Strategi yang Bisa Dilakukan Konsumen untuk Penyelesaian Sengketa di Era Digital
Utama

Strategi yang Bisa Dilakukan Konsumen untuk Penyelesaian Sengketa di Era Digital

Perluasan ekonomi digital semakin menambah peluang adanya sengketa antara konsumen dan pelaku usaha.

CR-27
Bacaan 4 Menit
Webinar bertajuk Penyelesaian Sengketa Konsumen di Era Digital, Kamis (9/12). Foto: CR-27
Webinar bertajuk Penyelesaian Sengketa Konsumen di Era Digital, Kamis (9/12). Foto: CR-27

Kehadiran ekonomi digital yang tidak bisa dihindari menjadi keniscayaan dan secara tidak langsung masyarakat harus bersahabat dengan digitalisasi. Ada banyak hal yang harus diatur dan diperbarui demi mengikuti perkembangan zaman, termasuk perlindungan konsumen di era digital.

Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Rizal E. Halim, dalam webinar bertajuk Penyelesaian Sengketa Konsumen di Era Digital, Kamis (9/12), mengungkapkan ekonomi digital yang semakin meluas harus sejalan dengan perhatian terhadap konsumen.

“Perlindungan terhadap konsumen perlu diakomodir oleh perangkat institusional regulasi yang ada di berbagai sektor serta mendapat perhatian dan pemahaman langsung dari praktisi hukum,” ungkapnya.

Menurutnya, perluasan ekonomi digital semakin menambah peluang adanya sengketa antara konsumen dan pelaku usaha. “Kita tidak bisa terhindar dari sengketa yang melibatkan yurisdiksi hukum serta butuh pembaruan dan terobosan hukum dalam mengakomodir tantangan zaman ini,” lanjutnya.

Untuk merealisasikan hal tersebut, kata Rizal, BPKN saat ini tengah melakukan pembaruan terkait respons aduan masyarakat dengan menggunakan sarana digital. Ia melanjutkan saat ini Indonesia bersama Thailand tengah menjadi pilot proyek dalam mengembangkan digital online dispute resolution (ODR). (Baca: Lembaga Jasa Keuangan Diminta Patuhi Prinsip Perlindungan Konsumen)

Mengenai konsepsi ODR, peneliti Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK) M. Faiz Aziz mengatakan ada dua perspektif mengenai ODR. “ODR dipandang sebagai alat bantu teknologi yang dapat digunakan untuk proses penyelesaian sengketa yang telah dibuat dalam ODR, yang kedua, ODR dipersamakan dengan mekanisme tersendiri terkait dalam fitur-fitur negosiasi, arbitrase atau konsiliasi,” jelasnya.

Regulasi ODR di Indonesia saat ini tercetus dan disebut langsung dalam PP No.80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Selain dalam PP tersebut, ada 17 regulasi lain yang terkait dengan ODR, mulai dari UU Kekuasaan Kehakiman, UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, UU Perdagangan dan UU lainnya.

Menurut Azis, ada tiga aspek yang perlu diperhatikan dalam pendukungan ODR, yakni dari sisi regulasi, infrastruktur dan sumber daya manusia. Kehadiran ekonomi digital ini harus diimbagi dengan penegakan hukum konsumen. “Bidang perlindungan konsumen belum menjadi perhatian serius. Lima tahun terakhir banyak ditemui masyarakat menjadi korban kerugian dari transaksi ekonomi,” ujarnya.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bernadette Waluyo, membahas lebih lanjut mengenai jalur perlindungan hukum yang bisa dimanfaatkan oleh konsumen jika tersandung sengketa dengan pelaku usaha.

Dia menjelaskan hukum perlindungan konsumen dibahas dalam Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang didalamnya termasuk mengenai strategi perlindungan konsumen. 

“Dalam strategi perlindungan konsumen, penyelesaian sengketa konsumen adalah upaya terakhir yang dilakukan oleh para pihak, jika para pihak tidak bisa menyelesaikan sendiri masalah atau konflik yang timbul.” katanya.

