Soal Eksekusi Mati TKI, Wapres Minta Masyarakat Pahami Yurisdiksi Hukum Arab Saudi
Berita

Soal Eksekusi Mati TKI, Wapres Minta Masyarakat Pahami Yurisdiksi Hukum Arab Saudi

Tidak diterimanya permohonan maaf dan diyyat (denda) oleh pihak ahli waris korban menjadi faktor utama eksekusi mati M. Zaini Misrin diberlangsungkan.

CR-25
Bacaan 2 Menit
Pengunjukrasa dari sejumlah lembaga peduli imigran melakukan aksi unjuk rasa di depan Kedutaan Besar Arab Saudi, Jakarta, Selasa (20/3). Mereka memprotes eksekusi mati yang dilakukan pemerintah Arab Saudi terhadap seorang tenaga kerja Indonesia (TKI) bernama Muhammad Zaini Misrin pada Minggu (18/3) lalu. Foto: RES
Pengunjukrasa dari sejumlah lembaga peduli imigran melakukan aksi unjuk rasa di depan Kedutaan Besar Arab Saudi, Jakarta, Selasa (20/3). Mereka memprotes eksekusi mati yang dilakukan pemerintah Arab Saudi terhadap seorang tenaga kerja Indonesia (TKI) bernama Muhammad Zaini Misrin pada Minggu (18/3) lalu. Foto: RES

Eksekusi mati terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI), Muhammad Zaini Misrin di Arab Saudi pada Minggu (18/3) lalu, telah menggegerkan banyak pihak, baik di kalangan masyarakat, NGO yang bergerak di bidang Hak Asasi Manusia, maupun otoritas Pemerintahan Republik Indonesia.

 

Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Muhammad Iqbal, mengatakan bahwa otoritas Kerajaan Saudi Arabia sama sekali tidak memberitahu perihal eksekusi mati TKI asal Indonesia tersebut.

 

Migrant Care melalui siaran pers-nya mengecam bahwa tindakan otoritas Arab Saudi yang tidak melakukan kewajiban pemberitahuan kepada pihak Indonesia (Mandatory Consular Notification) telah melanggar prinsip-prinsip tata krama hukum Internasional yang diatur dalam Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Konsuler.

 

Kasus ini bukan-lah pertama kalinya, sebelumnya pada tahun 2011 dan 2014 juga terdapat 3 TKI di Arab Saudi bernama Ruyati, Siti Zainab dan Karni yang dijatuhi eksekusi mati karena membunuh majikan yang tidak beritahukan (Notifikasi Konsuler) oleh Pemerintah Arab Saudi kepada Kantor Perwakilan Konsuler Indonesia di Arab Saudi.

 

“Atas peristiwa ini, Migrant Caresangat menyayangkan bahwa kewajiban pemberitahuan tersebut tidak pernah diberitahukan, baik pada saat dimulainya proses peradilan dengan ancaman hukum maksimal hukuman mati, juga saat eksekusi hukuman mati dilakukan,” kata Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant Care, Anis Hidayah.

 

Dalam hal ini terdapat 3 penyataan sikap resmi Migrant Care. Pertama, mengecam dan mengutuk eksekusi hukuman mati terhadap Muhammad Zaini Misrin atas pelanggaran HAM yang paling dasar, yakni Hak atas Hidup.

 

Kedua, menuntut Pemerintah Indonesia untuk mengeluarkan Nota Protes Diplomatik kepada Kerajaan Arab Saudi dan mem-persona non grata-kan Duta Besar Kerajaan Arab Saudi untuk Indonesia. (Baca Juga: Advokat Ini Ingatkan Pentingnya Perlindungan Buruh Migran)

 

Ketiga, mendesak Pemerintah Indonesia untuk mengerahkan sumber daya politik dan diplomasi untuk membebaskan ratusan buruh migran yang terancam hukuman mati di seluruh dunia serta melakukan moratorium hukuman mati di Indonesia sebagai bentuk komitmen moral penentangan atas hukuman mati.

 

Wakil Presiden Republik Indonesia, Jusuf Kala, meminta masyarakat untuk memahami yurisdiksi hukum Arab Saudi terhadap eksekusi mati Muhammad Zaini. Jusuf Kala juga menjelaskan perbedaan antara kasus M. Zaini dengan Satinah yang dijatuhi hukuman pancung karena didakwa membunuh majikannya pada 2014 lalu. Dalam kasus Satinah, ahli waris mau memaafkan dan menerima uang diyat atau denda.

 

“Yang dulu Satinah kan mereka minta bayaran, uang diyat itu dibayarkan ke pihak keluarga. Ini (korban Zaini) tidak mau, mungkin mereka keluarga berada, jadi pokoknya dia marah bapaknya terbunuh, ya itu kita tidak pahami. Tetapi itu hukum disitu, kita tentu bisa pahami itu,” jelas Jusuf Kalla, seperti dilansir Antara.

 

Menteri Ketenagakerjaan, M. Hanif Dhakiri, mengungkapkan pemerintah kesulitan untuk mengetahui perihal eksekusi yang dilaksanakan pada Minggu (18/3) lalu, karena tidakada pemberitahuan. Terlebih lagi, jelas Hanif, Arab Saudi menggunakan sistem hukum dengan sistem pengadilan yang tidak terbuka seperti Indonesia.

 

(Baca Juga: Komite PBB Perlu Tagih Komitmen Pemerintah Indonesia Soal Perlindungan Buruh Migran)

 

Namun, Hanif tidak menampik bahwa pemerintah telah mengupayakan sedemikian rupa dalam mendampingi kasus tersebut. Hanya saja, kata Hanif, perbedaan sistem hukum antar negara mempersulit pihak pemerintah dalam hal ini.

 

“Jadi sulit di kita karena hukum disana tergantung ahli waris. Jika memberikan pemaafan maka hukumannya bisa lebih ringan. Tapi keluarga tetap bergeming tidak memberikan maaf sehingga terjadi,” ujar Hanif.

 

Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Nusron Wahid, mengatakan sejak zaman Presiden SBY hingga Jokowi pemerintah sudah all out melakukan pembelaan. Bahkan pada Januari 2017, kata Nusron, Presiden Joko Widodo telah menyampaikan surat kepada Raja Saudi meminta penundaan untuk mengumpulkan bukti-bukti baru, sehingga Raja Saudi menyetujui penundaan eksekusi selama 6 bulan pada Mei 2017.

 

Nusron juga menjelaskan bahwa ada dua klasifikasi dalam hukum pidana yang berlaku di Arab Saudi, yakni yang berhubungan dengan masalah (ammah), seperti merusak gedung atau merusak ketertiban umum. Menurutnya, kategori ini bisa selesai dengan pengampunan raja dan negara itu.

 

Lain halnya dengan masalah syakhsiyyah (pribadi). Jika sudah bersangkutan dengan masalah pribadi tersebut, kata Nusron, maka intervensi negara dan raja sudah tidak berlaku. “Semua memang sangat tergantung pada pengampunan dari ahli waris,” ujarnya. (ANT)

 

Tags:

Berita Terkait