Pasal 184 ayat (1)c KUHAP. Surat tertanggal 14 Januari 1988 itu ditujukan kepada Menteri Kehakiman waktu itu.

Keabsahan alat bukti elektronik itu, menurut surat MA tersebut, dengan catatan bahwa mikrofilm atau microfiche itu sebelumnya dapat dijamin otentikasinya dan dapat pula ditelusuri kembai dari registrasi maupun berita acaranya. Dalam surat tersebut, dikemukakan pula bahwa terhadap perkara perdata juga berlaku pendapat yang sama.

Tags: