Suciwati, Penerus Perjuangan Munir
Edisi Akhir Tahun 2011:

Suciwati, Penerus Perjuangan Munir

Meskipun skeptis dengan komitmen pemerintah, Suciwati yakin keadilan akan datang.

Fathan Qorib
Bacaan 2 Menit
Suciwati terus berjuang mengungkap kasus kematian suaminya. Foto: theblogkatakami.wordpress.com
Suciwati terus berjuang mengungkap kasus kematian suaminya. Foto: theblogkatakami.wordpress.com

Jumat, 12 November 2004 menjadi hari kelam bagi Suciwati. Betapa tidak, wanita yang kini berusia 43 tahun ini harus menerima kenyataan pahit bahwa sang suami, Munir Said harus meninggalkannya untuk selama-lamanya. Ya, Munir seorang aktivis pembela hak asasi manusia (HAM) meninggal karena diracun dalam perjalanannya ke Belanda.

 

Rencananya, ayah dari dua anak itu akan meneruskan pendidikannya ke jenjang magister Hukum Humaniter di Universitas Utrecht, Belanda. Namun dalam perjalanan, Munir diracun di dalam pesawat Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA 974 tujuan Amsterdam, Belanda. Munir pun meninggal di dalam pesawat sesaat sebelum mendarat di negeri kincir angin tersebut.

 

Kabar bahwa Munir telah diracun dirilis pertama kali oleh pihak kepolisian Belanda. Hasil ini didapat dari otopsi yang dilakukan oleh Institut Forensik Belanda bahwa ditemukan jejak senyawa arsenikum di dalam tubuh Munir. Kabar pahit ini diterima Suci. Ia pun mencari tahu kebenaran hasil otopsi tersebut ke sejumlah lembaga negara di Indonesia.

 

Namun pencarian tersebut tak semulus yang dibayangkan Suci. Bagai bola pingpong, wanita paruh baya itu dilempar ke sana ke mari oleh pemerintah. Awalnya, Suci menghubungi Departemen Luar Negeri (Deplu), tapi dari Deplu malah disarankan bertanya ke Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan yang saat itu dijabat Widodo AS.

 

Namun, jawaban tak memuaskan didapatkan Suci dari Menko Polhukkam. Saat itu, Widodo mengatakan bahwa hasil otopsi Munir sudah di tangan Kepala Kepolisian RI. Saat Suci menghubungi Kapolri, hasil otopsi dikatakan sudah diberikan ke Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri. Tapi saat dirinya mendatangi Mabes Polri, hasil otopsi pun tak langsung diterimanya.

 

Ketidakjelasan di mana hasil otopsi suaminya inilah yang membuat kecurigaan Suci semakin nyata bahwa telah terjadi keanehan dalam kematian Munir. “Ketika di Kabareskrim aku minta hakku itu dipersulit. Sekian lama, bahkan copy-nya saja aku gak dikasih. Setelah advokasi kita bersama-sama (teman-teman sesama aktivis) kemudian diberikan (hasil otopsi). Itu awal ketika soal informasi yang sangat penting aku tak diberi ruang, itu kita lihat ada sesuatu yang mereka mau menyembunyikan,” ujarnya saat dihubungi hukumonline.

 

Perjuangan Suci masih panjang. Ia harus mengungkap siapa pembunuh suami yang dicintainya itu. Langkah Suci berikutnya bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara. Dalam pertemuan, kata Suci, presiden berjanji membentuk tim khusus untuk mengungkap tuntas kematian suaminya. Sejumlah nama dan instansi pun diberikan Suci dan kawan-kawan untuk dimasukkan ke dalam susunan tim.

 

Tapi pemerintah baru membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) sekitar satu tahun kemudian. Itupun setelah Sucidan rekan-rekan sesama aktivis menagih pembentukan tim ke pemerintah. “Ketika kita buat statement itu (‘Mana Janjimu?’), kemudian aku ditelpon Sudi Silalahi (Mensesneg). Tak lama setelah itu, aku dikirim Keppres Nomor 111 Tahun 2004 mengenai Pembentukan Tim Pencari Fakta yang mulai bekerja awal januari 2005,” katanya.

 

Menurut Suci, TPF yang hanya bekerja selama enam bulan itu tak diberikan kewenangan besar seperti menyidik. Hal ini mengherankan pihaknya karena di dalam susunan TPF juga terdapat aparat penegak hukum seperti dari Kepolisian dan Kejaksaan.

 

“Jadi untuk meminta langsung surat-surat atau apa, itu perlu kerjasama dengan instansi lain, padahal di situ ada orang kepolisian, ada orang kejaksaan, jadi kayaknya kita melihatnya memang sengaja, mungkin ada hal yang sudah diketahui sehingga (kewenangan) dibatasi.”

 

Suci mencontohkan data yang diminta pihaknya kepada Badan Intelijen Negara (BIN) khususnya mengenai meninggalnya sang suami juga dipersulit. Yakni terkait percakapan antara Pilot Garuda Pollycarpus Buhari Priyanto dengan salah satu Deputi BIN Muchdi PR. Percakapan melalui sambungan telepon ini dilakukan Muchdi di ruangan kantornya di BIN. Menurutnya, pihak BIN saat itu tak memberikan hasil percakapan karena mengatasnamakan rahasia negara.

 

Meski TPF berjalan, di ujung rekomendasi, lagi-lagi Suci harus menelan pil pahit. Hasil temuan TPF tak dibuka ke publik tentang siapa-siapa saja orang yang terlibat dalam pembunuhan suaminya. Selain itu, karena hasil rekomendasi tak diketahui khalayak luas, presiden dengan mudahnya tak menindaklanjuti hasil TPF tersebut. “Kan ada rekomendasi dan itu tidak ditindaklanjuti oleh presiden. Itu yang mengecewakan,” katanya.

 

Dukungan Internasional

Seperti tak mau menyia-nyiakan waktu, saat TPF bekerja, Suci pun mencari keadilannya sendiri. Ditemani beberapa rekan, ia mulai melakukan kampanye ke dunia internasional bahwa telah terjadi pelanggaran HAM dalam kematian suaminya. Kampanye ini dilakukan karena ia berpikir, suaminya sudah menjadi milik dan bagian dari dunia internasional.

 

Perjalanan ke sejumlah negara untuk mencari dukungan dimulai Suci dari markas pusat Perserikatan Bangsa-Bangsa yang ada di New York, Amerika Serikat. Di Dewan HAM PBB, Suci sempat memberikan testimoni mengenai kematian sang suami. Awal mula perjalanan Suci ke dunia internasional dilakukan pada tahun 2005.

 

“Sampai sekarang kasus almarhum Munir dicatat bahwasanya ini kasus yang belum selesai. Itu akan dipertanyakan terus di Komisi HAM PBB,” ujar Suci. Tak hanya di PBB, pencarian dukungan juga dilakukan Suci ke sejumlah negara, salah satunya ada Swiss.

 

Sejumlah petinggi Komisi HAM juga ditemui ibu dari Soultan Alif Allend dan Diva Suuky ini. Bahkan sejumlah parlemen seperti di Kanada, Australia, Prancis, Inggris, Belanda, Jerman, Kongres Amerika Serikat dan bahkan senator dari Thailand turut disambanginya. Puluhan Non Government Organization (NGO) internasional juga tak luput dari lawatan Suci.

 

Alhasil, pihak dunia internasional yang ditemuinya itu mengirim surat ke pemerintah Indonesia dan Presiden SBY mempertanyakan kasus pembunuhan Munir. “Bahkan para pemenang nobel juga beberapa kali mengirimkan surat kepada pemerintah Indonesia. Dan itu (kematian Munir) dicatat,” kata Suci.

 

Pencarian dukungan internasional yang paling teranyar dilakukan Suci pada Maret 2011 lalu. Kebetulan ia diundang Pemerintah Belanda yang mengadakan pemutaran film terkait yang dialami Suci. Ya, film yang diputar mengenai perjuangan tiga perempuan di Asia yang suaminya menjadi korban pelanggaran HAM. Selain Suci, dua orang lagi adalah Ankhana Neelaphaikit dari Thailand yang suaminya diculik dan pada akhirnya dibunuh serta Padma Perera dari Srilangka yang juga bernasib sama.

