Soal Zina & ‘Mahkota’ MK Oleh: Reza Fikri Febriansyah*)
Kolom

Soal Zina & ‘Mahkota’ MK Oleh: Reza Fikri Febriansyah*)

Proses persidangan perkara a quo setidaknya memberikan dua pelajaran penting bagi bangsa Indonesia.

Bacaan 2 Menit

 

Kesempurnaan dalam menangkap pesan konstitusi dari setiap Putusan MK hanya dapat dilakukan dengan membaca secara jujur dan jernih amar putusan beserta pertimbangan hukum (ratio decidendi) nya, termasuk bila dalam putusan tersebut terdapat pendapat yang berbeda (dissenting opinion) dari minoritas hakim konstitusi.

 

Celakanya, sebagian dari kita lebih senang membaca komposisi dan konfigurasi hakim konstitusi ketimbang membaca substansi dan esensi yang ada dalam putusan a quo beserta dissenting opinion yang ada di dalamnya hingga kemudian penulis teringat pada suatu kaidah dalam ushul fiqh: undzur ma Qola wa la tandzur man Qola (perhatikan apa yang disampaikan, jangan (semata-mata) memperhatikan siapa yang menyampaikan).

 

Perbedaan pendapat di antara para hakim konsititusi dalam perkara a quo jelas tidak terletak pada persoalan gagasan/ide pemohon (sebab MK secara eksplisit menyatakan tidak menolak gagasan pembaruan terhadap KUHP, khususnya pasal-pasal a quo), melainkan lebih kepada pertarungan paradigma di antara 9 (sembilan) penjaga konstitusi, apakah untuk memutus perkara a quo, MK harus menggunakan prinsip “membatasi diri” (judicial restraint) atau justru “membaca kaidah dan esensi moral yang terkandung dalam konstitusi” (moral reading of the constitution)?

 

Hasil akhirnya final dan mengikat: 5 (lima) hakim konstitusi memilih untuk menggunakan prinsip judicial restraint, sedangkan 4 (empat) hakim konstitusi, termasuk Ketua dan Wakil Ketua MK, memilih untuk menggunakan kaidah moral reading of the constitution.

 

Dalam konteks ruang lingkup zina, Penulis sependapat dengan pendapat para hakim dissenter bahwa MK pada hakikatnya tidak memperluas ruang lingkup zina, melainkan sekadar mengembalikan apa yang telah dipersempit oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda melalui Wetboek van Strafrecht nya selama ratusan tahun (yang celakanya oleh sebagian kecil kalangan terus dicoba untuk dilestarikan hingga kini dalam sistem hukum pidana Indonesia).

 

Sebab jauh sebelum dijajah oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda, agama dan ketertiban umum manapun yang ada di nusantara (yang memang diberi posisi dan fungsi oleh konstitusi sebagai salah satu rambu atau pedoman yang harus dipatuhi dalam membentuk norma undang-undang) mengatur bahwa hubungan seksual hanya dapat dibenarkan jika dilakukan oleh laki-laki dan perempuan melalui lembaga perkawinan.

 

Dalam soal ruang lingkup perkosaan dan hubungan seksual sejenis (homoseksual), tidak terhindarkan bagi Penulis untuk kemudian mempertanyakan konsistensi MK yang dalam salah satu ratio decidendi Putusan a quo menyatakan “…ketika menyangkut norma hukum pidana, Mahkamah dituntut untuk tidak boleh memasuki wilayah kebijakan pidana atau politik hukum pidana (criminal policy). Pengujian undang-undang yang pada pokoknya berisikan permohonan kriminalisasi maupun dekriminalisasi terhadap perbuatan tertentu tidak dapat dilakukan oleh Mahkamah karena hal itu…adalah kewenangan eksklusif pembentuk undang-undang”, padahal sejarah mencatat bahwa MK dalam beberapa putusan sebelumnya telah keluar-masuk wilayah kebijakan pidana atau politik hukum pidana (criminal policy).  

Tags:

Berita Terkait