Soal Pembebasan Pollycarpus, Komisi III Berencana Panggil Menkumham
Berita

Soal Pembebasan Pollycarpus, Komisi III Berencana Panggil Menkumham

Perlu dilakukan pengkajian ulang terhadap kebijakan pemidanaan.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Benny K Harman (kanan). Foto: SGP
Benny K Harman (kanan). Foto: SGP
Pembebasan bersyarat (PB) terhadap terpidana kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir Said Thalib, yakni Pollycarpus Budihari Priyanto mendapat berbagai kecaman. Bahkan Komisi III DPR yang membidangi hukum angkat bicara. Pasalnya, PB tersebut dinilai sebagai bentuk pengkhianatan rasa keadilan masyarakat.

“Kebijakan memberikan ini (PB, red) kepada pembunuh Munir adalah sebuah pengkhianatan terhadap rasa keadilan masyarakat, rasa keadilan publik, dan tidak ada lagi sesitivitas keadilan, hilang ditelan masa,” ujar Wakil Ketua Komisi III, Benny K Harman, di Gedung DPR, Senin (1/12).

Meski pemberian PB terhadap narapidana menjadi kewenangan pemerintah dalam hal ini di bawah Kemenkumham, eksekutif semestinya melihat perkembangan HAM di tengah masyarakat. Ia memaklumi setiap narapidana berhak mendapatkan PB yang tak dapat dipungkiri.

Kendati demikian, DPR memiliki fungsi pengawasan terhadap pemerintah. Itu sebabnya, Komisi III akan mempertanyakan pertimbangan pemerintah melalui Kemenkumham dalam memberikan PB terhadap Pollycarpus. Ia mengingatkan bahwa kasus Munir bakal tetap menjadi perhatian masyarakat tingkat nasnional maupun internasional.

“Oleh sebab itu, kami minta dewan meminta kepada pemerintah untuk memberikan penjelasan secara terbuka kepada publik supaya publik tidak mencurigai bahwa pemberian fasilitas ini memiliki kepentingan-kepentingan itu. Jangan sampai ada dugaan bahwa pemerintah fasilitas ini karena kepentingan politik tertentu karena didikte orang tertentu yang ditengarai melakukan pembunuhan berencana terhadap Munir,” katanya.

Benny memastikan Komisi III akan mengundang Kemenkumham untuk segera memberikan penjelasan. Ia berharap sebelum memberikan penjelasan kepada Komisi III, pemerintah diminta memberikan penjelasan tercara terbuka kepada publik terkait alasan pemberian PB terhadap Pollycarpus.

“Kita pun minta pemerintahan Jokowi melanjutkan untuk menyelesaikan secara tuntas problem HAM masa lalu,” ujar politisi Demokrat itu.

Anggota Komisi III Aboe Bakar Alhabsy berpandangan, pemberian PB terhadap narapidana menjadi kewenangan Kemenkumham. Ia menilai jika seluruh prosedur telah terpenuhi maka hak terpidana mesti diberikan tanpa pandang bulu. Pasalnya, pemberian PB berkaitan dengan hak asasi manusia yang mesti diberikan sesuai haknya sebagaimana diatur dalam peraturan dan perundangan.

“Mengenai penuntutan HAM dan termasuk di dalamnya persoalan pembunuhan Munir, itu kan janji kampanye Jokowi, silakan ke beliau saja,” ujarnya.

Politisi PKS itu memaklumi banyaknya kecaman terhadap pemberian PB terhadap Pollycarpus. Penolakan pemberian PB dilakukan oleh kalangan LSM pegiat HAM dan istri dari alm Munir. Ia berpandangan kekecewaan dari berbagai kalangan merupakan hal wajar.

“Karena dulu mereka punya ekspektasi tinggi terhadap janji kampenye jokowi. Tapi saya rasa mereka tidak sendirian, banyak rakyat yang telah merasakan hal serupa. Dan saya rasa cukup tepat bila saat ini para aktivis HAM mengingatkan presiden dengan janji-janji kampanyenya,” ujarnya.

Anggota Komisi III lainnya, Asrul Sani berpandangan perlu dilakukan pengkajian ulang terhadap kebijakan pemidanaan. Pasalnya, sebagaimana tertuang dalam UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menjadi dasar dalam pemberian remisi dan pembebasan bersyarat dan mesti diterapkan secara lebih selektif.

Dengan kata lain, pemberian PB diberikan tidak serta merta hanya berkelakuan baik, tetapi mesti dilihat dari berbagai pertimbangan. Dikatakan Asrul, penerapan remisi dan PB mesti memperhatikan sifat dan jenis kejahatannya. Selain soal penerapan regulasi, para aparat penegak hukum seperti hakim mesti didorong dalam menentukan soal pemberian remisi dalam vonis terhadap terdakwa yang diadilinya.

“Selama ini hakim-hakim kita sudah banyak yang menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik dipilih untuk jabatan publik. Kini saatnya pidana tambahan juga dikembangkan berupa tidak adanya remisi dan/atau pembebasan bersyarat untuk kejahatan-kejahatan tertentu yang berdampak luar biasa terhadap masyarakat atau negara,” ujarnya.

Lebih jauh politisi PPP itu mengatakan, remisi dan sejenis PB terdapat di berbagai negara terutama yang menganut sistem common law. Namun, hakim di negara yang menganut common law acapkali mengapusnya dalam vonis terdakwa.

“Sehingga ketika menjadi terpidana maka yang bersangkutan menjalaninya secara penuh tanpa potongan masa tahanan,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait