Solusi Perwira Aktif Jabat Sipil Tak Perlu Revisi UU TNI
Berita

Solusi Perwira Aktif Jabat Sipil Tak Perlu Revisi UU TNI

Karena penempatan perwira TNI pada jabatan sipil justru mengingkari agenda reformasi. Seharusnya wacana ini masalah teknis yang dihadapi TNI yaitu kelebihan personil yang seharusnya diselesaikan secara teknis juga.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi Perwira TNI. Foto: RES
Ilustrasi Perwira TNI. Foto: RES

Rencana penempatan militer atau perwira aktif menempati jabatan sipil terus menuai kritik. Peneliti LIPI, Syamsuddin Haris, melihat wacana ini bergulir karena menumpuknya perwira aktif di Markas Besar (Mabes) TNI. Menurutnya, persoalan ini harus dilihat sebagai kegagalan perencanaan, reorganisasi dan manajerial TNI. Tidak tepat jika kegagalan ini dibebankan kepada kementerian/lembaga untuk menampung para perwira aktif tersebut.

 

Mengutip pasal 47 UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI, Syamsuddin menilai prajurit/perwira TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. Prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang politik dan keamanan negara, pertahanan negara, Sekretaris Militer Presiden, Badan Intelijen Negara (BIN), Lembaga Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, BNN, dan MA.

 

“Prajurit aktif yang menduduki jabatan itu harus didasarkan permintaan pimpinan departemen serta tunduk pada ketentuan administrasi yang berlaku dalam lingkungan departemen dan lembaga pemerintah nondepartemen tersebut. Persoalan ini juga dipicu absennya peta jalan reformasi sektor keamanan,” ujar Syamsudin dalam sebuah diskusi di Jakarta, Jum’at (1/3/2019). Baca Juga: Perwira Aktif Emban Jabatan Sipil Tak Bisa Dipaksakan, Kecuali...  

 

Sejak awal reformasi, Syamsuddin berpendapat tidak ada konsensus minimum dari elit sipil tentang bagaimana posisi militer setelah orde baru. Persoalan ini terus berlangsung sejak kepemimpinan Presiden B.J Habibie sampai Joko Widodo, dimana pemerintahan hasil pemilu tidak punya visi, agenda dan skema bagaimana arah reformasi militer di era demokrasi ini.

 

Syamsuddin melihat selama ini yang mendorong reformasi sektor keamanan hanya masyarakat sipil. Harusnya yang menginisiasi agenda ini otoritas politik sipil yaitu pemerintah dan DPR. Syamsuddin menegaskan revisi UU TNI yang ditujukan agar perwira aktif bisa lebih banyak lagi menjabat di institusi sipil tidak perlu dilakukan karena peraturan yang ada sudah mengatur cukup baik.

 

“Menempatkan perwira TNI aktif dalam jabatan sipil di kementerian dan lembaga merupakan langkah mundur sekaligus pengkhianatan terhadap agenda reformasi,” tegasnya.

 

Gubernur Lemhanas, Agus Widjojo menilai wacana menempatkan militer aktif pada jabatan sipil ini merupakan masalah teknis yang dihadapi TNI yaitu kelebihan personil. Masalah ini seharusnya diselesaikan secara teknis juga, jangan dibiarkan meluas, sehingga menjadi persoalan yang mendapat sorotan nasional. Lagipula, Pasal 47 UU TNI telah mengatur jabatan apa yang bisa ditempati prajurit aktif.

 

Agus mengingatkan tugas pokok TNI yaitu melakukan operasi militer untuk perang (OMP) dan operasi militer selain perang (OMSP). TNI menjalankan tugas ini berdasarkan kebijakan pemerintah. Mengingat peraturan perundang-undangan yang ada sudah mengatur tugas TNI. Terpenting, dilakukan sekarang mematuhi supremasi hukum. “Ketika ada hal yang melenceng masyarakat sipil, jangan diam agar publik bisa paham persoalan ini,” ujarnya.

