Substansi RUU Perpajakan Dinilai Masih Bermasalah
Utama

Substansi RUU Perpajakan Dinilai Masih Bermasalah

Rancangan Undang-undang Perpajakan yang disiapkan pemerintah bakal mendapatkan reaksi keras dari kalangan pengusaha. Bahkan, Asosiasi Pengusaha Indonesia yang tidak setuju dengan beberapa substansi dari RUU tersebut, langsung menemui Komisi IX DPR untuk melakukan dengar pendapat umum.

Tri
Bacaan 2 Menit

 

Padahal, menurut pengusaha John Prasetio, berdasarkan Inpres No. 5 tahun 2003 tentang White Paper, dalam melakukan reformasi keuangan pemerintah seharusnya tidak hanya mempertimbangkan masalah peningkatan pemasukan dari sektor pajak, tetapi juga soal peningkatan daya saing dan iklim investasi. "Termasuk soal penyederhanaan sistem dan administrasi  perpajakan," tutur John.

 

Kenyataannya, berdasarkan draf RUU Perpajakan yang disiapkan pemerintah, penekannya hanya penerimaan pajak dan bukan untuk meningkatkan daya saing dan iklim investasi di Indonesia. Misalnya saja dalam masalah tarif, masih terdapat hal-hal yang menyulitkan wajib pajak dalam membayar pajak.

 

Ia mencontohkan masalah kompensasi kerugian yang diatur dalam draf RUU Perpajakan. Dalam draf tersebut ternyata malah makin kompleks, karena soal kompensasi kerugian ini masih harus dibedakan lagi antara perusahaan aktif dengan yang non-aktif. "Padahal ketentuan yang lama saja sebenarnya sudah cukup baik. Jadi jangan dipersulit," jelasnya.

 

Fiscus harus dihukum

Hal senada juga diungkapkan pakar hukum pajak Husein Kartasasminta. Menurut Husein, sistem perpajakan yang ada sekarang tidak adil. Ia mencontohkan misalnya saja wajib pajak yang memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP) dikejar-kejar tetapi wajib pajak yang tidak memiliki NPWP dibiarkan saja. Bahkan dalam RUU yang disiapkan pemerintah, penyidik pajak bisa melakukan penangkapan dan penahanan.

 

Selain itu, Husein juga mempersoalkan masih rendahnya pengetahuan petugas pajak (fiscus) terhadap peraturan tentang perpajakan. "Mereka kebanyakan tidak mengetahui soal pajak ketika melakukan audit," tegasnya.

 

Soal rendahnya pengetahuan atas peraturan perpajakan ini, Husein mendasarkan pada data statistik dari lembaga peradilan pajak sebelumnya yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Perpajakan (BPSP) dan Majelis Pertimbangan Perpajakan (MPP). Dalam keputusan bandingnya, hanya 30 persen dari seluruh ketetapan pajak yang dibenarkan. Artinya, 70 persen dari ketetapan pajak yang dikeluarkan fiscus ternyata ditetapkan secara tidak profesional. 

 

Untuk itu, Husein mengusulkan agar kepada fiscus yang salah melakukan penghitungan terhadap wajib pajak juga dikenakan hukuman, karena salah hitung merupakan perbuatan melawan hukum yang sangat merugikan wajib pajak. "Paling tidak dalam Undang-undang Perpajakan, pasal 1365 KUHPerdata juga dimasukkan," tegas Husein.

 

Sementara itu, pimpinan Komisi IX yang diwakili Paskah Suzeta mengatakan bahwa pihaknya masukan dari para pengusaha sangat berarti pada saat pembahasan nanti. Namun ia menyatakan bahwa draf RUU Perpajakan belum diterima DPR dan masih ada di tangan pemerintah.  

Tags: