Somasi Kedua Moeldoko, Riset ICW Bentuk Kontrol Penyelenggaraan Pemerintahan
Utama

Somasi Kedua Moeldoko, Riset ICW Bentuk Kontrol Penyelenggaraan Pemerintahan

Bila Moeldoko membantah seharusnya dengan kajian atau riset serupa, bukan malah akan menempuh jalur hukum. Langkah somasi bentuk pembungkaman kebebasan berpendapat dan kritik terhadap jalannya roda pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepostime.

Rofiq Hidayat
Bacaan 8 Menit
Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas, Feri Amsari menanggapi somasi Moeldoko dan ICW secara daring, Senin (9/8/2021). Foto: RFQ
Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas, Feri Amsari menanggapi somasi Moeldoko dan ICW secara daring, Senin (9/8/2021). Foto: RFQ

“Pak Moledoko tidak boleh kebakaran jenggot”. Demikian harapan yang disampaikan Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas, Feri Amsari terkait silang pendapat antara Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko dengan hasil riset Indonesia Corruption Watch (ICW). Hasil riset ICW menyebutkan Moeldoko dituding berburu rente bisnis invermectin (obat Covid-19, red) dan bisnis beras yang berujung ICW disomasi untuk kedua kalinya.

Dia juga berharap Moeldoko sebagai pejabat negara, tak seperti sumbu pendek dengan melayangkan somasi kedua kalinya. Menurutnya, tindakan Moeldoko bertentangan dengan pernyataan Presiden Joko Widodo yang menghendaki kritik masyarakat dalam menjalankan roda pemerintahan. Terlebih di tengah situasi dan dalam penanganan pandemi Covid-19 yang telah menggelontorkan anggaran dana triliunan rupiah.

“Apa yang sudah dilakukan ICW sudah sesuai dengan Pasal 28 UUD 1945,” ujar Feri Amsari dalam diskusi daring, Senin (9/8/2021). (Baca Juga: 109 Lembaga Minta Moeldoko Cabut Somasi terhadap ICW)

Pasal 28 UUD 1945 menyebutkan, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Aturan ini diwujudkan dalam UU No.9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. “Pasal 28 UUD Tahun 1945 perwujudan demokrasi. Nah, riset ICW merupakan bagian tanggung jawab sebagai masyarakat dalam mewujudkan demokrasi di Indonesia dengan pendekatan ilmiah sebagai bentuk partisipasi masyaraka.   

Pasal 8 UU No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih, dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme mengatur adanya peran serta masyarakat  dalam menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dari KKN. Pasal 8 ayat (1) menyebutkan, “Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara merupakan hak dan tanggung jawab masyarakat untuk ikut mewujudkan Penyelenggara Negara yang bersih”. Pasal (2) menyebutkan, “Hubungan antara Penyelenggara Negara dan masyarakat dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas-asas umum penyelenggaraan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3”. Pasal 3 mengatur tentang asas-asas penyelenggaraan negara yang baik. Mulai asas kepastian hukum, keterbukaan, profesionalitas, hingga akuntabilitas.

“Jadi itu hak ICW sebagai masyarakat memastikan penyelenggaran negara bersih,” tegasnya.

Dia meminta Moeldoko membaca Pasal 5 angka 6 UU 28/1999 yang menyebutkan, “Setiap penyelenggara negara berkewajiban untuk:..6. melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab dan tidak melakukan perbuatan tercela, tanpa pamrih baik untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni, maupun kelompok, dan tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Menurut Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas ini ICW telah menjalankan tugasnya yang dilindungi konstitusi dan UU. Respons Moeldoko terhadap hasil riset ICW amat berlebihan dan terlampau terburu-buru. Semestinya, kajian ilmiah dan pandangan masyarakat tak boleh dikrimiinalisasi dengan membungkam hak-hak masyarakat. Apalagi dalam rangka sebagai kontrol terhadap jalannya roda pemerintahan.

“Jangan lupa dalam Pasal 28F UUD 1945 membolehkan data dan informasi diolah untuk kepentingan umum dan menyebarkan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia,” ujarnya mengingatkan.

Feri menilai Moeldoko memiliki hak menampik tudingan hasil kajian ilmiah, tapi dengan kajian serupa, bukan dengan ancaman proses hukum. Dia mengingatkan Pasal 10 UU No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang mengatur asas-asas umum pemerintahan yang baik, diantaranya asas tidak menyalahgunakan kewenangan dan keterbukaan. Sebagai pejabat negara, Moeldoko semestinya merespon dengan data. Misalnya, ketika informasi dan data yang disampaikan ICW tak lengkap, Moeldoko dapat melengkapinya. “Bahkan mungkin bisa membantah ketidakbenaran informasi yang disampaikan ICW,” katanya.

Menyayangkan somasi kedua

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Sasmito Madrim menyesalkan Moeldoko melayangkan somasi kedua kalinya. Di era demokrasi dan serba keterbukaan informasi, langkah Moeldoko menambah merosotnya indeks demokrasi di Indonesia. Baginya sebagai pejabat negara, tak boleh reaktif terhadap kritik masyarakat sipil.

“Moeldoko seharusnya bisa mengkaji terlebih dahulu hasil risetnya. Kemudian dijawab dengan riset kalau dinilai ada yang kurang tepat dari hasil riset ICW. Bukan malah mensomasi dengan tindakan represif,” kata dia dalam kesempatan yang sama.

Menurutnya, kritik masyarakat sangat dibutuhkan bagi pemerintah dalam penanganan pandemi demi keselamatan publik. Apalagi belajar dari awal-awal penanganan pandemi, pemerintah terlalu meremehkan masuknya Covid-19 ke Indonesia dan penanganannya tidak optimal. Angka pasien Covid-19 dan meninggal pun terus meningkat. Mirisnya dana bantuan sosial di korupsi. Melalui keteledoran pemerintah itulah menjadi penting kritik-kritik masyarakat demi perbaikan tata kelola pemerintahan.

“Tentu kami akan melawan ini semua dengan masyarakat sipil lain, kalau KSP tidak mencabut somasi karena tidak mencerminkan demokrasi di Indonesia,” katanya.

Hukumonline.com

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Sasmito Madrim.

Anggota Divisi Hukum Kontras, Adelita Kasih menilai tindakan somasi menunjukan resistensi pejabat publik terhadap kritik masyarakat sipil. Dia berpendapat riset ICW bukan kali pertama dalam mengkritisi jalannya roda pemerintahan. Sebab, kajian ICW sebagai bagian memastikan tata kelola pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN. “Terlebih, yang dilakukan ICW berdasarkan penelitian didasarkan kajian ilmiah didukung data dan fakta,” kata Adelita.

Kasus ICW ini, kata dia, bentuk pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat bagi masyarakat sipil. Padahal kebebasan berpendapat diatur berbagai regulasi internasional yang telah diratifikasi dan menjadi UU. Tak jarang, hal ini berujung tudingan pencemaran nama baik menggunakan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). “Kami menilai upaya yang dilakukan Moldoko akan semakin menambah menurunnya indek demokrasi terkait kebebasan menyatakan pendapat,” katanya.

Program Manager Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil menambahkan somasi Moeldoko terhadap ICW berpotensi menggerus partisipasi publik dalam mengawasi jalannya roda pemerintahan. Apalagi belakangan indeks demokrasi berkaitan partisipasi masyarakat sipil, kebebasan berpendapat merosot. “Ini Berpotensi mengerus peran partisipasi publik,” imbuhnya.

Sebelumnya, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko kembai melayangkan somasi kedua kepada ICW. Melalui kuasa hukum, Otto Hasibuan, Moeldoko memberikan waktu 3 x 24 jam kepada ICW) untuk menunjukkan bukti-bukti tuduhan keterlibatan dirinya mengambil keuntungan dari penggunaan obat Ivermectin. "Kalau kemarin kami berikan waktu 1 x 24 jam mungkin dianggap tidak cukup, Pak Moeldoko mengatakan kasih kesempatan untuk membuktikan siapa yang benar apakah Pak Moeldoko atau ICW dalam waktu 3 x 24 jam," ujar penasihat hukum Moeldoko, Otto Hasibuan, dalam konferensi pers virtual di Jakarta, Kamis (5/8/2021) kemarin.

Pada tanggal 30 Juli 2021, Otto Hasibuan telah melayangkan somasi terbuka terhadap ICW maupun kepada peneliti ICW Egi Primayogha. Dalam somasi pertama itu, Otto menyebut bila ICW tidak dapat membuktikan bahwa Moeldoko terlibat dalam peredaran Ivermectin, kliennya meminta ICW mencabut pernyataannya dan meminta maaf kepada Moeldoko secara terbuka melalui media cetak dan media elektronik. Jika tidak bersedia meminta maaf secara terbuka, akan melapor kepada yang berwajib.

"Akan tetapi, sampai sekarang surat kami tersebut belum dibalas atau ditanggapi. Sampai sekarang ICW tidak memberikan bukti-bukti itu," kata Otto.

Otto menyebut kliennya kembali memberi kesempatan bagi ICW untuk memberikan bukti-bukti. Pertama, mengenai kapan, di mana, berapa keuntungan, dan siapa yang memberikan keuntungan kepada Moeldoko dari Ivermectin? Kedua, kapan, di mana dengan siapa dan cara apa Pak Moeldoko bekerja sama dengan PT Noorpay untuk ekspor beras? "Ini yang kami minta ke ICW," kata Otto.

Surat somasi kedua itu menurut Otto akan dikirim pada hari Jumat (6/8/2021). "Besok kami akan kirim surat somasi kedua kalau ICW bisa memberikan bukti-bukti keterlibatan Pak Moeldoko dengan ini saya mengatakan dengan tegas Pak Moeldoko siap bertanggung jawab baik secara moral maupun hukum sebagai seorang militer mantan Panglima TNI," ungkap Otto.

Dia juga membantah pernyataan kuasa hukum ICW, Muhammad Isnur, yang mengatakan telah mengirimkan surat balasan ke kantor hukumnya. "Terus terang kami ingin sampaikan bahwa itu tidak benar karena kami tidak pernah menerima surat balasan. Kalaulah sudah disampaikan, tentu sudah kami terima, ada bukti tanda terima, siapa yang terima dan tanda tangan. Saya minta ICW berterus terang apa betul sudah dikirim atau tidak?”

Berbeda dari somasi pertama, menurut Otto Hasibuan dalam somasinya yang kedua ini, bila ICW tidak dapat memberikan bukti, kliennya tidak akan memproses ICW kepada pihak kepolisian, tetapi hanya meminta agar ICW menarik pernyataannya.

ICW sebelumnya dalam hasil risetnya menyebut Moeldoko dalam jabatannya sebagai Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) punya hubungan dengan PT Noorpay Nusantara Perkasa yaitu mengadakan program pelatihan petani di Thailand. PT Noorpay sahamnya dimiliki oleh Sofia Koswara sebagai Wakil Presiden PT Harsen Laboratories, produsen Ivermectin yang disebut-sebut sebagai salah satu obat Covid-19.

Melalui jejaring perusahaan itu diduga mencari keuntungan di tengah krisis pandemi lewat relasi politik. Apalagi putri Moeldoko, Joanina Rachman, adalah pemegang saham mayoritas di PT Noorpay Nusantara Perkasa. ICW mengungkapkan pada awal Juni 2021, Ivermectin didistribusikan oleh PT Harsen ke Kabupaten Kudus melalui HKTI.

Sebelumnya, Kuasa Hukum Moeldoko, Otto Hasibuan dalam konferensi persnya secara virtual, Kamis (29/7/2021) lalu kemarin, membantah tuduhan ICW terkait dugaan adanya keterkaitan dengan PT Harsen Laboratories sebagai produsen Ivermectin obat yang diklam alternatif terapi Covid-19 dan bisnis beras yang melibatkan Moeldoko.

Menurutnya, siaran pers yang dibuat ICW di laman websitenya seolah menggiring publik dan membentuk opini bahwa Moeldoko memiliki keterkaitan dengan PT Harsen Laboratories dalam mempromosikan produk Ivermectin. Begitu pula bisnis beras dengan membawa nama Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) dimana Moeldoko sebagai ketua umum HKTI. “Tuduhan itu tidak bertanggung jawab karena merupakan fitnah dan pencemaran nama baik terhadap klien kami secara pribadi maupun sebagai KSP,” ujar Kuasa Hukum Moeldoko, Otto Hasibuan.        

Otto menegaskan Moeldoko tak memiliki kaitan atau hubungan apapun dengan PT Harsen Laboratories sebagai produsen Ivermectin. “Gak ada hubungannya, bukan pemegang saham dan bukan direktur atau direksi,” kata Otto.

Demikian pula dengan PT Noorpay Nusantara Perkasa tak memiliki hubungan secara hukum. Otto menjelaskan PT Noorpay Nusantara Perkasa merupakan perusahaan yang tidak bergerak di bidang farmasi atau bisnis ekspor beras, tapi bergerak di bidang informasi dan teknologi (IT). Tapi ICW, seringkali mengkaitkan Moeldoko dengan PT Harsen Laboratories dan PT Noorpay Nusantara Perkasa.

Tapi, Otto membenarkan putri Moeldoko bernama Joanina Rachman sebagai pemegang saham mayoritas PT Noorpay Nusantara Perkasa. Menurutnya, meski seorang anak pejabat, adalah hal wajar berbisnis sepanjang orang tuanya tidak ikut campur. “Moeldoko sebagai pribadi ataupun KSP tidak ada hubungan secara hukum dengan PT Noorpay Nusantara Perkasa. Lagi pula, PT Noorpay bergerak di bidang IT, tidak ada kaitan bisnis ekspor beras dan invermectin,” tegasnya.

Diakuinya, Moeldoko memang sebagai Ketua Umum HKTI. Dalam perjalanannya, HKTI pernah bekerja sama dengan PT Noorpay Nusantara Perkara dalam kaitannya mengirim tenaga training ke Thailand dalam rangka kepentingan para petani. Tapi, kerja sama ini tidak dalam bentuk bisnis beras. Dengan demikian, kedua tudingan itu tidaklah berdasar, malahan sebagai bentuk pencemaran nama baik dan fitnah.

Dia memberi kesempatan ICW untuk membuktikan tudingannya bahwa Moeldoko berburu rente dalam waktu 1x24 jam. Bila ICW ataupun Peneliti ICW Egi Primayogha tak dapat membuktikan tudingannya, Moeldoko meminta agar ICW mencabut pernyataannya serta melakukan permintaan maaf kepada Moeldoko secara terbuka melalui media cetak dan elektronik sebagai upaya membersihkan nama baik yang telah dicemarkan. Bila tak dapat membuktikan tudingannya, tak mencabut pula pernyataannya, dan tak bersedia minta maaf, pihaknya akan melayangkan laporan ke pihak kepolisian.

Tags:

Berita Terkait