 

Revisi harus jelas tujuannya

Agus menekankan revisi UU TNI bisa dilakukan, tapi harus jelas tujuannya. Selain itu, setiap keputusan politik yang diterbitkan yang melibatkan TNI dalam ranah sipil harus dilakukan secara terbuka dan transparan, sehingga masyarakat mengetahuinya.

 

Direktur Eksekutif Imparsial, Al Araf, mengatakan semua literatur menyebut tugas dan fungsi militer disiapkan untuk perang. Karena itu, negara wajib memenuhi semua aspek yang dibutuhkan militer untuk menghadapi perang seperti menyiapkan anggaran untuk alat utama sistem senjata (alutsista). Kemudian menggelar pelatihan dan pendidikan TNI untuk meningkatkan profesionalisme dan konsekuensinya TNI tidak boleh berpolitik dan berbisnis.

 

Sayangnya praktik OMSP di Indonesia, menurut Al mengalami bias yang berlebihan. Tercatat lebih dari 30 MoU antara TNI dengan kementerian/lembaga pemerintahan. Salah satu MoU itu membuat TNI melakukan kegiatan untuk mencetak sawah. Ombudsman RI juga sempat menyoroti persoalan ini. Sebagaimana Pasal 7 UU TNI, OMSP ada batasannya yakni ketika otoritas sipil tidak mampu melakukan kegiatan tersebut. Misalnya, ketika terjadi bencana tsunami di Aceh, otoritas sipil di Aceh tidak mampu untuk mengatasi masalah itu kemudian Presiden menerbitkan keputusan untuk menerjunkan TNI.

 

Bagi Al, persoalan yang dihadapi TNI untuk menempatkan perwiranya pada jabatan sipil ini bisa diatasi melalui beberapa cara antara lain melakukan reorganisasi. Al mencontohkan Belanda melakukan reorganisasi dengan menghapus divisi tank dan mengurangi jumlah personil dari 69 ribu menjadi 56 ribu. Amerika Serikat memangkas personil angkatan darat sampai 120 ribu orang. China memotong jumlah personil angkatan darat dari 300 ribu prajurit menjadi 230 ribu dan mengalokasikan anggaran pertahanan untuk membeli senjata baru berteknologi tinggi untuk angkatan laut dan udara.

 

Reorganisasi TNI, menurut Al bisa didorong untuk menghadapi perang generasi terbaru yaitu 4.0. Dalam perang ini yang diandalkan bukan lagi menyiapkan prajurit dan persenjataan dalam jumlah besar tapi menggunakan teknologi modern yang didukung prajurit profesional. Selain itu, promosi jabatan di lingkungan TNI harus dibersihkan dari KKN, orientasinya harus berbasis kompetensi. Begitu pula dengan intervensi politik, harus dihindari karena promosi jabatan di internal TNI merupakan kewenangan panglima dan staf.

 

Al menegaskan reorganisasi TNI yang ingin menempatkan prajurit aktif pada jabatan sipil di luar ketentuan UU TNI bertentangan dengan agenda reformasi. Pemerintah diharapkan tidak melanjutkan rencana ini. “Revisi UU TNI tidak diperlukan,” tegasnya.

 

Komisioner Komnas HAM, M. Choirul Anam melihat kebijakan TNI saat ini lebih ke arah pragmatis ketimbang ideal. Terbukti, ada puluhan MoU yang diteken TNI dengan kementerian/lembaga, sehingga TNI mengurusi hal lain di luar masalah pertahanan seperti menjaga KRL dan terlibat dalam penggusuran. Pada intinya militer harus tunduk pada supremasi sipil. Salah satu bentuk supremasi sipil yakni UU dan peraturan turunannya.

 

Anam melihat sampai saat ini revisi UU TNI belum dibutuhkan karena belum ada arah yang jelas, khususnya mengenai arah reformasi sektor keamanan. Anam mengusulkan agar yang direvisi itu UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. “Daripada merevisi UU TNI lebih baik merevisi UU Peradilan Militer,” usulnya.

Tags:

Berita Terkait