Strategi Jitu 32 Tahun, Reda Manthovani Raih Puncak Karier di Kejaksaan dan Kampus
Terbaru

Strategi Jitu 32 Tahun, Reda Manthovani Raih Puncak Karier di Kejaksaan dan Kampus

Perencanaan matang dan cekatan mengambil peluang menjadi kunci. Tidak ada yang kebetulan apalagi sekadar untung-untungan.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 7 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Sebuah ruangan besar dipenuhi layar-layar monitor CCTV dan layar besar untuk telekonferensi. Ada set poci yang digunakan untuk penyajian teh di meja tamu. Pemilik ruangan ini memang dikenal gemar menyeruput teh oolong. Di sisi lain ruangan tampak meja kerja dengan sejumlah map dokumen bertebaran di atasnya. “Sebentar ya saya rapikan dulu,” kata Reda saat mempersilakan reporter Hukumonline duduk untuk berbincang dengannya. Sosoknya duduk membelakangi dinding dengan tulisan besar Jaksa Agung Muda Intelijen.

Sudah lama Hukumonline mengenal Reda Manthovani. Ia salah satu dari sedikit jaksa yang meluangkan waktu menjadi kolumnis dalam rubrik Kolom Hukumonline. Sudah beberapa kali pula Reda dan Hukumonline saling berbalas kunjungan ke kantor masing-masing. Namun, ruang kerja Reda kali ini terasa paling berbeda. Bisa dikatakan ruangan ini adalah salah satu simbol dari puncak karier jaksa.

Baca juga:

Berbeda dengan posisi Jaksa Agung sebagai jabatan politis yang ditunjuk Presiden, Jaksa Agung Muda dijabat oleh jaksa yang masih aktif berdinas dengan kualifikasi tertentu. Reda resmi dilantik sebagai Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen (Jamintel) pada 31 Oktober 2023 setelah melewati sejumlah jabatan karier. Ia pernah menjabat Kepala Bidang Kejaksaan di Hongkong, Asisten Umum Jaksa Agung, Kepala Biro Perencanaan Kejaksaan Agung, dan terakhir sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.

Hukumonline.com

Tidak ada darah yuris yang mengalir dari orang tua Reda. Ia mengaku keluarganya dari dunia perbankan. Hobi Reda menonton film di masa remaja yang justru membentuk visi berkarier hukum saat dewasa. “Sejak SMA saya senang menonton film persidangan. Dulu sudah ada edisi awal Law & Order,” kata Reda mengakui sumber inspirasi awal dari kariernya.

Serial drama televisi Law & Order menggambarkan bagaimana sistem peradilan pidana di New York, Amerika Serikat bekerja. Peran jaksa, detektif, dan hakim dikisahkan bahu-membahu memecahkan kasus pidana dalam serial itu.

“Saya pakai konsep the power of mind. Saya visualisasikan, membayangkan akan menjadi aparat penegak hukum yang bersidang, targetnya bisa hakim atau jaksa,” kata Reda mengenang.

Imajinasi masa remaja Reda menjadi visi serius di tahun terakhir SMA ketika ia mantap akan mengejar karier jaksa. “Ternyata jaksa tidak hanya bersidang di pengadilan, tapi bergerak melakukan penyelidikan-penyelidikan, ini lebih menarik dan menantang,” ujar Reda. Ia pun memantapkan tekad untuk menjadi sarjana hukum dan lulus tes masuk kejaksaan.

Kursi Jaksa Agung Muda yang ia duduki kini adalah hasil dari kebulatan visinya sejak lebih dari tiga dekade lalu. Ia mulai menjadi jaksa pada tahun 1994. Tahun 2024 ini tepat 30 tahun Reda Manthovani menjalani kariernya. Jika dihitung sejak tahun 1992 sebagai calon jaksa, sudah 32 tahun Reda menjadi bagian dari korps Adhyaksa.

Hukumonline.com

“Sejak awal saya sudah mau jadi jaksa sebagai tujuan, walaupun saat kuliah pernah belajar jadi lawyer di LBH untuk tahu bagaimana hukum acara dipraktikkan,” ujarnya. Reda mengikuti Karya Latihan Bantuan Hukum (KALABAHU) yang digelar LBH Jakarta sejak tahun 1980. Jaksa Agung Muda Intelijen ini adalah salah satu generasi awal peserta KALABAHU. “Saya mau dapat banyak tambahan ilmu, karena dulu tidak bisa ikut magang praktik di kejaksaan jadi akhirnya ikut KALABAHU di LBH,” kata Reda menambahkan.

Selama empat tahun studi sarjana hukum tekadnya menjadi jaksa tidak goyah sampai kelulusan di tahun 1992. “Saya langsung daftar ke kejaksaan, tidak ada ke tempat lain. Tahun 1994 saya sudah jadi jaksa. Itu sudah tertata,” Reda menambahkan.

Mengasah Unique Selling Proposition

Reda mengaku sebagai aktivis organisasi selama sekolah dan kuliah. Ia terbiasa terlibat dalam kepengurusan OSIS dan Senat. Pengalaman ini diakui Reda ikut membentuk karakter saat memulai karier. “Saya jadi bosan kalau hanya rutinitas masuk dan pulang kerja. Akhirnya saya cari kegiatan lain seperti kursus bahasa Inggris dan bahasa asing lain. Ini membantu saya bisa lanjut kuliah ke Prancis,” kata Reda mengenang.

Jam kerja pegawai negeri sipil di masa awalnya berkarier memberi keuntungan waktu luang untuk pengembangan diri. Saat itu Reda masih menjadi pegawai kejaksaan yang belum diangkat menjadi jaksa pada dua tahun pertama. Ia bertugas di Sukabumi, Jawa Barat. “Saya sempat alami aturan lama jam kerja yang selesai di pukul dua siang. Jadi, selesai jam kerja saya ikut kursus, cari sendiri, pakai biaya sendiri. Bukan cuma satu bahasa asing, ada bahasa Jepang,” ujarnya.

Reda segera melamar beasiswa S-2 ke luar negeri selepas lulus pendidikan jaksa di tahun 1994. “Gagal sampai empat kali. Kali kelima saya diterima di beasiswa Chevening dan BGF—Bourse du Gouvernement Français—, dapat keduanya,” Reda mengungkapkan. Baru di tahun 1999 Reda meraih hasil usahanya mencari beasiswa.

Ia mengambil tawaran BGF dari pemerintah Prancis dan melepas beasiswa Chevening dari pemerintah Inggris. “Kenapa? Saya sudah bisa bahasa Inggris walaupun tidak seperti native speaker. Saya pilih yang mengharuskan belajar bahasa baru, cari tambahan stres baru,” ujarnya sambil tergelak. Reda harus belajar bahasa Prancis selama satu tahun di Jakarta dan setengah tahun di Prancis. Studinya baru dijalani setelah itu selama 1,5 tahun. “Saya senang tantangan,” imbuhnya. Gelar LL.M. dari Aix-Marseille Université berhasil Reda raih.

Berkah lain yang Reda dapat dari memperoleh beasiswa studi luar negeri ini adalah penempatan di Kejaksaan Agung. Sejak tahun 1999 sampai sepulang dari Prancis ia ditugaskan di Biro Hukum dan Hubungan Luar Negeri pada Jaksa Agung Muda Pembinaan. “Jarang alumni luar negeri, jadi saya tidak ditugaskan keluar Kejaksaan Agung. Bagi anak baru, jaksa pemula, pekerjaan saya di Kejaksaan Agung jadi lebih banyak menganggur,” kata Reda tertawa.

Hukumonline.com

Namun, Reda mengaku tekadnya melanjutkan studi ke luar negeri justru bukan untuk mencari jalan cepat bertugas di Kejaksaan Agung sebagai kantor pusat. “Waktu itu saya mau kembangkan diri agar menjadi berbeda secara positif dibandingkan yang lain. Saya sangat menggunakan the power of mind,” ujarnya. Ia tampak fokus menegaskan unique selling proposition sebagai jaksa profesional.

Cara berpikirnya itu tidak lepas dari pengaruh orang-orang di sekelilingnya. “Yang jelas orang tua. Ayah dan Ibu selalu memberikan semangat untuk tidak menyerah,” katanya. Reda menerima didikan untuk pantang mundur untuk menyelesaikan tantangan yang dihadapi.

“Bahkan saya diajarkan jangan berdoa ‘mudahkanlah’ atau ‘lancarkanlah’. Doanya harus ‘kuatkanlah’ atau ‘sukseskanlah’, jadi lebih optimis. Minta kekuatan untuk menghadapi,” kenang Reda.

Reda juga memiliki sejumlah mentor yang menjadi panutan dalam berkarier jaksa. Salah satu yang ia sebut adalah Marwan Effendy, sosok senior yang puncak kariernya menjabat Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan. Selain itu ada nama Basrief Arief yang pernah menjabat Jaksa Agung.

“Ada lagi yang pernah membimbing saya secara langsung saat menjadi atasan yaitu Profesor Burhanuddin. Beliau waktu itu Direktur di Pidana Khusus, saya Kepala Seksi saat itu,” katanya. Bagi Reda, pola kerja tiga mentornya itu berbeda tapi punya visi yang sama untuk kejaksaan. “Saya ambil contoh dari kelebihan masing-masing, yang tidak cocok atau tidak mampu dilakukan ya tidak saya ambil,” imbuhnya.

Menata Pikiran

Reda sangat percaya pada kekuatan pikiran untuk menyelesaikan tantangan hidup. Baginya, semua masalah berasal dari pikiran yang kusut. “Kekuatan dan permasalahan manusia itu ada dalam diri sendiri. Itu semua ada dalam pikiran yang berpengaruh pada kesadaran dan tindakan. Jadi, caranya adalah mengelola pikiran,” ia menjelaskan.

