Suap dari Pihak Swasta, Uang Pengganti Tak Relevan
Berita

Suap dari Pihak Swasta, Uang Pengganti Tak Relevan

Terdakwa bersikeras tidak bersalah dan menyatakan banding.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Terdakwa Merry Purba dipeluk anggota keluarganya usai vonis di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (16/5). Foto: Abe
Terdakwa Merry Purba dipeluk anggota keluarganya usai vonis di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (16/5). Foto: Abe

Penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat meminta pengadilan menjatuhkan pidana tambahan berupa uang pengganti kepada terdakwa kasus korupsi. Meskipun terdakwa tersebut tidak merugikan keuangan negara, penuntut umum tetap berhak meminta terdakwa mengembalikan uang suap yang dinikmati.

Hal yang sama terjadi pada Hakim ad hoc Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Medan, Merry Purba. Ia dituntut membayar uang pengganti sebesar Sin$150 ribu karena dianggap terbukti menerima suap dalam jumlah yang sama dari Tamin Sukardi (diadili terpisah) untuk mempengaruhi putusan.

Namun majelis tidak mengabulkan permintaan tersebut. "Menolak pidana tambahan uang pengganti karena ini pemberian suap dari pihak swasta, maka tidak relevan jika dikenakan pidana pengganti," kata majelis hakim dalam amar putusan Merry, Kamis (16/5) di Pengadilan Tipikor, Jakarta.

Meskipun begitu majelis tetap menganggap Merry bersalah melakukan tindak pidana korupsi menerima suap sebesar Sin$150 ribu dari Tamin Sukardi melalui Helpandi. Terdakwa  terbukti melanggar Pasal 12 huruf c UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 juncto jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

"Mengadili terdakwa menerima suap bersama-sama sesuai dakwaan kesatu. Menjatuhkan pidana penjara oleh karenanya selama 6 tahun dan denda 200 juta, jika tidak dibayar maka diganti hukuman penjara selama 1 bulan," pungkas majelis.

(Baca juga: Penyuap Hakim Tipikor Medan dan Dua Perantaranya Divonis Bersalah).

Pertimbangan memberatkan perbuatan Merry dianggap menciderai kepercayaan publik pada lembaga peradilan, bertentangan dengan program pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dan tidak mengakui perbuatannya. Sebaliknya, hakim menganggap status terdakwa yang belum pernah dihukum, berlaku sopan di persidangan, serta mempunyai tanggungan keluarga, sebagai faktor yang meringankan.

Usai mendengarkan putusan, Merry sembari terisak bersikeras dirinya memang tidak pernah menerima uang suap tersebut. Setelah berdiskusi dengan tim kuasa hukum ia menyatakan sikapnya. "Saya harus banding Yang Mulia," tegas Merry. Sementara penuntut umum menyatakan pikir-pikir atas putusan.

Usai sidang ditutup, tangis Merry pecah. Salah satu anggota keluarga langsung menghampiri dan memeluknya. Anggota keluarga yang lain pun berusaha menenangkan Merry. Sekitar 20 menit Merry mencoba ditenangkan keluarganya, baru kemudian ia menyalami salah seorang penuntut umum.

Kronologis peristiwa

Dalam surat dakwaan dan tuntutan penuntut umum tujuan pemberian uang $150 ribu itu agar Direktur Utama PT Erni Putra Terari Tamin Sukardi mendapat putusan bebas dalam putusan perkara tipikor nomor: 33/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Mdn mengenai pengalihan tanah negara/milik PTPN II kepada pihak lain seluas 106 hektare bekas Hak Guna Usaha (HGU) PTPN II Tanjung Morawa di Pasa IV Desa Helvetia, Deli Serdang atas nama Tamin Sukardi.

Ketua PN Medan Marsudin Nainggolan menunjuk Wahyu Prasetyo Wibowo sebagai hakim ketua, Sontan Merauke Sinaga sebagai hakim anggota I dan Merry Purba sebagai hakim anggota II Ad hoc, serta Helpandi sebagai panitera pengganti. Wahyu lalu menerbitkan surat penetapan penahan terhadap Tamin di rutan Tanjung Gusta Medan selama 30 hari sejak 10 April 2018.

Tamin mengajukan permohonan pengalihan status menjadi tahanan rumah dengan alasan medis pada 9 Juli 2018. Dalam beberapa kali permintaan tanda tangan untuk penetapan izin berobat Tamin terlontar pertanyaan baik dari Merry Purba, Sontan Merauke maupun Wahyu Prasetyo dengan kalimat seperti 'kok gini-gini aja?' atau 'kerja baktinya aja kita deh?' atau 'teken aja kita ini?' Atas kalimat tersebut Helpandi memahaminya sebagai permintaan uang atau barang dari majelis hakim.

(Baca juga: Begini Pengakuan Hakim Ad Hoc Tipikor PN Medan).

Staf administrasi perusahaan Tamin, Sudarni Samosir lalu melaporkan hasil pertemuan dengan Helpandi kepada Tamin dan ia pun meminta agar mengkomunikasikan dengan majelis hakim agar hakim tidak kecewa dan agar putusan perkaranya bebas pada 27 Agustus 2018.

Helpandi lalu menyebut untuk menyiapkan sebesar Rp3 miliar untuk tiga orang hakim dan Tamin menyanggupinya. Ia kemudian menghubungi rekannya Hadi Setiawan yang sudah berkomitmen untuk membantu dirinya. Tamin memberikan uang sejumlah 280 ribu dolar Singapura dalam amplop ke Hadi untuk diserahkan ke majelis hakim.

Sekitar Agustus 2018, Helpandi bertemu dengan Merry Purba di lorong kerja dan mengatakan bahwa Tamin minta dibantu untuk putusan dan akan ada pemberian sejumlah uang dari Tamin. Uang untuk Merry Purba diserahkan pada 25 Agustus 2018 di "show room" mobil Honda di Jalan Adam Malik, Helpandi lalu memberikan $150 ribu kepada seorang pria yang mengendarai mobil Toyota Rush milik Merry Purba, sedangkan uang untuk Sontan akan diserahkan sesaat putusan dibacakan yaitu 27 Agustus 2018.

Nah, pria inilah yang saat ini masih menjadi misteri. Hingga putusan dibacakan, pria ini masih menghilang. KPK sudah mengupayakan pencarian namun belum menemui hasil. Sementara Merry menyanggah meminta pria tersebut untuk mengambil uang suap.

Pada 27 Agustus 2018, majelis hakim memutuskan Tamin Sukardi terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tipikor secara bersama-sama dan dijatuhi pidana 6 tahun, denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan dan kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp132,468 miliar, sedangkan hakim Merry Purba menyatakan "dissenting opinion" yaitu dakwaan tidak terbukti dengan adalan sudah ada putusan perdata berkekuatan hukum tetap.

Tags:

Berita Terkait