Sosok Adnan Buyung Nasution di Mata Mantan Klien
Berita

Sosok Adnan Buyung Nasution di Mata Mantan Klien

Dikenal tegas, berani dan konsisten dengan apa yang diyakini sejak awal. Sosok Buyung tersebut menjadi inspirasi bagi mantan kliennya untuk mengikuti profesi sebagai advokat.

CR19
Bacaan 2 Menit
Adnan Buyung Nasution. Foto: Sgp
Adnan Buyung Nasution. Foto: Sgp

Kabar duka menyelimuti dunia advokat Indonesia. Salah satu advokat senior, Adnan Buyung Nasution (Bang Buyung) berpulang untuk menghadap Sang Khalik selama-lamanya. Buyung lahir 81 tahun silam tepatnya pada 20 Juli 1934 di Jakarta. Sebagai advokat, sudah banyak berderet kasus yang pernah ditanganinya.

Salah satunya saat membela dua jurnalis melawan rezim otoritarian orde baru. Bagi mantan klien Buyung, Eko Maryadi, pendiri Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) itu merupakan advokat yang berani, tegas dan konsisten dengan apa yang diyakininya.

“Pertama, saya mengucapkan bela sungkawa yang dalam atas meninggalnya Bang Buyung. Dia ini satu dari sedikit pengacara yang punya keberanian untuk bersuara berbeda pada zaman ketika represif itu masih menjadi kelaziman,” kata mantan Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) ini saat dihubungi hukumonline, Rabu (23/9).

Saat itu, Eko bersama dengan rekan jurnalis lainnya dituduh melakukan  penyebaran kebencian dan permusuhan terhadap pemerintah lewat media yang dia terbitkan yang bernama Majalah Independen. Kasus itu berawal dari pembredelan Majalah Tempo, Majalah Editor, dan Tabloid Detik oleh pemerintah orde baru.

Akibat pembredelan tersebut, Eko memutuskan untuk mendirikan Majalah Independen meski belum kantongi Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP). Lantaran tak mengantongi SIUP akhirnya Eko dan rekannya yang bernama Ahmad Taufik dituduh melakukan dua tindak pidana sekaligus.

Keduanya adalah tuduhan menyebarkan perasaan kebencian dan permusuhan terhadap pemerintah dan tuduhan menerbitkan media tanpa adanya SIUP. Melihat kondisi itu, akhirnya, Buyung dan 12 advokat lainnya melakukan pembelaan kepada Eko di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Eko menuturkan, saat itu Buyung melakukan pembelaan dengan gratis alias probono. Saat menangani kasus, totalitas Buyung sebagai advokat profesional kala itu sangat terasa. Menurutnya, Buyung menguasai betul perkara yang ditanganinya, sehingga argumen-argumen yang dikeluarkan dalam persidangan begitu progresif.

Selain itu, performance Buyung saat di persidangan juga begitu dahsyat, terutama mengenai logika berpikir dan konsistensinya dalam mengeluarkan argumen. “Itu untuk men-challenge pasal-pasal pidana ketertiban umum di Pasal 154 KUHP. Jadi dia bisa ‘memblejeti’ pasal 154 KUHP itu sebetulnya untuk apa,” kenang Eko yang juga Direktur South East Asian Press Alliace (SEAPA) ini.

Tak hanya itu, sosok Buyung bagi Eko juga berbeda dari advokat-advokat lainnya. Menurutnya, Buyung punya karakter yang bisa dijadikan benchmark bagi advokat lainnya, terutama advokat muda. “Dia ngerti betul struktur logika dan filosofi hukum Belanda sehingga dia bisa menyampaikan itu di pengadilan dan menjadi benchmarck-nya dia. Kalau lawyer sekarang kan semua standar aja, sama,” imbuhnya.

Hal serupa juga diutarakan Ahmad Taufik. Rekan Eko dalam kasus yang sama ini bahkan menilai Buyung sebagai sosok yang inspiratif. Kegigihan Buyung bersama 12 advokat lain, termasuk Wakil Ketua KPK nonaktif Bambang Widjojanto, saat membela dirinya sangat komprehensif.

Lantaran sosok Buyung tersebut, akhirnya menularkan Taufik untuk ikut terjun menjadi seorang advokat. “Dia sosok yang menginspirasi saya, selain saya jadi jurnalis terus inspirasi saya untuk jadi pengacara karena melihat sosok dia,” ujar Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Universalia itu.

Walau pada akhirnya Taufik dan Eko mendekam di bui, hubungan dengan Buyung seusai persidangan tetap terjaga. Ia kerap menghubungi Buyung melalui sambungan telpon. Taufik mengatakan, dalam kasus ini, dirinya dipenjara kurang lebih selama 2 tahun 7 bulan di lima Lembaga Pemasyarakatan (LP) berbeda-beda. Antara lain Polda Metro Jaya, LP Salemba, LP Cipinang, LP Cirebon, dan LP Kuningan.

“Saya dituntut jaksa empat tahun, putusannya 2 tahun 8 bulan. Banding, naik jadi 3 tahun, di MA (Mahkamah Agung) itu juga naik. Menjalani hukuman 2 tahun 7 bulan di lima penjara,” ujar lulusan Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung (Unisba) itu.

Namun, hubungan Taufik dengan Buyung harus berjarak. Alasan Taufik, karena sejak era reformasi Buyung diketahui menjabat posisi penting di pemerintahan, salah satunya sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Jika tidak menjaga jarak, lanjut Taufik, maka sulit baginya sebagai seorang Jurnalis untuk melakukan kritik kepada Buyung.

“Kalau langsung enggak ya. Jadi saya dan teman-teman AJI, secara sadar kita ambil jarak. Kepada orang-orang yang dulu menolong kita dan kemudian masuk ke pusat kekuasaan, kita mengambil jarak. Supaya kalau ada hal yang perlu dikritik, kita nggak ragu-ragu. Kita nggak sungkan karena sebagai media kita harus berani mengkritik,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait