Stimulus Pemulihan Ekonomi Disebut Salah Sasaran, Ini Respons Menkeu
Berita

Stimulus Pemulihan Ekonomi Disebut Salah Sasaran, Ini Respons Menkeu

Pemerintah menganggap keputusan untuk memberikan stimulus fiskal bagi penanganan Covid-19 dan program PEN telah berjalan secara adil, transparan dan akuntabel.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Kebijakan stimulus ekonomi untuk Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang disiapkan pemerintah untuk pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) tidak akan sampai kepada UMKM, tapi akan mandek (berhenti) di bank. Hal ini disampaikan Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES), Suroto, dalam keterangan persnya.

Menurut Suroto, dana stimulus untuk memperbaiki daya beli masyarakat dan mengakserasi ekonomi akan mandek di bank karena dengan model subsidi dan dana penempatan yang digelontorkan tidak akan terserap karena UMKM dan terutama usaha mikro yang jumlahnya 99,3  persen dari pelaku usaha, itu koneksitasnya terhadap bank rendah. 

Selain itu, dana stimulus yang diskemakan dalam bentuk dana penempatan itu pasti akan dihambat melalui prosedur administrasi bank yang semakin over prudent di tengah Pandemi Covid-19 saat ini. Hingga saat ini, kata Suroto, berdasarkan data Kementerian Keuangan, serapan anggaran stimulus UMKM baru 0,06 persen dari total Rp123,4 triliun. 

Suroto menjelaskan, dari total anggaran sebesar Rp123,4 triliun untuk UMKM, pemerintah membaginya menjadi tujuh program, antara lain subsidi bunga Rp35,2 triliun, penempatan dana restrukturisasi Rp78,7 triliun, belanja IJP Rp5 triliun, penjaminan modal kerja (stop loss) Rp1 triliun, PPh final UMKM Rp2,4 triliun, pembiayaan investasi kepada koperasi melalui LPDB Kemenkop dan UKM Rp1 triliun. 

Menurutnya, saat ini usaha mikro dan kecil hanya butuh dana stimulus modal kerja. “Dari jumlah mereka yang diklaim 60 juta itu kalau ada 20 juta saja yang terverifikasi sebetulnya cukup diberikan modal kerja langsung dengan bantuan pendataan di tingkat kabupaten/kota,” ujarnya. (Baca: Pemanfaatan Fasilitas Perpajakan untuk UMKM Terdampak Covid-19 Belum Maksimal)

Selain skema dana Modal Penyertaan Pemerintah melalui koperasi yang sudah berjalan baik yang jumlahnya kurang lebih-30 an ribu. Regulasinya juga sudah ada, yaitu PP No.33 Tahun 1998 tentang Modal Penyertaan Pada Koperasi. 

“Kemenkop dan UKM serta Pemerintah Daerah baiknya segera mengkonsolidasikan data mereka. Ini adalah momentum yang baik untuk menguatkan kelembagaan ekonomi rakyat. Dalam situasi seperti saat ini harus di-bypass, bank bukan instrumen yang baik dalam soal penyaluran modal kerja untuk mendorong daya ungkit. Dari Rp123,4 trilun tersebut akan lebih baik kalau disalurkan langsung ke rekening pribadi UMKM,” kata Suroto. 

Dia menambahkan dengan asumsi alokasi untuk UMKM Rp 123,4 triliun maka apabila tersalur kepada 20 juta UMK akan dapat Rp6 juta lebih modal kerja untuk UMKM. Menurutnya, ini sudah cukup karena UMKM saat ini memang sangat membutuhkan karena modal mereka sudah habis ketika diberlakukan secara ketat PSBB beberapa waktu lalu. 

Suroto mengingatkan bahwa mental bankir belum pernah terbukti beres ketika menghadapi krisis. “Mereka selama ini justru ciptakan beban baru seperti dalam kasus pengelolaan dana BLBI pada tahun 1997 yang habiskan dana hingga kalau dikurs sekarang sama dengan total APBN kita sebesar Rp2000 triliun,” ujarnya. 

Adil, Transparan dan Akuntabel

Sementara, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan keputusan untuk memberikan stimulus fiskal bagi penanganan Covid-19 dan program PEN telah berjalan secara adil, transparan dan akuntabel.

"Kita tujuannya fokus untuk mengatasi masalah, tidak berniat abuse, maka pada saat policy making process, harus adil, transparan dan akuntabel," kata Sri Mulyani seperti dikutip Antara dalam webinar di Jakarta, Sabtu (27/6).

Sri Mulyani mengakui membuat kebijakan dalam masa sulit seperti ini sangat tidak mudah karena pengambilan keputusan harus disertai dengan kondisi perkembangan yang selalu berubah. Situasi yang mendesak bisa membuat pemerintah memotong prosedur agar kebijakan itu dapat berjalan, meski kemudian berisiko melahirkan temuan dari lembaga audit. Menurut dia, kondisi itu bisa menimbulkan trauma bagi para pembuat keputusan, padahal kebijakan itu dilandasi dengan niat baik untuk mencari solusi yang optimal dalam masa yang sulit.

"Sering sekali niat baik itu justru menimbulkan kekhawatiran dan trauma, ini merupakan dilema dalam mengambil kebijakan di Indonesia," katanya.

Oleh karena itu, pengambilan keputusan itu dilakukan melalui koordinasi dengan penegak hukum termasuk Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) maupun Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). "Ini menjadi kerja keroyokan bersama, agar kita bisa menangani dampak Covid-19 dengan baik, tetap transparan dan akuntabel," ujar Sri Mulyani.

Ia memastikan semua proses perumusan kebijakan harus berjalan terbuka dan terekam dengan baik, belajar dari pengambilan keputusan untuk menyelamatkan Bank Century pada 2008. "Makanya kita record semua, siapa yang hadir, ngomong apa, sejak Century semua ada, monggo saja dilihat, kalau semua data dibuka dan kita memutuskan, BPK tidak akan mencari-cari," katanya. (ANT)

Tags:

Berita Terkait