Ada lima strategi perlindungan konsumen yang diberikan pemerintah saat ini kepada konsumen yang merasa dirugikan oleh pelaku usaha, yaitu strategi perlindungan nir aksi, strategi ragam aksi, strategi perundang-undangan, strategi melalui peradilan dan luar peradilan, serta strategi pengaturan mandiri.

“Ketika konsumen tidak ingin memperpanjang kerugian yang dialami, konsumen bisa melakukan strategi nir aksi yang mana tidak melakukan apa-apa. Jika konsumen membeli sebuah produk di e-commerce, konsumen bisa melakukan aksi penilaian keluhan di media sosial,” jelasnya.

Ia menambahkan strategi melalui jalur hukum bisa melakukan strategi perundang-undangan yang kemudian diikuti dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang sifatnya khusus. Strategi jalur hukum ini nantinya akan mengantarkan konsumen untuk memilih ingin menyelesaikan sengketa melalui peradilan atau di luar peradilan.

Saat ini, untuk menghindari sengketa sudah banyak ditemukan pelaku usaha yang membuat peraturan yang bertujuan untuk melindungi konsumen. “Perlindungan hukum terhadap konsumen ini bisa dilakukan pada masa pra beli, artinya sebelum terjadi konflik.” lanjut Bernadette.

Banyaknya sengketa antara pelaku dan konsumen membuat pemerintah lebih memperhatikan untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen. Dalam hal ini pemerintah mengeluarkan dan memberlakukan Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang mencakup barang dan jasa secara umum.

Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini selanjutnya berkembang dalam penyelesaian sengketa konsumen dalam Kepmenperindag No.305 Tahun 2001. Penyelesaian sengketa konsumen ini dilakukan oleh Badan Perlindungan Sengketa Konsumen (BPSK) untuk penyelesaian sengketa diluar pengadilan. Namun Kepmenperindag ini belum mengatur mengenai penyelesaian sengketa secara daring.

Bernadette juga menjelaskan lebih lanjut bahwa penyelesaian sengketa konsumen menggunakan hukum formil yang hanya menerapkan ketentuan hukum materiil. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan sangat formalistik, sehingga ketika konsumen melakukan kesalahan menggugat pihak, kekurangan pihak, salah tanggal atau salah pengajuan di Pengadilan Negeri akan menimbulkan kerugian bagi konsumen itu sendiri.

Sejauh ini masih banyak kelemahan dalam penyelesaian sengketa konsumen ini, yaitu penyelesaian sengketa melalui pengadilan yang sangat formalistik, waktu yang lama dan biaya yang tidak murah.

Cara lainnya yang dapat ditempuh oleh konsumen dalam penyelesaian sengketa konsumen adalah dengan cara melakukan gugatan sederhana. Gugatan sederhana merupakan tata cara pemeriksaan di persidangan terhadap gugatan perdata dengan nilai gugatan materiil paling banyak RP 500 juta yang diselesaikan dengan tata cara pembuktian yang sederhana.

Aria Suyudi selaku perwakilan dari Tim Asistensi Pembaruan Peradilan Mahkamah Agung Republik Indonesia, menjelaskan gugatan sederhana ini bisa menjadi pilihan bagi konsumen di era digital saat ini. 

“Ke depannya gugatan sederhana ini memiliki cakupan yang luas, termasuk penyelesaian sengketa konsumen secara digital. Kini gugatan sederhana telah dilengkapi dengan e-court, meski masih perlu adanya peningkatan lanjutan.” katanya.

Penggunaan mekanisme gugatan sederhana ini didukung dengan pengaturan lain di Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Gugatan sederhana masih butuh adanya revitalisasi dan harmonisasi perlindungan konsumen di Indonesia. 

“Ke depannya akan ada pengaduan dan penyelesaian sengketa konsumen yang difasilitasi pemerintah dengan call center, sehingga pengaduan yang masuk akan langsung didistribusikan kepada lembaga yang berwenang,” katanya.

Tags:

Berita Terkait