 

“Kita bertiga ini istri para aktivis HAM yang lakukan advokasi kekerasan negara terhadap masyarakat sipil. Difilmkan dan dibawa ke Belanda, semacam pemutaran film human right,” ujar Suci. Tak hanya menonton pemutaran film, dia dan kedua wanita itu juga diberi kesempatan untuk melobi parlemen dan bertemu dengan menteri yustisia di sana.

 

Di dalam negeri, peringatan Munir Memorial Testimoni juga dilakukan Suci dan beberapa LSM. Peringatan ini diadakan di Perpustakaan Nasional pada September lalu. Dan yang menjadi konsentrasi Suci bersama rekan-rekan, pihaknya akan terus melakukan acara Kamisan –aksi unjuk rasa setiap hari Kamis- di depan Istana Negara dengan tujuan mengingatkan pemerintah untuk terus menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM.

 

Dukungan Anak-Anak

Selama melakukan advokasi, Suci mengaku tak pernah menutupi seluruh kegiatan yang dilakukannya kepada anak-anak. Bahkan dia selalu meminta izin dari anak-anak apabila ingin berpergian mencari informasi siapa dalang pembunuh suaminya. “Mereka ikut mendukung dengan memberikan izin ibunya pergi. Itu support yang riil yang luar biasa bagi aku.”

 

Di rumah, Suci dan anak-anaknya selalu menghiasi ruang keluarga atau ruang makan untuk berdiskusi. Khususnya mengenai perjuangan Munir dalam membela hak-hak masyarakat. Menurut Suci, dengan diskusi ini, sosok ayah bagi anak-anaknya masih tetap ada dan hidup.

 

“Kami selalu berdiskusi. Anakku bertanya apa sih yang dilakukan abah (semasa hidup). Nama almarhum tidak pernah hilang dalam ruang-ruang diskusi kami. Dia hidup, karena dia buat kami hidup di pikiran dan di hati kami,” ujar Suci. Menurutnya, butuh proses yang panjang bagi anak-anak menerima keadaan bahwa ayahnya telah tiada.

 

Mengenai harapan dari pemerintah Indonesia untuk menuntaskan kasus pembunuhan suaminya, Suci menilai sebagai hal yang naif. Meski dia menganggap perjuangan yang dilakukan belum maksimal, ia sedikit pesimis jika melihat kondisi bangsa Indonesia yang semakin lama semakin tak jelas. Tapi di satu sisi, dukungan dari dunia internasional begitu besar kepadanya.

 

“Mungkin sedikit naif negeri kita ini begitu parahnya, bobrok moral (pejabat)-nya, korupsi, pelanggar HAM, penegakan hukumnya juga buruk, jaksanya juga koruptif. Tapi kok saya tetap meyakini ketika apa yang saya lakukan itu tidak sia-sia. Jadi dukungan itu tetap mengalir sampai hari ini,” tutur suci.

 

Ia berharap, apa yang dialaminya ini tak dirasakan lagi oleh orang lain. Untuk mengikisnya, kata Suci, diperlukan mawas diri dari masyarakat dan terus mengingatkan mengenai pelanggaran HAM yang terjadi pada masa lalu. “Itu yang harus diingatkan kepada masyarakat dan ini harus diselesaikan. Kalau tidak, kita akan terus punya hutang. Negara kita akan punya hutang. Dan itu akan dicatat dalam sejarah,” tutupnya.

 

Ketua Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (Kasum) Choirul Anam, yang turut mendampingi Suci dalam memperjuangkan keadilan menilai istri Cak Munir tersebut memiliki semangat yang luar biasa. “Solidaritas (Suci) terhadap korban HAM yang lain luar biasa besar. Ini patut disanjung, karena beliau juga korban yang memiliki beban yang besar pula,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait