Somasi Ketiga, Moeldoko Masih Beri Kesempatan ICW Buktikan Tuduhannya
Utama

Somasi Ketiga, Moeldoko Masih Beri Kesempatan ICW Buktikan Tuduhannya

Somasi ketiga Moeldoko merupakan yang terakhir kepada ICW dan Egi. Bila ICW dan Egi tidak bisa membuktikan dan minta maaf dalam waktu 5 x 24 jam, langkah hukum akan ditempuh sebagai upaya terakhir.

Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit
Kuasa Hukum Moeldoko, Otto Hasibuan terkait tudingan bisnis Ivermectin dan beras oleh ICW. Foto: RES
Kuasa Hukum Moeldoko, Otto Hasibuan terkait tudingan bisnis Ivermectin dan beras oleh ICW. Foto: RES

Kepala Kantor Staf Kepresidenan Moeldoko masih memberikan kesempatan kepada Indonesia Corruption Watch (ICW) dan penelitinya, Egi Primayogha agar mencabut pernyataan tudingan yang dinilai mengandung unsur pencemaran nama baik. Termasuk meminta maaf di media massa terkait tudingan dugaan Moeldoko berburu rente tentang bisnis ivermectin yang diklaim sebagai obat Covid-19 dan bisnis beras.

“Kalau orang bersalah siapa tahu mau berubah. Kami beri kesempatan sekali lagi, kesempatan terakhir kepada Saudara Egi. Surat teguran ketiga dan terakhir,” ujar kuasa hukum Moeldoko, Otto Hasibuan dalam konferensi pers secara daring, Jumat (20/8/2021) kemarin.

Otto mengakui sejak somasi kedua dilayangkan, secara organisasi atas nama koordinator ICW Adnan Topan Husodo telah melayangkan jawaban tertulis. Namun, Egi selaku peneliti ICW tak juga memberikan jawaban dan bukti atas tudingannya. Dalam surat balasan ICW, Adnan Topan kapasitasnya sebagai koordinator ICW, bukan sebagai kuasa Egi. Padahal dalam siaran pers pada laman website ICW tertera nama Egi dan Miftachul Choir sebagai pembuat.

“Kalau ini masuk delik hukum, ini masuk perbuatan pidana yang tidak bisa dipindahkan ke orang lain. Jadi yang balas surat (somasi, red) ini koordinator ICW, bukan Egi,” kata Otto. (Baca Juga: Somasi Kedua Moeldoko, Riset ICW Kontrol Penyelenggaraan Pemerintahan)

Moeldoko dan kuasa hukumnya sepertinya fokus mencecar Egi secara personal ketimbang ICW secara kelembagaan. Otto beralasan Egi dan Miftachul Choir selaku penulis siaran pers dan ICW organisasinya. Bagi Otto, siapa yang berbuat, dia pula yang harus bertanggung jawab. Dalam hukum pidana, tanggung jawab pidana tak dapat dipindahkan ke pihak lain. Oleh sebab itu, adanya dugaan kabar bohong dan tidak benar disampaikan melalui media elektronik oleh Egi.

Meski begitu, Moeldoko tetap mengedepankan upaya di luar proses hukum. Moeldoko ingin menunjukan ke masyarakat bahwa tak sembarangan ingin melaporkan ke pihak kepolisian. Dia berharap betul Egi dapat menunjukan bukti-bukti atas tudingannya kepada kliennya. Tapi sayangnya dua kali somasi dilayangkan, Egi tak juga menunjukan iktikad baiknya dengan menunjukan bukti-bukti tersebut.

Sementara dari Adnan Topan Husodo ada dua jawaban yang dilayangkan kepada kuasa hukum Moeldoko. Pertama, kata Otto, kesimpulan ICW berdasarkan hasil penelitian sebelum diungkap ke media dinilainya prematur dan keliru tanpa metodologi karena tidak disertai data primer dan sekunder. Sejumlah narasumber dalam penelitian lazimnya diwawancarai agar memuat informasi yang utuh dan kredibel.

“Ternyata menurut saya ini bukan penelitian. Karena ICW hanya membuat analisa-analisa dengan menggabungkan cerita-cerita yang ada di media,” kata Otto.

Kedua, soal beras. Memang terdapat kerja sama antara PT Noorpay dengan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) dalam program training pelatihan ke Thailand. Namun bukan dalam rangka impor beras. Sementara dalam siaran pers ICW yang ditulis Egi dan Miftachul Choir kerja sama kedua pihak itu dalam rangka impor beras. “Fakta sesunggguhnya tidak ada impor beras dan ini fitnah,” tegasnya.

Dalam jawaban ICW itu diakui ada misinformasi. Tapi, tak dijelaskan bagian mana yang misinformasi. Menurut Otto, ICW, Egi, dan Miftachul Choir telah melakukan kesalahan melontarkan informasi ke media. Karena itu, permintaan Moeldoko hanya mencabut pernyataan dan meminta maaf. Sebab akibat perbuatan itu telah mencemarkan nama baik Moeldoko. “Menurut kami ini membuktikan mereka terbukti benar-benar melakukan fitnah dan pencemaran nama baik ke klien kami.”

Tim Kuasa Hukum Moeldoko berkesimpulan menemukan adanya unsur mens rea (niat jahat) yakni adanya niat melakukan pencemaran nama baik. Apalagi terbukti ICW mengakui adanya misinformasi, tapi tidak mengaku salah dan tak mau mencabut pernyataan dan minta maaf. Setelah berkomunikasi, Moeldoko akhirnya memberikan somasi ketiga sebagai kesempatan terakhir dalam waktu 5X24 jam.

Lapor ke polisi

Dia melanjutkan Egi dan ICW diharapkan dapat menggunakan kesempatan 5 hari ke depan sejak somasi dilayangkan dan diterima. Baginya, 5 hari waktu yang cukup untuk membuktikan berbagai tudingannya itu. Namun, bila tak juga merespons atau memberi jawaban yang tidak dapat dibuktikan, upaya hukum bakal ditempuh sebagai ultimum remedium. “Apabila tidak mau mencabut saya nyatakan tegas, Moeldoko, kami kuasa hukumnya akan melaporkan ke kepolisian. Jadi perkara ini tidak akan berhenti, kita ini negara hukum,” tegasnya.

Ketua Umum DPN Peradi itu menegaskan Pasal 27 dan/atau Pasal 45 UU No.19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ( UU ITE). Alasannya, selain siaran tertulis disampaikan melalui laman websitenya, juga melakukan diskusi secara virtual.

Lebih lanjut Otto mengatakan tiga kali somasi merupakan waktu cukup untuk membuktikan tudingannya. Menurutnya, tak bisa segala hal berlindung dengan alasan demokrasi meski pengawasan kepada pemerintah hak setiap warga negara. Sebab, bagaimanapun mencemarkan nama baik seseorang tidak dapat dibenarkan di negara hukum yang seharusnya hukum sebagai panglima.

“Kita tidak permasalahkan kerugian materil, tapi lebih kerugian moril pencemaran nama baik harus dipulihkan,” katanya.

Sebelumnya, pada 29 Juli 2021, Otto Hasibuan telah melayangkan somasi terbuka terhadap ICW maupun kepada peneliti ICW Egi Primayogha. Dalam somasi pertama itu, Otto menyebut bila ICW tidak dapat membuktikan bahwa Moeldoko terlibat dalam peredaran Ivermectin, kliennya meminta ICW mencabut pernyataannya dan meminta maaf kepada Moeldoko secara terbuka melalui media cetak dan media elektronik. Jika tidak bersedia meminta maaf secara terbuka, akan melapor kepada yang berwajib.

Otto menyebut kliennya memberi kesempatan bagi ICW untuk memberikan bukti-bukti. Pertama, mengenai kapan, di mana, berapa keuntungan, dan siapa yang memberikan keuntungan kepada Moeldoko dari Ivermectin? Kedua, kapan, di mana dengan siapa dan cara apa Pak Moeldoko bekerja sama dengan PT Noorpay untuk ekspor beras? "Ini yang kami minta ke ICW," kata Otto dalam konferensi pers secara daring, Kamis (29/7/2021) lalu.

Lalu, pada Kamis (5/8/2021), Moeldoko kembali melayangkan somasi kedua kepada ICW melalui kuasa hukumnya, Otto Hasibuan. Dalam somasi kedua, Moeldoko memberikan waktu 3 x 24 jam kepada ICW untuk menunjukkan bukti-bukti tuduhan keterlibatan dirinya mengambil keuntungan dari obat Ivermectin dan bisnis beras. 

Seperti diketahui, ICW dalam hasil risetnya menyebut Moeldoko dalam jabatannya sebagai Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) punya hubungan dengan PT Noorpay Nusantara Perkasa yaitu mengadakan program pelatihan petani di Thailand. PT Noorpay sahamnya sebagian dimiliki oleh Sofia Koswara yang juga sebagai Wakil Presiden PT Harsen Laboratories, produsen Ivermectin yang disebut-sebut sebagai salah satu obat Covid-19.

Melalui jejaring perusahaan itu, Moeldoko diduga mencari keuntungan di tengah krisis pandemi lewat relasi politik. Apalagi putri Moeldoko, Joanina Rachman, adalah pemegang saham mayoritas di PT Noorpay Nusantara Perkasa. ICW mengungkapkan pada awal Juni 2021, Ivermectin didistribusikan oleh PT Harsen ke Kabupaten Kudus melalui HKTI.

Tags:

Berita Terkait