Sri Soemantri:
‘Saya Dulu Diejek Ketika Mengambil Program HTN’
Profil

Sri Soemantri:
‘Saya Dulu Diejek Ketika Mengambil Program HTN’

Sri Soemantri adalah salah seorang yang aktif menyuarakan desakralisasi dan perubahan konstitusi jauh sebelum amandemen UUD 1945 dilakukan.

Ali/IHW
Bacaan 2 Menit

Sumber: www.tokohindonesia.com

 

Diledek

Meski sangat berpengalaman di dunia akademis dan lembaga negara, siapa sangka Sri justru sempat dicibir teman-temannya ketika mengambil program HTN sebagai spesialisasinya. “Ngapain elu ambil Hukum Tata Negara di negara yang nggak ada tata-nya begini?” ujar Sri meniru ledekan teman-temannya.

 

Namun, ledekan itu tak menyurutkan langkah Sri. Ia tetap memilih karir di jalur hukum tata negara. Ia berkeyakinan, sarjana hukum yang menguasai bidang hukum tata negara akan tetap bisa mengaktualisasikan diri. “Karena tiap negara punya hukum tata negaranya masing-masing.”

 

Pernyataan Sri bukan isapan jempol. Selepas bertugas di Konstituante, ia diajak Utrecht –mantan anggota Konstituante berdarah Belanda-Ambon- menjadi asisten dosen di Universitas Padjadjaran. “Waktu itu saya baru sarjana muda, belum lulus sarjana. Tapi sudah berkeluarga. Akhirnya status kepegawaian saya diproses dan saya dibantu untuk mendapatkan gaji yang layak. Setelah itu saya menjadi asisten Pak Usep Ranawidjaja.”

 

Ketika sudah mengajar di Unpad, kebimbangan sempat menghinggapi Sri. Tak bisa dipungkiri, urusan kesejahteraan saat itu hampir menggoyahkan tekad Sri sebagai seorang akademisi. “Akhirnya saya minta tolong tiga hal ke Unpad. Pertama, dsediakan rumah. Kedua diberi kesempatan mencari penghasilan tambahan. Ketiga, kalau ada kesempatan saya minta dikirimkan tugas belajar keluar negeri. Eh, dikabulkan semua permintaan itu. Nah rumah yang ditempati ini adalah bekas rumah pak Mochtar Kusumaatmadja.”  

 

Sri masih ingat betul bagaimana mulanya ia menyukai hukum tata negara. Semua berawal ketika Sri mengikuti mata kuliah ilmu negara. Kala itu ia menghadapi ujian secara lisan. Dari sekian mahasiswa, hanya Sri yang bisa menjawab pertanyaan. Keberhasilan Sri menjawab pertanyaan disambut ekspresi kegembiraan sang dosen. “Sejak itu saya suka ilmu negara dan HTN. Tapi saya lupa waktu itu pertanyaannya tentang apa,” tutur Sri sambil terkekeh.

 

Jurusan -atau kini dikenal dengan Program Kekhususan- Hukum Tata Negara di hampir semua fakultas hukum memang jarang peminat. Berbeda dengan jurusan lain semisal hukum ekonomi, hukum internasional, atau hukum pidana. “Dari dulu seperti itu. Program HTN di tingkat S-1 (sarjana) sangat sedikit peminatnya,” kata Sri.

 

“Tapi anehnya di tingkat Pascasarjana, baik S-2 maupun S-3, peminatnya banyak sekali,” ujarnya. Di pascasarjana inilah, Sri mengenalkan sebuah mata kuliah Teori dan Hukum Konstitusi. “Ini dipakai di seluruh Indonesia.”

Halaman Selanjutnya:
Tags: