Soal Konflik Golkar, Jimly: Pemerintah Cukup Terbitkan SK
Utama

Soal Konflik Golkar, Jimly: Pemerintah Cukup Terbitkan SK

Karena beschikking bersifat penetapan, sedangkan regeling bersifat peraturan.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Jimly Asshiddiqie. Foto: RES
Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Jimly Asshiddiqie. Foto: RES
Rencana pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) pasca putusan Mahkamah Partai (MP) Golkar terhadap kubu Agung Laksono menuai kritik dari Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Asshiddiqie. Menurutnya, pemerintah tak perlu menerbitkan Perpres, tetapi cukup dengan keputusan Menteri Hukum dan Ham (Menkumham).

“Saya rasa tidak perlu Perpres, cukup keputusan menteri saja,” ujarnya di Jakarta, Rabu (18/3).

Menurut Jimly, Perpres merupakan peraturan, sedangkan surat keputusan bersifat penetapan. Ia berpandangan berdasarkan UU No.2 Tahun 2011 tentang Partai Politik (Parpol), terhadap kepengurusan partai politik cukup diterbitkan Surat Keputusan (SK) Menkumham. Makanya, presiden tak perlu turun tangan.

“Kalau di UU, ini tidak perlu presiden,” ujarnya.

Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu melanjutkan, tugas harian pemerintah telah didelegasikan ke sejumlah para pembantu presiden. Sedangkan khusus Parpol, menjadi ranah Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). “Jadi tidak perlu presiden, tidak usah, apalagi Perpres. Kan Perpres itu peraturan, kalau ini bukan peraturan tapi penetapan. Jadi ini beschikking dan bentuknya keputusan,” katanya.

Ia menjelaskan, sebagai keputusan yang bersifat penetapan maka menjadi keputusan tata usaha negara. Oleh sebab itu, keputusan tersebut menjadi objek perkara di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Sedangkan Perpres tak bisa dijadikan objek PTUN. Pasalnya, Perpres merupakan regeling atau peraturan. Selain itu, Perpres merupakan objek judicial review. Sedangkan mekanisme menguji Perpres melalui Mahkamah Agung. Lantaran berbeda sifat dan objeknya, maka produk hukumnya tak boleh dicampur adukan antara SK dan Perpres.

“Dalam hal ini keputusan beschikking, bukan regeling peraturan. Makanya, namanya keputusan. Tapi namanya keputusan tidak usah sampai tingkat presiden, cukup menteri,” ujar ahli hukum tata negara itu.

Sebelumnya, kuasa hukum Golkar kubu Aburizal Bakrie, Yusril Ihza Mahendra, berpandangan Menkumham Yasonna sebagai orang hukum mestinya memahami ketatanegaraan. Sebaliknya, justru Yasonna seolah tidak memahami tugasnya sebagai seorang pembantu presiden di bidang hukum.

“Menkumham Yasonna seperti tidak paham tugasnya sendiri bahwa kewenangan mendaftarkan kepengurusan parpol ada pada dirinya sebagai Menkumham,” katanya.

Mantan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia era Presiden Abdurahman Wahid itu mengatakan, Menkumham mestinya menerbitkan Keputusan Menteri (Kepmen), bukan Peraturan Menteri (Permen) tentang pencatatan kepengurusan parpol. Bahkan jika Presiden menerbitkan Perpres dinilai salah. “Bukan Presiden yang harus terbitkan Keppres,” katanya.

Ahli hukum tata negara itu menilai, ketidakpahaman Yasonna kian menjadi jika pengesahan kepengurusan parpol diserahkan ke presiden. Boleh jadi, Yasonna melempar bola panas konflik internal Golkar kepada presiden akibat keputusannya yang menuai kontroversi. Pasalnya, Yasonna sebelumnya telah mengambil langkah yang serupa dalam konflik PPP.

Sementara itu, Kepala Biro Humas dan Hubungan Luar Negeri Kemenkumham, Ferdinand Siagian, mengklarifikasi pemberitaan di berbagai media yang menyebut Menkumham Yasonna pernah mengeluarkan pernyataan bahwa kepengurusan DPP Golkar harus melalui Perpes.

Menurutnya, pernyataan yang dikutip media merupakan potongan dari pernyataan Menkumham terkait negara bebas visa yang tidak ada kaitannya dengan persoalan Golkar.“Sesuai dengan UU Parpol, kewenangan untuk pengesahan Partai Politik ditetapkan oleh Menteri Hukum dan HAM melalui Keputusan Menteri Hukum dan HAM,” katanya.
Tags:

Berita Terkait