Soal Pemukulan Hakim, Sekjen IKAHI: Itu Pelecehan pada Peradilan!
Utama

Soal Pemukulan Hakim, Sekjen IKAHI: Itu Pelecehan pada Peradilan!

​​​​​​​Contempt of court yang tidak mengurangi sifat tindak pidana.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Suasana sidang usai pemukulan terhadap hakim oleh seorang advokat. Foto: Istimewa
Suasana sidang usai pemukulan terhadap hakim oleh seorang advokat. Foto: Istimewa

Kadar Slamet, Sekretaris Jenderal Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) mengatakan, pihaknya akan segera mengambil sikap atas pemukulan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) di tengah persidangan tadi sore, Kamis (18/7). “Besok kami rapat untuk bersikap, itu pelecehan pada peradilan, contempt of court,” ujarnya saat dihubungi hukumonline.

 

Pemukulan terjadi pada saat hakim membacakan putusan perkara perdata nomor 223/pdt.G/2018/PN Jakpus antara seorang taipan berinisial TW selaku penggugat melawan beberapa pihak selaku tergugat. “Siapapun yang diwakili sebagai kuasanya, kita tidak melihat itu, perbuatan memukul hakim di ruang sidang itu tidak terpuji,” Kadar menambahkan penjelasannya.

 

Ia mengaku heran bahwa perbuatan tersebut bisa dilakukan oleh advokat. Salah satu pelajaran dasar bagi setiap sarjana hukum adalah menjaga ketertiban selama persidangan berlangsung. “Tata tertib persidangan kan dicantumkan, apalagi kalau itu advokat, dia tahu betul kode etik profesinya yang harus dijaga,” ujarnya.

 

Meskipun sangat terusik dengan perbuatan oknum advokat tersebut, Kadar menyatakan IKAHI akan tetap memeriksa secar utuh latar belakang aksi kekerasan itu. “Kami akan mendengar lebih jauh mengapa bisa sampai seperti itu,” kata Kadar menambahkan.

 

Belum ada kejelasan sikap tegas apa yang akan diambil IKAHI. Perlu diingat bahwa setiap advokat diangkat dengan prosedur mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim. Advokat akan ditolak bersidang jika tidak bisa membuktikan dirinya telah dilantik dengan mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim.

 

Dihubungi secara terpisah, Ketua Harian Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Dio Ashar Wicaksana berpendapat sama. Dio menyayangkan kekerasan fisik di tengah persidangan justru dilakukan oleh advokat.  Keberatan terhadap putusan hakim tidak bisa menjadi alasan untuk aksi kekerasan fisik pada hakim. Apalagi dilakukan di tengah persidangan.

 

“Kalau tidak setuju dengan putusan hakim bisa ajukan upaya hukum, kalau ada indikasi hakim melakukan pelanggaran bisa melapor ke Badan Pengawasan atau Komisi Yudisial,” kata Dio.

 

Ia menilai bahwa menjaga kesopanan dalam persidangan adalah pengetahuan dasar wajib bagi siapa saja yang berurusan dengan peradilan. Bahkan kejadian ironis sore ini menjadi kritik tentang minimnya perlindungan bagi aparat penegak hukum. Salah satunya perlindungan untuk hakim dalam persidangan.

 

“Ini menjadi masukan, bagaimana perlindungan pada hakim dan aparat penegak hukum lainnya,” ujar Dio. Ia menjelaskan, contoh lain soal penculikan anak seorang jaksa yang sedang bertugas sebagai penuntut umum. Ancaman pada rasa aman dan keselamatan penegak hukum dapat menjadi gangguan bagi penegakan hukum itu sendiri.

 

“Kalau tidak dilindungi, nanti mereka bekerja dengan rasa takut, membuat keputusan bukan karena keadilan, tapi intervensi pihak lain, masyarakat dirugikan,” ujar Dio. Di sisi lain, Dio juga mengatakan bahwa sanksi dan regulasi tentang contempt of court belum cukup memadai.

 

Baca:

 

Berdasarkan penelusuran Hukumonline, peradilan di Indonesia telah lama mengenal konsep pelecehan pada peradilan dengan meminjam istilah contempt of court. Berdasarkan Naskah Akademis Penelitian Contempt of Court 2002 yang diterbitkan Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, istilah contempt of court pertama kali ditemukan dalam penjelasan umum UU No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

 

Tertera pada butir 4 alinea ke-4 sebagai berikut:“Selanjutnya untuk dapat lebih menjamin terciptanya suasana yang sebaik-baiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan yang dikenal sebagai Contempt of Court. Bersamaan dengan introduksi terminologi itu sekaligus juga diberikan definisinya.”

 

Masih di buku yang sama, ada lima perbuatan yang digolongkan dalam pengertian penghinaan terhadap pengadilan yaitu berperilaku tercela dan tidak pantas di pengadilan (Misbehaving in Court), tidak mentaati perintah-perintah pengadilan (Disobeying Court Orders), menyerang integritas dan impartialitas pengadilan (Scandalising the Court), menghalangi jalannya penyelenggaraan peradilan (Obstructing Justice), dan perbuatan-perbuatan penghinaan terhadap pengadilan dilakukan dengan cara pemberitahuan/publikasi (Sub-Judice Rule).

 

Penelusuran Hukumonline dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menunjukkan tiga pasal yang termasuk penghinaan terhadap pengadilan. Ketiganya adalah pasal 207, pasal 217, dan pasal 224 KUHP. Sedangkan dalam UU No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah disebutkan dalam pasal 218 KUHAP.

 

Pasal 207 KUHP

Barang siapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah

Pasal 217 KUHP

Barang siapa menimbulkan kegaduhan dalam sidang pengadilan atau di tempat di mana seorang pejabat sedang menjalankan tugasnya yang sah di muka umum, dan tidak pergi sesudah diperintah oleh atau atas nama penguasa yang berwenang, diancam dengan pidana penjara paling lama tiga minggu atau pidana denda paling banyak seribu delapan ratus rupiah

Pasal 224 KUHP

Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhinya, diancam:

1. dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan;

2. dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan.

Pasal 218 KUHAP

(1) Dalam ruang sidang siapa pun wajib menunjukkan sikap hormat kepada pengadilan;

(2) Siapa pun yang di sidang pengadilan bersikap tidak sesuai dengan martabat pengadilan dan tidak menaati tata tertib setelah mendapat peringatan dari hakim ketua sidang, atas perintahnya yang bersangkutan dikeluarkan dari ruang sidang;

(3) Dalam hal pelanggaran tata tertib sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) bersifat suatu tindak pidana, tidak mengurangi kemungkinan dilakukan penuntutan terhadap pelakunya.

 

Sudah Lapor Polisi

Berdasarkan salinan surat laporan polisi 1283/K/VII/2019/RESTRO JAKPUS pukul 19.30 hari ini, hakim Sunarso yang menjadi laporan pemukulan telah melaporkan penganiayaan terhadap dirinya. Tercantum dalam surat laporan bahwa pelaku bernama Desrizal dengan waktu kejadian pukul 15.30 di Ruang Sidang R.Subekti II lantai 3 Kantor Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

 

Tidak hanya hakim Sunarso yang menerima satu kali pukulan dengan ikat pinggang hingga luka memar. Tercantum seoarang saksi bernama Duta Baskara yang juga seorang hakim dalam perkara sama, dipukul sebanyak dua kali menggunakan ikat pinggang yang sama.

 

Sementara itu, Kabiro Hukum dan Humas Mahkamah Agung Abdullah menegaskan bahwa perbuatan pelaku sudah masuk kategori contempt of court. Sehingga, perbuatan pemukulan tersebut sudah masuk dalam tindak pidana. Menurutnya, seluruh pihak wajib menghormati pihak saat berada di dalam ruang persidangan.

 

“Semua pihak wajib menjunjung tinggi etika profesi masing masing. Hakim harus patuh pada kode etik. Panitera harus patuh kepada kode etik, jaksa harus patuh pada kode etik dan advokat juga harus patuh pada kode etiknya,” katanya.

 

Terpisah, Presiden KAI Tjoetjoe S Hernanto menyesalkan atas kejadian ini. Menurutnya, pemukulan terhadap hakim tak bisa dibenarkan, apapun alasannya. Ia berharap, persoalan ini dapat terungkap dengan jelas. Di sisi lain, ia menilai, perlu ada kesepahaman antara MA dengan organisasi advokat untuk merumuskan sistem peradilan yang lebih baik. "Clean and clear," pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait