Srikandi-Srikandi di Kursi Agung
Edsus Akhir Tahun 2010:

Srikandi-Srikandi di Kursi Agung

Sepanjang sejarah Mahkamah Agung, tercatat tidak kurang dari 28 orang hakim agung perempuan. Amerika Serikat baru memiliki hakim agung perempuan ratusan pada tahun 1981. Ada tren kenaikan jumlah hakim dan karyawan perempuan di pengadilan Indonesia.

Mys
Bacaan 2 Menit

 

Hakim agung perempuan berikutnya baru diangkat pada 1981. Tidak tanggung-tanggung, Mahkamah Agung mendapatkan tujuh srikandi baru yaitu Hj. Martina Notowidagdo, Hj. Poerbowati Djokosoedomo, Siti Rosma Achmad, Djoewarini, Dora Sasongko Kartono, Karlinah Palmini Achmad Soebroto, Siti Tanadjoel Tarki Soedardjono. Hakim agung Poerbowati digambarkan Pompe sebagai hakim yang selalu menutup pintu ruangannya buat tamu karena khawatir sang tamu memberikan hadiah yang mempengaruhi tanggung jawabnya sebagai hakim. Ia tak kenal kompromi ketika menjalankan tugas mengawasi hakim-hakim di Jakarta.  

 

Hakim agung Hj Martina Notowidadgo adalah seorang penyayang binatang. Ia pernah menulis surat pembaca di majalah Tempo memprotes Pondok Pengayom Satwa atas kematian empat ekor kucing yang dititipkan. “Sebagai makhluk hidup, kucing juga berhak merasakan kehidupan yang layak seperti manusia,” tulisnya dalam surat pembaca itu.

 

Selanjutnya, kita mengenal nama-nama hakim agung perempuan yang meneruskan kiprah Sri Widoyati. Antara lain Retnowulan Sutantio, T.S. Aslamiah Sulaiman, H.L. Rukmini, Hj. Mursiah Bustaman, A.A. Ayu Mirah, Asma Samik Ibrahim, dan Mariana Sutadi.

 

Komposisi hakim agung perempuan juga mewakili potret keanekaragaman bangsa Indonesia. Dora Sasongko dan Retnowulan adalah dua hakim agung yang punya trah keturunan Tionghoa. Ayu Mirah adalah perempuan keturunan Bali, sedangkan Mariana Sutadi berlatar belakang Mandailing dan bersuamikan orang Sunda. Mereka masuk ke Mahkamah Agung bukan karena latar belakang etnografis itu, melainkan karena dianggap layak dan capable saat itu.

 

Setelah reformasi bergulir, kursi hakim agung juga diisi sejumlah perempuan, baik yang berasal dari jalur karir maupun non karir. Dari jalur karir tercatat nama Hj. Emin Aminah Achadiat, Hj. Marnis Kahar, Supraptini Sutarto, Chairani A. Wani, Edith Dumasi Tobing Nababan, Titi Nurmala Siagian, Susanti Adi Nugroho, dan –pembina upacara Hari Ibu 2010 tadi—Marina Sidabutar. Dari kalangan perguruan tinggi ada nama Guru Besar Universitas Indonesia Valerine J.L. Kriekhoff, Guru Besar Universitas Padjadjaran Bandung Mieke Komar Kantaatmadja dan Komariah Emong Sapardjaja, serta Guru Besar Universitas Sumatera Utara Medan Hj. Rehngena Purba. Mereka diangkat dalam rentang waktu seleksi tahun 2000 hingga 2007. Hakim agung perempuan terakhir yang masuk adalah Sri Murwahyuni.

 

Di belakang para hakim agung itu, kini muncul generasi hakim banding dan hakim tingkat pertama. Laporan Mahkamah Agung 2009 mencatat jumlah hakim di seluruh Indonesia dari empat lingkungan peradilan mencapai 7.390 orang. Yang paling banyak bertugas di peradilan umum (2.749 orang). Jumlah hakim perempuan di lingkungan ini mencapai 842 orang (25,6 %). Menyusul Pengadilan Agama, dari 2.733 hakim sebanyak 683 (20 %) diantaranya adalah perempuan. Tetapi dari sisi prosentase, yang paling besar (26 %) adalah di Pengadilan Tata Usaha Negara. Dari 210 hakim, 75 orang adalah perempuan. Di Pengadilan Militer, terdapat 15  hakim perempuan dari 82 total hakim.

 

Para hakim agung perempuan telah menorehkan catatan sejarah mereka selama bertugas di Mahkamah Agung. Mariana Sutadi adalah perempuan hakim agung yang pernah menduduki jabatan tertinggi. Sebelum pensiun dan ditugaskan sebagai Duta Besar Indonesia untuk Rumania, Mariana menduduki jabatan Wakil Ketua Mahkamah Agung. Sejarah juga mencatat dua hakim agung –Marnis Kahar dan Supraptini Sutarto—pernah diadili di PN Jakarta Pusat untuk suatu pekara yang akhirnya tak terbukti. Sejarah dan dinamika kerja para hakim agung itu, tak mengurangi nilai perjuangan mereka ke generasi-generasi berikutnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags: