Soal Pajak Alat Berat, Pengusaha Minta Pemerintah Patuhi Putusan MK
Berita

Soal Pajak Alat Berat, Pengusaha Minta Pemerintah Patuhi Putusan MK

Polemik terletak pada salah satu pertimbangan hukum MK yang menyatakan pemerintah dapat melakukan penagihan PKB alat berat selama 3 tahun untuk mengisi kekosongan hukum yang timbul akibat putusan MK tersebut.

M Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Foto: YOZ
Foto: YOZ

Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor untuk alat-alat berat seperti Bulldozer, Traktor, Excavator, Dump Truck dan sejenis lainnya menimbulkan polemik bagi dunia usaha, khususnya perusahaan yang dalam operasionalnya menggunakan alat-alat berat tersebut. Hal ini dikarenakan alat berat tersebut tidaklah sama dengan kendaraan bermotor pada umumnya yang dapat melintas di jalan, sebagaimana dimaksud dalam UU Lalu Lintas Angkutan Jalan.

 

Pelaku usaha berlandaskan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 3/PUU-XIII/2015 mengenai pengujian UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) pada 31 Maret 2016, serta Putusan MK Nomor 15/PUU-XV/2017 mengenai pengujian UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) bahwa alat berat bukan kendaraan bermotor sehingga tidak bisa dikenakan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB).

 

“Kami sangat mengharapkan pemerintah dapat menghormati dan dapat melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut,” ujar Ketua Umum Asosiasi Jasa Pertambangan Indonesia (Aspindo), Tjahyono Imawan, Selasa (14/11).

 

Menurut Tjahyono, sejak dikeluarkannya UU No.34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas UU No.18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah (PDRD), pengusaha alat berat telah mempersoalkan pengelompokkan alat berat sebagai kendaraan bermotor dengan kewajiban untuk membayar PKB dan BBNKB. Pengusaha menilai alat berat merupakan alat produksi sehingga tidak seharusnya dikenai PKB dan BBNKB.

 

Apalagi, dengan adanya putusan MK yang membatalkan pengenaan pajak terhadap kendaraan bermotor terhadap alat berat, Tjahyono berharap ke depan pelaku usaha tidak lagi dikenakan PKB dan BBNKB. “Karena alat berat sebenarnya merupakan alat produksi. Sementara di sisi yang lain, proses produksi itu sendiri telah dikenakan pajak,” ujarnya.

 

Tjahyono berharap pengusaha bisa mendapatkan kepastian dalam menjalankan usahanya. “Pemerintah semestinya bisa memberikan kepastian hukum kepada kita sebagai pengusaha sehingga kita bisa berusaha dengan baik dan benar,” tambahnya.

 

(Baca Juga: Pembentuk UU Diminta ‘Rombak’ Pengaturan Pajak Alat Berat)

 

Ketua Tim Kuasa Hukum Aspindo dalam permohonan pengujian UU PDRD, Ali Nurdin, menyampaikan bahwa dasar polemik sesungguhnya terletak pada salah satu pertimbangan hukum MK saat memutus pengujian UU PDRD. MK menyebutkan bahwa pemerintah dapat melakukan penagihan PKB alat berat selama 3 tahun untuk mengisi kekosongan hukum yang timbul akibat putusan MK tersebut.

 

“Berdasarkan pertimbangan inilah Kementerian Keuangan mengeluarkan rekomendasi kepada Pemerintah Daerah untuk melakukan penarikan-penarikan PKB di daerah,” terangnya.

 

Ali menegaskan bahwa pemerintah harus menghormati dan melaksanakan Putusan MK dengan tidak menggunakan ketentuan dalam UU PDRD yang sudah dibatalkan. Menurut Ali Nurdin, Pasal 47 UU Mahkamah Konstitusi mengatur bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum. Artinya, sejak 10 Oktober 2017 ketentuan dalam UU PDRD yang mengatur tentang alat berat tidak bisa lagi digunakan.

 

“Akibat hukum Putusan MK yang menyatakan UU, bagian dari UU, pasal, atau ayat bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, lahir segera setelah putusan diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum secara prospektif (ex nunc) dan tidak retrospektif (ex tunc),” tuturnya dalam kesempatan yang sama.

 

(Baca Juga: Putusan Ini ‘Kado’ untuk Perjuangan Bang Buyung)

 

Dengan adanya putusan MK, kata Ali, undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945 dianggap tidak ada dan tidak berlaku lagi dan tidak melahirkan hak dan kewenangan serta tidak pula dapat membebankan kewajiban apapun. Selain itu, pengadilan terikat untuk mengabaikan undang-undang yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 tersebut.

 

Terkait alasan pemerintah yang akan melakukan penagihan PKB dan BBNKB terhadap Alat Berat adalah merupakan pelaksanaan dari Pertimbangan Hukum MK, Ali menyebut bahwa alasan tersebut tidak tepat karena Amar Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 15/PUU-XV/2017 tidak menyebutkan adanya masa transisi pemberlakuan Norma ketentuan mengenai alat berat dalam UU PDRD setelah dinyatakan bertentangan dengan konstitusi dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

 

“Yang mengikat untuk diekesekusi menurut Ali adalah amar putusan, bukan pertimbangan hukum,” katanya.

 

Untuk itu, Ali menilai sikap pemerintah yang akan tetap melaksanakan penagihan PKB dan BBNKB terhadap alat berat merupakan perbuatan melawan hukum yang dapat digugat ke Pengadilan Negeri. Begitu juga apabila pemerintah daerah mengeluarkan surat penagihan PKB dan BBNKB terhadap alat berat maka para pemilik alat berat dapat mengajukan tuntutan pembatalan surat penagihan tersebut ke Pengadilan Negeri karena surat tersebut dikeluarkan secara melawan hukum.

 

Sementara itu, Ketua Umum Apindo, Hariyadi B. Sukamdani, mengimbau agar pelaku usaha tetap konsisten menjalankan amar putusan MK dan berharap pemerintah memberikan kepastian hukum terkait PKB untuk alat berat.

 

“Saat ini, ketaatan pemerintah dan pemerintah daerah untuk menjalankan utusan sesuai dengan amar putusan MK sangat diharapkan sehingga tidak lagi ada pungutan. Secara khusus, pemerintah daerah dapat berpikir lebih serius untuk membuat kebijakan yang lebih business-friendly untuk menarik investasi yang mampu menyerap tenaga kerja dan dapat memberikan kontribusi bagi perekonomian daerah dan nasional,” tandasnya.

 

Tags:

Berita Terkait