Soeprapto, The Silent Hero Sang 'Bapak' Kejaksaan
Resensi

Soeprapto, The Silent Hero Sang 'Bapak' Kejaksaan

Tidak hanya kisah positif, buku ini juga mengulas keputusan kontroversial Soeprapto saat menjabat sebagai Jaksa Agung.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Nama Soeprapto dalam dunia hukum tentu sudah tak asing, khususnya pada korps adhiyaksa. Sepak terjang Soeprapto yang menjabat Jaksa Agung era orde lama itu memiliki sikap tegak lurus terhadap penegakan hukum. Sikap itulah menjadikan Soeprapto tak disenangi banyak pihak saat Kejaksaan mulai menyelidiki beberapa politisi terkemuka.

Sekilas gambaran Soeprapto diulas secara gamblang dalam buku ’Jaksa Agung Soeprapto dan Sejarah Pertumbuhan Kejaksaan Republik Indonesia’. Buku setebal 288 halaman mengulas sepak terjang Soeprapto yang menjabat Jaksa Agung periode 1951-1959 membangun lembaga Kejaksaan dalam situasi pasca kemerdekaan

Dengan berbagai deskripsi serta penggambaran para tokoh-tokoh yang terlibat, Soeprapto berperan penting dalam modernisasi kelembagaan Kejaksaan. Buku ini menggambarkan kisah Soeprapto sebagai tokoh hukum dengan teladan yang patut dicontoh para abdi adhyaksa hingga saat ini.

Sebagai Jaksa Agung ke-4, Soeprapto mampu membenahi lembaga Kejaksaan yang compang-camping, meminjam istilah peneliti Kejaksaan dan dosen hukum pidana Universitas Brawijaya, Fachrizal Afandi. Buku ini mampu menyajikan profil Soeprapto secara objektif.

Tidak hanya kisah positif, buku ini juga mengulas keputusan kontroversial Soeprapto saat menjabat sebagai Jaksa Agung. Melalui riset mendalam diikuti diskusi dengan pihak-pihak terkait serta teknik penulisan yang baik membuat penyajian buku ini menarik. Bahkan pembaca tidak dipusingkan dengan istilah-istilah hukum. Dengan begitu, buku ini dapat menjangkau pembaca secara luas.

Bagian awal buku ini menceritakan latar belakang keluarga Soeprapto yang lahir pada 27 Maret 1897. Soeprapto besar  dalam titipan kakek dari ibu di Tulungagung demi bersekolah di Hollands Inlandse School (HIS). Soep, begitu sapaan akrabnya saat sekolah, dikenal tekun dan mampu menulis, membaca serta berbicara dalam bahasa Belanda. Setelah lulus HIS, Soeprapto melanjutkan pendidikannya di Europese Lagere School (ELS) dan lulus pada 1911.

Hukumonline.com

Persinggungan Soeprapto dengan dunia hukum secara akademis saat Ia melanjutkan pendidikannya di Rechtsschool di Koningsplein Zuid 10, sekarang Merdeka Selatan, Jakarta, cikal bakal Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Dia satu angkatan dengan berbagai tokoh lainnya.

Seperti Wongsonegora (Wakil Perdana Menteri Kabinet Ali Sastroamidjojo) dan Isqak Tjokrohadisurjo (Menteri Hubungan Ekonomi 1953-1954). Setelah lulus dari Rechtsschool 1917, Soeprapto langsung bekerja untuk membantu orang tuanya dan tidak berkesempatan meraih gelar Meester in de rechten (Mr).

Pada awalnya, Soeprapto bekerja di pengadilan negeri wilayah Trenggalek sebagai staf Kepala Pengadilan Neger, voorzitter van de landraad pada 1917. Dia juga pernah menjabat sebagai Hakim Anggota Pengadilan Negeri di Purworejo pada 1923, Wakil Ketua Pengadilan Negeri di Bandung pada 1925, Ketua Pengadilan Negeri Pati pada 1927.

Soeprapto berpindah-pindah wilayah kerja seperti Banyuwangi, Cirebon, Salatiga-Boyolali, Karesidenan Pekalongan. Saat di Pekalongan, Soeprapto menghadapi salah satu tugas terberat mengadili kasus Peristiwa Tiga Daerah (PTD), revolusi sosial di Brebes, Tegal dan Pemalang saat Indonesia lepas dari kependudukan Jepang. Dalam kasus ini, Ia memvonis mati aktor utama revolusi bernama Kutil.

Sebagai hakim bumiputra, Soeprapto mendapat apresiasi dari sesama hakim-hakim dan pegawai pengadilan Belanda. Kiprah Soeprapto mendapat perhatian pemerintah pusat di bawah Perdana Menteri Mohammad Natsir yang mengangkatnya sebagai Jaksa Agung. Terdapat tiga alasan penunjukan Soeprapto antara lain mampu mengadili tokoh-tokoh kunci PTD yang dianggap berhaluan kiri, kedekatannya dengan Tentara serta pilihan Presiden Soekarno yang menginginkan Jaksa Agung berkarakter berani dan ’keras kepala’.

Keputusan kontroversial

Setelah dilantik, Soeprapto menyampaikan bahwa salah satu perhatiannya yaitu menyelesaikan kasus pemberontak Westerling yang menjadi aktor utama pembantaian terhadap ribuan warga pribumi di Makassar, Sulawesi Selatan. Selain itu, sedikitnya terdapat 30 kasus besar yang mendapat perhatian publik selama Soeprapto menjabat.

Terdapat juga beberapa keputusan kontroversi yang dilakukan Soeprapto melalui penerbitan surat edaran. Keputusan kontroversi tersebut antara lain larangan membicarakan politik di masjid dan gereja hingga peringatan kepada wartawan atas pemberitaan politik. Berbicara tentang Soeprapto tidak dapat lepas dari kasus Sultan Hamid Algadri II. Kasus ini paling menyita perhatian publik  dan Soeprapto tampil langusng sebagai jaksa penuntut umum.

Dalam buku ini, pemaparan pengadilan Sultan Hamid dan latar belakang kasusnya bahkan mencapai hampir 100 lembar. Di sini, tuntutan Soeprapto untuk vonis 10 tahun penjara terhadap Sultan Hamid yang membantu Westerling dikabulkan ketua hakim yang dipimpin langsung Ketua Mahkamah Agung, Mr Wirjono Prodjodikoro pada tingkat pertama dan terakhir.

Sikapnya yang tegak lurus terhadap penegakan hukum menjadikan Soeprapto juga tidak disenangi pihak-pihak tertentu. Terdapat pihak yang ingin menjatuhkan Soeprapto sebagai Jaksa Agung saat Kejaksaan mulai menyelediki beberapa politisi terkemuka. Soeprapto mencatat PNI memiliki kekhawatiran khusus terhadap dirinya karena merasa sedang diselidiki. Selain itu, pejabat TNI yang terlibat dalam kasus penyelundupan Tanjung Priok dan lain-lain.

Soeprapto juga bertentangan dengan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo yang meminta kasus dugaan korupsi Menteri Luar Negeri, Roeslan Abdul Gani di-deponeer atau dicabut. Namun, Soeprapto menolak dan membawa kasus tersebut ke pengadilan hingga akhirnya Roeslan didenda Rp 5.000.

Kasus bebasnya, kapten KNIL, HCGJ, Schmidt menjadi alasan penyingkiran Soeprapto. Masyarakat menjadi marah dengan kasus ini terlebih Schmidt dibawa keluar Indonesia. PM Ir Djuanda Kartawidjaja membebastugaskan Soeprapto pada 3 April 1959. Tak lama setelahnya, Soeprapto pun pensiun dan wafat pada 1964. Tiga tahun berselang, dia ditetapkan sebagai Bapak Kejaksaan pada 1967.

Sebagai buku yang mengulas tokoh hukum nasional buku ini mampu menyajikan informasi konferensif dari Soeprapto. Tidak hanya kehidupan karir, buku ini juga menceritakan kehidupan pribadi Soeprapto sebagai anak, suami dan ayah. Buku ini juga memberi tabel periode mengenai riwayat hidup Soeprapto sehingga memudahkan pembacara melihat rekam jejak sang tokoh.

Dapat dikatakan, Iip selaku penulis dengan riset mendalam dan luasnya jumlah bacaan membuat penulisan buku ini menarik dibaca bagi masyarakat luas. Kehadiran buku ini menjadi penting untuk memberi sosok inspirasi di tengah situasi merosotnya penegakan hukum disertai tingginya penyalahgunaan oleh kekuasaan.

Selamat membaca!

Tags:

Berita Terkait