Soal SP3 Kebakaran Hutan, Polri Bisa Minta Pendapat Ahli Berbasis Luas
Utama

Soal SP3 Kebakaran Hutan, Polri Bisa Minta Pendapat Ahli Berbasis Luas

Polri akan membentuk Satgas khusus mengawasi penerbitan SP3 kasus kebakaran hutan, karena persoalan nasional.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Komisi III DPR kembali meminta keterangan Kapolri terkait penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kebakaran hutan di Riau. Anggota Komisi III Arsul Sani menilai dari aspek teknis penanganan perkara, penyidik Polda Riau menggunakan keterangan ahli sebagai dasar penerbitan SP3,yakni ahli kebakaran hutan. Arsul balik bertanya terkait kompetensi ahli yang digunakan penyidik. Pasalnya, ahli yang dimintakan pandangannya bersifat lokal.

Padahal, kata Arsul, mestinya penyidik mengembangkan dengan mengelabolarsi. Misalnya, penyidik dapat memintakan keterangan ahli berbasis luas yakni dari Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta. “Saya berharap jajaran Polri untuk berkoordinasi dengan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup untuk mengevaluasi SP3 untuk kemungkinan bisa dibuka kembali,” ujar Arsul, Senin (5/9).

Anggota Komisi III dari Fraksi Gerindra Supratman Andi Agtas berpandangan, SP3 merupakan tindakan hukum yang halal dilakukan Polri. Namun, ia menyarankan ketika mengambil keputusan untuk menghentikan perkara, kepolisian mesti melakukan komunikasi ke masyarakat. Setidaknya, Polda maupun Polri langsung mengeluarkan rilis. Langkah tersebut bakal mengurangi kecurigaan masyarakat ke Polri atas penerbitan SP3 kasus kebakaran hutan dan lahan.

Anggota Komisi III Aboe Bakar Alhabsy menambahkan, terhadap SP3, masyarakat dapat mempersoalkannya dengan menguji ke pengadilan melalui mekanisme praperadilan. Namun mestinya Polri dapat mengenakan asas tanggungjawab mutlak terhadap pemilik lahan. Kemudian, penyidik dapat langsung memboyong ke meja hijau. Soal terbuktinya akan menjadi ranah pengadilan.

Sebaliknya, bila membebankan pada ranah praperadilan, sama halnya masyarakat diberikan beban membuktikan di pengadilan. “Apakah ini tepat masyarakat dibebankan pembuktian di pengadilan, dan perusahaan dikasih SP3,” kata politisi PKS itu. (Baca Juga: Pemerintah Didesak Bekukan Perusahaan Pembakar Hutan)

Sepanjang 2016, setidaknya Polri telah menerbitkan 15 SP3 terhadap kasus kebakaran hutan yang melibatkan korporasi. Untuk meminimalisir agar penerbitan SP3 tidak menimbulkan dugaan buruk dari masyarakat, maka sebelum penerbitan SP3 digelar perkara terlebih dahulu di Mabes Polri. “Semua kasus khusus kebakaran hutan dan lahan mau di SP3 harus digelar di mabes polri dahulu,” ujar Kapolri Jenderal Muhammad Tito Karnavian.

Menurutnya, Polri di bawah tampuk kepemimpinanya bakal membentuk Satuan Tugas (Satgas) yang tugasnya melakukan pengawasan ketika Polda yang bakal menerbitkan SP3 khusus penanganan kasus kebakaran hutan dan lahan. Satgas nantinya terdiri dari Inspektorat Pengawasan Umum (Itwasum), Divisi Profesi dan Pengamanan Profesi (Propam) dan Divisi Hukum (Divkum). “Ini masalah nasional, jadi tidak boleh SP3 dilakukan sendiri, tetapi harus digelar dahulu di Mabes Polri terkait masalah korporasi,” ujarnya.

SP3 dalam penanganan kasus kebakaran hutan acapkali diterbitkan masing-masing Polda yang menangani. Penghentian penyidikan memang bukan ‘barang haram’ dalam penegakkan hukum. Sebaliknya, bila tidak ditemukan bukti yang cukup maka penghentian penyidikan harus dilakukan demi kepastian hukum. Hanya saja, kasus kebakaran hutan dan lahan menjadi perhatian masyarakat luas. Bahkan Presiden Jokowi turun tangan ke lokasi tahun lalu.

Dampak kebakaran hutan cukup luas. Masyarakat tak dapat melaksanakan aktifitasnya akibat terganggu dengan kepulan asap. Kapolri sependapat dengan dampak besar yang diakibatkan kebakaran hutan dan lahan. Namun, berdasarkan keterangan ahli dan tidak ditemukan bukti yang cukup mengharuskan penyidik Polda Riau menghentikan penyidikan terhadap 15 perusahaan yang sudah berstatus di tingkat penyidikan.

Tito menjelaskan, setidaknya sepanjang Januari 2016 hingga Mei 2016, sebanyak 15 perusahaan yang penyidikannya dihentikan. Namun, ia menampik penghentian penyidikan terhadap 15 perusahaan dilakukan dapat satu waktu. “Jadi bukan dihentikan secara serempak. Tetapi dihentikan rentang waktu dari Januari sampai Mei 2016 sebanyak 15 kasus,” katanya.

Alasan dihentikan penyidikan antara lain pembakaran dilakukan di luar peta korporasi yang dilakukan oleh masyarakat. Kemudian, terbakar di areal miliki perusahaan, namun perizinannya sudah dicabut. Sehingga tidak lagi menjadi pertanggungjawaban perusahaan. Hal lainnya, unsur kelalaian tidak terpenuhi karena memiliki peralatan pemadaman sendiri. Hal itu pun setelah mendapat keterangan dari ahli dalam penyidikan.

Tags:

Berita Terkait