Reda meyakini pikiran yang punya banyak keinginan kerap mendatangkan kekecewaan jika tidak tercapai, apalagi jika sudah menjadi keserakahan. Itu semua akan berkembang menjadi stres. “Kita harus bisa mengendalikan pikiran. Jangan banyak keinginan. Satu keinginan saja tapi targetnya jelas,” ujarnya.

Reda mengaku telah mencobanya sepanjang karier. Ia fokus pada satu keinginan besar untuk berkontribusi memajukan kejaksaan lebih baik. “Saya tidak pernah targetkan posisi tertentu, tapi kontribusi. Terlalu kecil kalau mengejar posisi. Nanti alam semesta yang mengatur,” imbuhnya.

Hukumonline.com

Apa pun jabatan yang diemban tidak menjadi masalah karena targetnya adalah apa yang berhasil dilakukan memajukan kejaksaan. “Dalam peran sekecil apa pun tidak masalah, mulai dari jadi jaksa yang bersidang dengan menjaga integritas tanpa menerima suap,” katanya.

Hal lain yang Reda ungkapkan soal menata pikiran adalah tidak perlu berharap penghargaan. “Tidak boleh begitu. Tujuan kita bukan minta dihargai. Tujuan saya memperbaiki kejaksaan, kalau tidak ada yang hargai tidak masalah. Saya lakukan yang terbaik sesuai target saya,” Reda menegaskan.

Berdasarkan cara berpikir ini, Reda mengaku terbiasa melupakan tantangan berat yang mampir dalam kariernya. “Buat apa memikirkan yang sudah lewat. Kita harus hidup di masa kini. Jangan sedih atau menyesali yang sudah berlalu, tapi jadikan bahan evaluasi. Jangan khawatir dengan masa depan, tapi rencanakan dengan baik,” ujarnya.

Puncak Karier Kedua

Selain berkarier jaksa, Reda adalah seorang dosen tetap dengan Nomor Induk Dosen Nasional yang berhasil pula mencapai puncak karier sebagai Guru Besar. Ia dikukuhkan sebagai Profesor Hukum Pidana pada 25 Januari 2024 oleh almamater kampus tempatnya belajar dan mengajar. Orasi pengukuhannya berjudul Relasi Literasi Digital dengan Pencegahan Tindak Pidana “Hoax” dan Tindak Pidana Ujaran Kebencian (Hate Speech) di Tahun Politik 2024.

Hukumonline.com

“Setelah pulang dari Prancis saya ingin mengajar. Saya mulai diajak kembali ke kampus almamater Universitas Pancasila, sekadar beri motivasi mahasiswa baru sampai membimbing tim lomba peradilan semu. Ternyata juara, akhirnya saya diminta jadi dosen,” imbuhnya. Ia mengenang sudah mulai mengajar sejak tahun 2007 di Fakultas Hukum Universitas Pancasila. Pada tahun 2011 ia menerima jabatan fungsional dosen secara resmi dari kampus tempatnya meraih gelar sarjana itu. Sejak saat itu Reda resmi punya dua karier yang dijalani bersamaan.

Reda tidak punya target untuk menjadi Guru Besar meski pada akhirnya semua persyaratan berhasil dipenuhi. “Saya punya tim resmi dari para junior yang dulu saya bimbing dalam lomba peradilan semu. Mereka tercatat di kampus untuk membantu saya dalam menunaikan tanggung jawab dosen,” katanya. Reda menegaskan bahwa kolaborasi itu perlu. “Reda tidak bisa jadi seperti ini sendirian,” imbuhnya.

Hukumonline.com

Reda mengakui karier dosen ini tidak hanya untuk menyalurkan minatnya berkontribusi pada dunia ilmu pengetahuan. Ada masa saat Reda mengajar di beberapa kampus swasta demi menambah penghasilan halal. “Itu memang sedang cari uang tambahan. Setelah bebannya tambah banyak, saya pilih hanya di Universitas Pancasila saja,” ujar doktor ilmu hukum lulusan Universitas Indonesia ini.

Reda mencatat baru ada tiga jaksa karier yang pernah lulus dari program doktor di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Reda adalah yang pertama. Promotornya adalah Guru Besar Hukum Pidana kenamaan Harkristuti Harkrisnowo.

Sebagai praktisi dan akademisi, Reda berusaha menjaga keseimbangan prestasinya. Apalagi akademisi diharapkan banyak menulis artikel dan makalah ilmiah. “Saya menulis sendiri, kecuali persoalan editorial. Semua ide yang lewat saya catat di buku khusus,” katanya.

Menutup wawancara bersama Hukumonline, Reda berbagi afirmasi positif yang ia ucapkan setiap hari. Tiap pagi ia menyatakan pada diri sendiri akan hidup nyaman, berkah, bahagia, sehat, dan sejahtera. “Setelah jadi Jamintel, ditambahkan afirmasinya ‘serta kuat dan sukses menghadapi segala ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan’,” katanya.

Tags:

Berita Terkait