Strict Liability, Jurus Ampuh Hukum Lingkungan Menjerat Korporasi Tanpa Buktikan Unsur Kesalahan
Berita

Strict Liability, Jurus Ampuh Hukum Lingkungan Menjerat Korporasi Tanpa Buktikan Unsur Kesalahan

Tanggung jawab mutlak yang membuat korporasi tak bisa mengelak.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Pembicara bedah buku: (kiri ke kanan) Dirjen KLHK, dosen FH UI Harsanto Nursadi, Mas Achmad Santosa, Andri G. Wibisana. Foto: NEE
Pembicara bedah buku: (kiri ke kanan) Dirjen KLHK, dosen FH UI Harsanto Nursadi, Mas Achmad Santosa, Andri G. Wibisana. Foto: NEE

Konsep strict liability atau ‘tanggung jawab mutlak’ harus diwaspadai pelaku usaha berkaitan aspek lingkungan. Korporasi dapat dihukum mengganti rugi hingga ratusan miliar cukup dengan terbukti mengakibatkan ancaman serius bagi lingkungan dan menimbulkan kerugian bagi penggugat. Tak perlu ada unsur kesalahan.

 

Pertama kalinya strict liability dikenal di Indonesia dengan ratifikasi atas Civil Liability Convention for Oil Pollution Damage (CLC) tahun 1969 oleh Keputusan Presiden No.18 Tahun 1978 (belakangan ratifikasi ini dicabut pada tahun 1998-red.). Lalu, UU No.4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup yang telah dua kali direvisi hingga yang saat ini berlaku, UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU Lingkungan Hidup) terus memuat soal strict liability.

 

Akan tetapi, baru pada tahun 2003 ada putusan pengadilan pertama di Indonesia yang menerapkan strict liability untuk menghukum tergugat. Putusan PN Bandung No. 49/Pdt.G/2003/PN.Bdg yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi hingga akhirnya menang di Kasasi tersebut dikenal sebagai Putusan Mandalawangi.

 

Putusan kedua yang mendasarkan pada strict liability baru terjadi pada putusan PN Jakarta Selatan No.456/Pdt.G-LH/2016/PN.Jkt.Sel. Gugatan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan terhadap PT.Waringin Agro Jaya dimenangkan Hakim dengan menghukum ganti rugi mencapai Rp466 miliar.

 

(Baca: Gunakan Strict Liability, Hakim Hukum Perusahaan Ini Ratusan Miliar)

 

Meskipun baru ditemukan penerapannya dalam dua putusan pengadilan, strict liability sebenarnya adalah jurus ampuh. Penggugat tak dibebani rumitnya pembuktian unsur kesalahan. Adanya kausalitas antara kerugian yang ditimbulkan dengan perbuatan tergugat cukup menjadi modal untuk menghukum tergugat.

 

Dalam peluncuran buku ‘Penegakan Hukum Lingkungan Melalui Pertanggungjawaban Perdata’ Senin (12/3) di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, keampuhan dari strict liability ini mendapatkan pengakuan dari kalangan akademisi, aktivis lingkungan, dan Kementerian Lingkungan Hidupn dan Kehutanan (KLHK).

 

Peneliti ICEL (Indonesian Center for Environmental Law), Fajri Fadhillah, menjelaskan kepada hukumonline bahwa strict liability tidak membebani penggugat untuk pembuktian unsur kesalahan. “Beban penggugat lebih ringan, hanya membuktikan perbuatannya abnormally dangerous, dan ada kausalitas antara perbuatan dengan kerugian yang terjadi,” katanya.

 

Dalam peraturan perundang-undangan nasional, strict liability tertera jelas pada Pasal 88 UU Lingkungan Hidup.

Paragraf 2

Tanggung Jawab Mutlak

Pasal 88:

Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.

Penjelasan

Yang dimaksud dengan “bertanggung jawab mutlak” atau strict liability adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut Pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu.

Yang dimaksud dengan “sampai batas waktu tertentu” adalah jika menurut penetapan peraturan perundangundangan ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan atau telah tersedia dana lingkungan hidup.

 

Rasio Ridho Sani, Dirjen Penegakan Hukum Lingkungan dan Kehutanan KLKH mengatakan dalam paparannya bahwa strict liability harus semakin luas dipahami untuk penegakan hukum lingkungan. Ia mengaku KLKH baru mulai mantap menggunakan strict liability dalam gugatan pada korporasi untuk mewakili negara sejak tahun 2016. Ia mengatakan saat ini ada enam perusahaan yang tengah digugat KLKH dengan dasar strict liability.

 

Direktur Penyelesaian Sengketa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jasmin Ragil Utomo, mengatakan pada hukumonline bahwa ada nilai gugatan ratusan miliar yang menjadi target KLKH agar korporasi bertanggungjawab atas kerugian yang terjadi akibat kegiatan usahanya.

 

(Baca juga: Konsep dan Praktik Strict Liability di Indonesia)

 

Namun, Ragil juga mengakui bahwa masih ada hambatan soal penggunaan strict liability dalam penggunaan strict liability. “Pengacara dan Hakim masih beda persepsi,” katanya saat diwawancarai usai acara.

 

Sebagai lembaga riset dan advokasi bidang hukum lingkungan, ICEL juga menyatakan hal serupa soal kendala strict liability dalam praktik di peradilan. Fajri menjelaskan kendalanya soal pemahaman para penegak hukum terutama hakim soal penerapan strict liability secara operasional.

 

Padahal di lingkungan Mahkamah Agung sudah ada program sertifikasi hakim untuk bidang keahlian hukum lingkungan. Sejak 2013 pun Mahkamah Agung telah menerbitkan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup melalui Keputusan Ketua MA No.36/KMA/SK/II/2013 Tahun 2013.

 

Banyak kalangan hakim masih berpegang pada pemahaman bahwa dasar gugatan dalam peradilan perdata hanya disebabkan wanprestasi atau perbuatan yang melawan hukum. Akhirnya strict liability dikategorikan sebagai bagian dari dasar gugatan Perbuatan Melawan Hukum. Bukan dasar gugatan terpisah.

 

(Baca juga: Hukuman Bagi Perusahaan Pelaku Pencemaran Lingkungan)

 

“Yang saya telusuri, pembedaan gugatan perdata hanya soal wanprestasi atau Perbuatan Melawan Hukum itu tidak ada dasar literaturnya,” kata Andri G. Wibisana selaku penulis buku ‘Penegakan Hukum Lingkungan Melalui Pertanggungjawaban Perdata’. Dosen FH UI ini yakin bahwa penggunaan strict liability sebagai dasar gugatan perdata untuk menagih kerugian sama sekali tidak menyalahi sistem hukum yang berlaku.

 

Adalagi pandangan di kalangan hakim bahwa strict liability sebagai pembuktian terbalik kesalahan (res ipsa loquitur). Hal ini dikritisi Andri sebagai kekeliruan, meskipun nama besar ahli hukum seperti Sudikno Mertokusumo dan Koesnadi Hardjosoemantri justru berpendapat demikian.

 

 

Masih ada yag harus dibuktikan oleh penggugat,” lanjut Andri. Yaitu kerugian apa yang terjadi dan adanya kausalitas antara kerugian dengan perbuatan tergugat.

 

Pasal 1 angka 34 UU Lingkungan Hidup memberikan kriteria bahwa perbuatan yang menjadi penyebab kerugian dalam strict liability berupa  ancaman serius terhadap lingkungan hidup yaitu ancaman yang berdampak luas terhadap lingkungan hidup dan menimbulkan keresahan masyarakat.

 

Keputusan Ketua MA No.36/KMA/SK/II/2013 Tahun 2013 merincikannya sebagai pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang dampaknya berpotensi tidak dapat dipulihkan kembali dan/atau komponen-komponen lingkungan hidup yang terkena dampak sangat luas, seperti kesehatan manusia, air permukaan, airhawah tanah, tanah, udara, tumbuhan, dan hewan.

 

“Saya membantah pernyataan bahwa strict liability tidak perlu pembuktian, perlu pembuktian,” jelas Andri.

 

Kepada hukumonline Andri juga mengusulkan bahwa keampuhan strict liability harus diimbangi dengan regulasi preventif lebih lanjut soal korporasi yang berkegiatan terkait lingkungan. “Pembuat kebijakan harusnya juga melengkapi kewajiban aset minimum, semakin minim aset dia akan semakin tidak hati-hati,” tambah Andri.

 

Artinya, ada persyaratan nilai aset minimum korporasi untuk bisa menanggung beban ganti rugi apabila terjerat gugatan strict liability. Cara lainnya adalah mewajibkan korporasi memiliki asuransi dengan nilai yang cukup menanggung beban ganti rugi jika terjerat strict liability.

 

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar, dalam sambutannya memberikan apresiasi besar atas buku karya Andri sebagai dukungan penting bagi penegakan hukum lingkungan.

 

Sementara itu, pakar hukum lingkungan Mas Achmad Santosa menyatakan bahwa karya Andri ini adalah rujukan paling lengkap untuk saat ini mengenai strict liability dalam hukum lingkungan di Indonesia. Hadir pula Dekan FH UI beserta jajarannya dan para Guru Besar dalam peluncuran buku tersebut.

 

Tags:

Berita Terkait