Media kerap tidak dapat menolak iklan rokok karena iklan rokok termasuk gemuk. Produsen rokok tidak pelit beriklanan karena diperkirakan belanja rokok di Indonesia saja per tahun mencapai Rp100 triliun. Karena itu, media berharap aturan yang ada tidak diterapkan secara kaku.
Di sisi lain, orang media tidak habis pikir mengapa somasi juga ditujukan kepada pemimpin redaksi. Apa jika ada penyimpangan iklan rokok, pemimpin redaksi bisa mendekam di penjara selama lima tahun atau kena denda Rp5 miliar sesuai dengan Pasal 62 Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK). Namun Tulus meluruskan, selain pemimpin Redaksi, bisa saja pemimpin umum atau bagian iklan yang bertanggung jawab.
Jalan TAGNPMM untuk menyeret para pelaku usaha yang melanggar aturan memang berliku karena masih banyak celah hukum dari Undang-Undang yang ada. Somasi Tim Advokasi bisa dianggap sebagai angin lalu atau sekadar gertak sambal. Syukur, jika para pelaku bisa menyadari ketentuan yang ada, sehingga tidak sampai ada "perang". Ini baru kompromi.