Status Jurnalis dalam Konflik Bersenjata
Bhatara Ibnu Reza(*)

Status Jurnalis dalam Konflik Bersenjata

Jurnalis RCTI, Ersa Siregar yang disandera oleh GAM sejak 29 Juni 2003, akhirnya tewas dalam sebuah kontak tembak antara pasukan TNI dari kesatuan marinir dengan GAM di Desa Alue Matang Aron, Kecamatan Simpang Ulim, Kabupaten Aceh Timur (29/12/2003).

Bacaan 2 Menit

Pemerintah Indonesia, dalam hal ini TNI dan Departemen Luar Negeri, khusus bagi jurnalis asing harus memberikan tanda pengenal bagi para jurnalis yang meliput operasi militer. Tanda pengenal itu bukan berupa seragam loreng, tetapi berbentuk surat atau kartu yang menjelaskan bahwa mereka adalah jurnalis yang berstatus sipil serta dilindungi oleh Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan II Konvensi Jenewa 1949 (1977). Selain itu, isi surat atau kartu tersebut  menyatakan surat atau kartu harus dibawa kemanapun jurnalis itu pergi selama meliput di daerah konflik bersenjata. Bila dirinya ditangkap, kartu itu dapat diserahkan/ditunjukan kepada otoritas atau komandan pihak penahan guna diperlakukan sebagai tawanan perang.

Protokol Tambahan II berlaku pula dalam konflik bersenjata di Aceh. Menurut Hans Pieter Gasser dalam artikelnya berjudul The Protection of Journalist engaged in Dangerous Profesionnal Missions , yang dimuat di jurnal International Review of the Red Cross tahun 1983 menyatakan, jurnalis menikmati dan mendapatkan perlindungan penuh (full protection) baik konflik internasional maupun non internasional. Ditambahkannya, para jurnalis diberikan perlindungan yang sama  dengan rakyat yang tidak turut serta dalam permusuhan atau rakyat sipil.

Jurnalis yang tidak terdaftar masih dimungkinkan untuk dapat meminta status tawanan perang dimana Konvensi Jenewa 1949 memberikan perlindungan terhadap orang tersebut hingga statusnya diputuskan oleh suatu pengadilan yang berwenang. Sedangkan jurnalis yang nyata-nyata turut serta secara aktif dalam permusuhan bila tertangkap atau ditahan, tidak mendapatkan status sebagai tawanan perang. Sekali lagi perlu ditekankan bahwa jurnalis adalah orang sipil yang dilarang untuk turut aktif dalam permusuhan.

Bila jurnalis statusnya menjadi tawanan perang, maka ia  harus mendapatkan perlakuan yang manusiawi oleh pihak yang menahan. Para tawanan tersebut juga harus diperbolehkan dikunjungi oleh wakil Palang Merah Internasional atau International Committee of the Red Cross (ICRC) dan mereka juga diperbolehkan untuk mengadakan kontak dengan keluarganya.

ICRC sejak tahun 1985 telah membuka layanan hotline service dimana dalam layanan ini ICRC dapat dihubungi oleh para redaktur tempat sang jurnalis bekerja atau organisasi profesi dimana sang jurnalis itu menjadi anggota. ICRC juga berperan dalam melacak jurnalis yang hilang; mencatat segala sesuatu tentang jurnalis yang ditangkap atau ditahan; menyampaikan informasi yang telah diperoleh kepada keluarga jurnalis; organisasi profesinya serta perusahaan tempat dia bekerja dan terakhir adalah meneruskan surat-surat sang jurnalis tersebut kepada keluarganya begitupun sebaliknya.

Penghormatan Terhadap Profesi Jurnalis

Apa yang dilakukan GAM terhadap Ersa Siregar dkk jelas-jelas melanggar hukum humaniter. Alih-alih memberikan perlindungan kepada mereka, malah justeru GAM melakukan penyanderaan. Sedangkan TNI seringkali menyatakan operasi militer mereka lakukan tidak hanya bertujuan untuk membebaskan Ersa Siregar dkk an sich namun juga membebaskan sandera warga sipil yang berjumlah ratusan dari GAM.

Namun bila dibandingkan dengan pembebasan William Nessen, jurnalis freelance asal Amerika Serikat (AS) yang beberapa waktu berada bersama GAM, proses pembebasannya sangat ekslusif dan mulus. Sesaat keluar dari markas GAM, Nessen langsung dijemput oleh para petinggi TNI seperti Kapuspen TNI Mayjen. Sjafrie Sjamsoeddin, Pangkoops TNI (saat itu) Brigjen. Bambang Darmono dan Atase Pertahanan Kedubes AS, Kol. Joseph Judge III.

Jurnalis yang meliput konflik bersenjata adalah pekerjaan dengan risiko tinggi yang setiap orang telah memahaminya, termasuk Ersa Siregar. Namun, risiko bukan menjadi faktor utama ketika jurnalis dihalang-halangi, diintimidasi serta menjadi target dari operasi militer oleh para pihak yang bertikai. Mereka yang terlibat konflik tidak dapat melepaskan diri dari tanggungjawabnya untuk memberikan perlindungan (protection) serta memberikan penghormatan (pay their respect) terhadap profesi jurnalis selama meliput konflik. Pelanggaran terhadap hukum humaniter dan hukum kebiasaan internasional justeru tidak menguntungkan posisi masing-masing pihak yang bertikai.

Satu hal yang terpenting, pemegang otoritas angkatan perang tidak sepantasnya menjadikan jurnalis sebagai bagian dari dirinya yang aktif dalam permusuhan namun mereka harus memberikan perlindungan berupa pemberian akreditasi. Dengan akreditasi inilah para jurnalis akan merasa percaya diri dalam menjalankan profesinya mereka mendapatkan perlindungan dan penghormatan dari kedua belah pihak yang berkonflik.

Kemudian, pemerintah harus sesegara mungkin meratifikasi Protokol Tambahan I dan II Konvensi Jenewa 1949 (1977), serta Statuta Roma 1998 tentang Mahkamah Pidana Internasional. Hal ini penting karena hukum adalah bagian dari peradaban, kemajuan hukum menandakan  kemajuan dan tingginya peradaban suatu bangsa.

Tags: