Status Beneficial Owner dan Sanggahan Pengacara Novanto
Berita

Status Beneficial Owner dan Sanggahan Pengacara Novanto

Novanto disebut sebagai penerima manfaat (beneficial owner) dari uang yang dikirimkan konsorsium yang dikelola Made Oka di Singapura.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Terdakwa Setya Novanto saat mengikuti persidangan kasus korupsi e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta. Foto RES
Terdakwa Setya Novanto saat mengikuti persidangan kasus korupsi e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta. Foto RES

Penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) "menyematkan" status Beneficial Ownership kepada Setya Novanto sebagaimana tertuang dalam surat tuntutannya. Dalam surat tuntutannya itu, Jaksa menganggap mantan Ketua DPR RI sebagai pemilik manfaat dari uang senilai US$3,5 juta dari US$7,3 juta yang diduga diterimanya dari anggota konsorsium proyek e-KTP.

 

Menurut penuntut umum, penerimaan uang oleh Novanto menggunakan metode yang tidak lazim dalam suatu transaksi keuangan. Modusnya, terjadi pemanfaatan secara melawan hukum transaksi bisnis sah dari perusahaan-perusahaan di Indonesia dengan rekanan bisnis di luar negeri yang dilakukan oleh Novanto melalui Irvanto Hendra Pambudi untuk memasukkan uang fee yang berasal dari Johanes Marliem.

 

"Secara hukum pengertian mendapatkan keuntungan (manfaat) atau menerima sesuatu dalam konteks suatu perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih tidaklah harus semua pelaku menerima secara fisik suatu barang atau uang. Namun, cukup ditandai dengan peralihan hak atau penguasaan sesuatu dari pemberi kepada salah satu penerima hak atau penguasaan secara yuridis," kata Jaksa Irene Putri dalam tuntutannya yang dibacakan beberapa waktu lalu. Baca Juga: Dituntut 16 Tahun, Setnov Juga Dicabut Hak Politiknya

 

Penerimaan sesuatu kebendaan secara yuridis biasanya dilakukan dalam bentuk kegiatan yang bersifat transaksional melalui penyedia jasa keuangan ataupun penyedia jasa yang lain. Peralihan hak tersebut dapat pula dilakukan secara tidak langsung, yakni mendapatkan suatu keuntungan atau menerima sesuatu secara tidak langsung oleh penerima dari pemberi. Atau dengan kata lain penerimaan dilakukan melalui perantara atau pihak ketiga.

 

Penerimaan secara tidak langsung bisa dilakukan secara fisik atapun secara yuridis dan sejalan dengan perkembangan transaksi dalam organisasi ataupun korporasi. "Berdasarkan uraian tersebut, menurut Jaksa, dapat disimpulkan bahwa uang yang ditransfer oleh Johannes Marliem kepada Made Oka Masagung dan Irvanto merupakan uang untuk dan atas perintah Terdakwa (Setya Novanto), sehingga pemilik sebenarnya (beneficial owner) atas uang-uang tersebut adalah Terdakwa," terang Jaksa Irene.

 

Jadi, ketika uang tersebut telah diterima oleh Made Oka dan Irvanto, Jaksa berpendapat sudah seharusnya dianggap uang tersebut telah diterima oleh Novanto dengan mekanisme penerimaan tidak langsung. Sebab, dikirimnya uang itu merupakan perintah Novanto. Dengan kata lain, atas transaksi tersebut, ia bertindak sebagai beneficial owner, sedangkan Irvanto Hendra dan Made Oka adalah kepanjangan tangan Novanto (on behalf).

 

Uang hasil kejahatan

Jaksa KPK lain, Abdul Basir menjelaskan jika dilihat dari pola transaksi yang dilakukan Made Oka, berdasarkan bukti rekening koran OEM Investment pada Bank OCBC Singapura No. 501029938301 dan rekening koran Delta Energy PTE LTD No. 0003007277016022 menunjukkan pola transaksi yang langsung menarik uangnya secara tunai dalam waktu kurang dari 2-3 hari setelah uang diterima dalam rekening.

 

Adapun mengenai underlying transaksi yang dipergunakan oleh Anang S. Sudiharjo dan Made Oka yang seolah-olah dilakukan jual beli saham Neuraltus Phramaceutical, menurut Penuntut Umum hal itu hanyalah upaya untuk menyamarkan asal usul dan penggunaan uang belaka.

 

"Hal tersebut dapat dibuktikan dari rekening koran Delta Energy PTE LTD, yang menunjukkan bahwa tidak ada satu rupiah pun uang yang ditransfer ke Made Oka dipergunakan benar-benar untuk pembelian saham tersebut," ujar Jaksa Basir.

 

Justru menurut Basir, sebagian uang tersebut diberikan kepada Irvanto dengan meminjam rekening milik Ikhsan Muda di Bank DBS Nomor Rekening 017-4-090023 sekitar Sin$383 ribu yang ditarik secara tunai, kemudian dibawa secara tunai dari Singapura ke Jakarta dan diserahkan ke Irvanto di rumahnya.

 

"Bahkan pada awal 2014, ketika KPK tengah melakukan penyelidikan perkara korupsi e-KTP, Made Oka mengembalikan uang tersebut kepada Anang S. Sudiharjo dari sumber yang berbeda. Berdasarkan pola penarikan dan pemberian uang tersebut menurut Penuntut Umum identik dengan pola ‘Hawala’ dalam tindak pidana pencucian uang," jelas Jaksa Basir.

 

Fakta ini juga memperkuat bahwa uang yang diterima oleh Made Oka adalah uang hasil kejahatan. Penuntut umum berpendapat transaksi semacam itu pada dasarnya hanya bertujuan untuk memisahkan atau menjauhkan para pelakunya dari kejahatan, sehingga diharapkan kejahatan yang telah dilakukannya tidak dapat teridentifikasi.

 

Sanggahan pengacara Novanto

Kuasa hukum Novanto Maqdir Ismail membantah jika kliennya merupakan pemilik manfaat dari sejumlah uang yang dikelola oleh Made Oka. Menurut Maqdir, dalam persidangan tidak pernah jelas uang yang dikirim dan diterima Oka memang benar-benar ada atau hanya argumentasi penuntut umum saja.

 

"Selama persidangan Pak Oka, tidak ingat mengenai uang itu. Tidak ingat kapan diambil dan tidak ingat diserahkan kepada siapa?” kata Maqdir kepada Hukumonline.

 

Dalam keterangannya saat menjadi saksi, Ikhsan Muda Harahap mengaku mendapat kiriman uang dari rekening Oka Masagung senilai US$315 ribu yang diserahkan kepada Irvanto yang tak lain adalah keponakan dari Novanto. Tetapi Irvanto dalam sidang membantah hal tersebut.

 

Terlepas dari kasus ini, lalu apa pandangannya mengenai aturan Beneficial Owner yang tertuang dalam Perpres Nomor 13 Tahun 2018? "Pengaturan seperti ini harus masuk ke UU Perseroan Terbatas (PT). Seharusnya hal penting itu diatur dalam UU, pelaksanaannya di atur dalam PP dan seterusnya," kata Maqdir.

 

Menurutnya, jika memang aturan Beneficial Owner dituangkan dalam undang-undang terbilang sulit, maka Presiden bisa saja menuangkannya dalam Perppu. "Janganlah ketentuan penting itu dimudahkan dengan cara menyusunnya dalam Perpres. Kekuatan mengikatnya akan jadi persoalan. Orang hanya bisa dihukum dengan UU, tidak dengan Perpres," kritiknya. 

Tags:

Berita Terkait